Asih Lestari

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Jejak Lelaki Merdeka

Sinar mentari lembut menyapa dedaunan. Titik-titik embun mulai beranjak meninggalkan aroma pagi. Burung-burung kecil bersiul merdu memecah keheningan. Terbang lincah mengepakkan sayap-sayap kecilnya. Ringan tanpa beban . Riang beterbangan mengikuti kata hati.

Seperti itulah rasaku saat ini. Selayaknya lelaki merdeka yang lepas dari pasungan. Bebas, lepas, tanpa beban. Kini ku telah siap menyambut hari baru dengan warna baru.

Setelah pertemuanku dengan Amelia kemarin. Segala beban ku terasa ringan. Tak ada lagi kekhawatiran dalam hatiku. Setelah perenungan panjang, akhirnya aku sampai pada satu titik.

Ikhlas.

Ikhlas melepaskan Amelia dan segala kenangan tentang dia. Setelah bertahun-tahun hatiku terbelenggu, kini semuanya telah berlalu.

Akulah Imam, lelaki merdeka.

***

Semburat warna merah menghias langit di ufuk timur. Sang raja siang bersiap-siap keluar meninggalkan peraduannya. Ku hirup napas dalam-dalam, seakan-akan ingin ku masukkan seluruh oksigen yang ada ke dalam paru-paru. Nyanyian burung-burung mengiringi langkahku pagi ini. Ku nikmati betul perjalananku dari masjid.

Tiba di rumah, aroma harum masakan ibu langsung menyergap indera penciumanku. Ku ayunkan langkah kakiku menuju dapur . Menemui ibuku.

“ Assalamu’alaikum, Emmm.... harum sekali bu. Masak apa?” kudekatkan wajahku mendekati pundak ibuku dari belakang.

“ Wa’alaikumsalam... Ada apa,Imam?”, jawab ibuku tanpa sedikitpun melihaatku, tangannya sibuk sekali memasukkan bahan-bahan ke dalam wajan. Nampaknya beliau tahu maksud hatiku menemui di dapur.

“ Bu. Bagaimana kabar Bu Tuti?”, aku bertanya ragu-ragu.

“ Menurutku sekaranglah saatnya, Bu.”

Ibu, mematikan kompor. Ibu menatapku lekat-lekat. Dengan sorot mata yang menyejukkan hatiku.

“ Alhamdulillah.. Sekarang kau sudah siap membuka kembali hatimu,Nak. Ibu senang sekali.”, ibu terlihat sangat lega .

“ Siang ini kita berkunjung ke rumah Bu Tuti ya.. Tentu kamu ingin tahu seperti apa wajah Aisyah khan.” Suara ibu terdengar sangat bahagia.

“ Secepat itu,Bu?”

“ Ya memang harus cepat.” Jawab ibuku singkat.

Sepanjang pagi ini, Ibu sangat ceria. Bahkan sesekali beliau mengerjakan pekerjaan rumah sambil bersenandung. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh ibuku.

***

Tepat pukul 13.00, aku dan ibu meluncur ke kediaman Bu Tuti. Sepanjang perjalanan wajah ibu berseri-seri.

“ Imam, ada sesuatu yang ingin Ibu samapaikan kepadamu.” ,Ibu terdiam.

“ Sebenarnya rencana pejodohanmu ini baru diantara Ibu dan Bu Tuti. Aisyah dan Keluarga lainnya belum ada yang tahu. Rencananya Bu Tuti baru akan menyampaikan niat baik ini kepada Aisyah, jika waktu itu kamu bersedia.”

Aku mendengarkan Ibu dengan khidmat.

“ Aisyah itu gadis yang sholihah, sangat menjaga pergaulannya. Dia tidak mau berpacaran, sama seperti kamu. Lha ketika Aisyah merasa siap untuk menikah, di menyerahkan kepada orang tua dan kakak untuk mencarikan calon suami yang terbaik untuknya.” Lanjut Ibu.

Aku hanya terdiam, mencoba mencerna setiap perkataan Ibu.

“ Jaman sekarang, susah mencari gadis seperti itu, Imam.”

Nggih, Bu. Semoga kami berjodoh.”, Jawabku singkat.

Setelah itu, pikiranku melayang jauh beribu pertanyaan di benakku.

Apakah aku pantas menjadi suami Aisyah? Apakah aku sesuai dengan kriterianya? Bagaimana kalau ternyata Ayah dan Kakak Aisyah tidak menerimaku?.....

Tetapi segera aku tersadar, ku tepis jauh-jauh semua pikiran burukku.

Kuluruskan niatku. Ini hanyalah bagian dari Ikhtiar untuk menggenapkan separuh Dien-ku, untuk berbakti kepada ibuku. Tak menjadi soal jika nantinya ternyata kami tidak berjodoh.

***

Tiba di rumah yang kami tuju suasananya lengang, sepi. Kami memberikan salam berberapa kali tapi tidak ada jawaban dari pemilik rumah.

Tiba-tiba seorang tetangga keluar dari rumahnya, “ Maaf Bu, sekarang keluarga Bu Tuti sudah tidak tinggal disini lagi. Mereka sudah pindah ke Surabaya.”

Mendengar jawaban dari tetangga tersebut aku dan ibu saling pandang, kami terkejut.

“ Oh... iya, Bu. Terima kasih.” Jawabku seraya terenyum tipis kepada ibu tersebut.

Sepanjang perjalanan pulang, aku dan ibu lebih banyak terdiam. Kulihat mendung menggelayut di wajah ibu.

Ibu tidak bisa menghubungi Bu Tuti karena beberapa hari yang lalu HP nya hilang ketika berbelanja ke pasar.

***

Waktu terus berlalu...

Dalam dekapan malam kulantunkan do’a-do’a penuh pengharapan kepada Sang Penggenggam Kehidupan. Mengharapkan keberkahan dalam setiap nadi kehidupan. Sayup-sayup panggilan cinta terdengar dari masjid yang berada di ujung barak pengungsian . Kulangkahkan kaki menyambutnya dengan penuh suka cita.

Ya.. sudah hampir sepuluh hari aku tinggal di tempat ini, barak pengungsian

Aku adalah salah relawan yang mengabdikan dirinya untuk membantu korban tanah longsor yang terjadi di Lereng Gunung Lawu ini.

Bukit yang selama ini menaungi perkampungan seolah-olah sudah merasa jengah dan lelah melihat segala kerusakan yang ditimbulkan oleh tangan manusia tak bertanggung jawab.

Subuh itu, seluruh warga mendengar dentuman keras dari arah bukit. Seketika itu pula aliran tanah bercampur lumpur mengalir ke perkampungan. Melululantahkan semua yang dilewatinya. Orang tua kehilangan anak, anak kehilangan orang tua. Segala kebahagiaan terenggut, tinggalah duka nestapa membayang di pelupuk mata...

Di sinilah aku, lelaki merdeka.

Menemukan arti hidup dengan berbagi kepada sesama. Mendampingi anak-anak melepaskan segala kesedihan dan luka hati karena kehilangan orang terkasih dan tempat berlindung. Berusaha mengukir kembali senyum di wajah tanpa dosa mereka. Sekolah darurat menjadi titik awal untuk mulai merajut asa untuk masa depan.

“ Mas Imam! Mas Imam! Tolong ibuku... tolong...”, kudengar dari kejauhan seorang remaja laki-laki berlari kearahku dengan nafas tersengal mencoba mencari pertolongan.

“ Ada apa?”

“ Ibuku mas.. ibuku....”

Tanpa banyak bertanya kuikuti langkah kaki anak itu berlari, ..

Di depan mataku kulihat seorang ibu terduduk di tanah, kakiknya berlumuran darah. Wajahnya pucat pasi menahan sakit, dan bening air tak henti-hentinya mengalir dari matanya. Ia sedang hamil.

“ Astaqfirullah” ucapku lirih. Tanpa berfikir panjang segera aku mencoba memapah ibu tersebut ke pos kesehatan.

Belum juga kakiku melangkah, ku lihat di kejauhan seseorang berlari ke arah kami dengan tergesa. Berjilbab biru muda dengan stetoskop terkalung dilehernya. Seulas senyum manis ia berikan kepada kami. Tanpa banyak bertanya, kami papah ibu terebut ke pos kesehatan. Kuperhatikan dari luar, ia begitu cekatan memberikan pertolongan pertama kepada ibu tersebut, Dibantu oleh seorang perawat...

Dokter Caca, salah satu dari tiga orang dokter yang menjadi relawan disini. Satu sisi ia begitu cekatan dan pemberani, disisi lain ia adalah dokter yang begitu lembut dan penyanyang dengan senyum yang selalu mengembang di wajahnya.Tak heran anak-anak yang belajar di sekolah darurat sangat mengidolakannya. Satu lagi, jilbab panjang yang ia kenakan selalu berwarna cerah.. semakin memancarkan energi positif bagi orang sekitar.

Dan aku?

Entah mengapa beberapa hari ini, hatiku terusik setiap mendengar namanya disebut... Terkadang tanpa kusadari, aku sering mencuri pandang setiap berjalan melewati pos kesehatan..

Entahlah...

***

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Jaman sekarang mencari wanita super sulit. Moga yang produk jenis itu masih ada. Tugas ibu2 mencetak calon ibu andal. Sip.. Mantab. Bu

13 Sep
Balas

Perlu keteladanan nggih pak wiyono.... :-)

13 Sep



search

New Post