askolani

Askolani Nasution. Lulus IKIP Padang, 1993. Menulis cerpen di Majalah “Anita Cemerlang”, Majalah “Tiara”, dll. Sejak tahun 1987. Jua...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kemilau Cahaya dan Dongeng Itu

Kemilau Cahaya dan Dongeng Itu

Kemilau Cahaya dan Dongeng Itu

Finalis Lomba Mengulas Karya Sastra Depdiknas Tahun 2008

Oleh : Drs. Askolani

/1/

Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta adalah kumpulan cerpen Gus Tf Sakai yang kedua setelah Istana Ketirisan (Balai Pustaka, 1996). Empat belas cerpen yang dimuat dalam buku ini dibagi atas beberapa bagian. Bagian I : Gadisku berisi cerpen Santi, Susi yang Sunyi, Lukisan Tua Kota Lama Lirih Tangis Setiap Senja, dan Kemilau Cahaya Perempuan Buta. Bagian II : Rumah Masa Lalu berisi cerpen Permintaan Sasa, Semua Tamu (Tidak) Harus Pergi, dan Lasiem. Bagian III : Sendiri, berisi cerpen Boneka, Tukang Cukur, dan Sungguh Hidup Begitu Indah. Bagian IV : Apatah Bisu berisi cerpen Orang Hitam, Ular dalam Sepatu, Pahlawan dan Situs.

Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta mengusung berbagai tema yang sederhana, mencomot berbagai peristiwa biasa yang mudah ditemui di sekitar kita. Ini menunjukkan kepada kita bahwa ternyata banyak sisi kehidupan yang dapat dipoles menjadi sebuah cerita yang menarik.

Cerpen Santi, misalnya, mengusung kisah seorang gadis pencari kerja yang terobsesi dengan diary-nya. Kisah ini menjadi menarik pada saat diary tersebut harus dibawa pada saat wawancara, sesuatu yang menurut tokoh Santi tidak ada kaitannya dengan bidang pekerjaan yang dilamarnya. Di samping itu, diary juga tidak sepatutnya diumbar. Terutama ketika dalam pikiran Santi, bos perusahaan itu tentu akan mengatakan, “Di perusahaan ini, Santi, tak seorangpun tertarik pada kesedihan; apalagi menulis-nuliskannya.” (Hal. 10).

Cerpen Sunyi yang Sunyi, selaras dengan judulnya, mengusung kesunyian hidup tokoh Susi. Berangkat dari kebencian pada keramaian karena sering ditinggalkan di rumah, sejak anak-anak tokoh Susi lebih suka mengunci diri di kamar, hidup terasing bersama tokoh identifikasinya, si Topi Jerami. Keakraban dengan si Topi Jerami membuat tokoh Susi kemudian dianggap gila. Sehingga, setiap kali ia lewat, anak-anak akan segera menyorakinya, “Nek Susi, wee, Nek Susi!” (Hal. 16).

Cerpen Lukisan Tua, Kota Lama, Lirih Tangis Set ap Senja boleh jadi sangat menarik pola berceritanya. Bahasa yang digunakan bukan hanya puitis, tetapi menohok perasaan kita terhadap kedukaan tokoh-tokohnya. Cerpen ini mengisahkan tokoh imajiner dua perempuan dari sebuah lukisan di sebuah reruntuhan bangunan sebuah kota tua. Kisah tragis perempuan dalam lukisan itu diusung dengan pilihan kata dan deskripsi yang indah. Cerita dibuka dengan kalimat sederhana, “Saat angin tak ada; sehelai daun muda luruh dari tangkainya entah sebab apa, kerahasiaan manakah yang selalu luput dari cerita?” (Hal. 21).

Cerpen Boneka mengusung kisah tokoh boneka yang lahir dari sebuah boneka sembilas tahun yang lalu. Boneka ini kemudian tumbuh layaknya manusia. Ia bahkan memimpin sebuah perusahaan yang dari kepalanya “…tak putus mengalir ide cemerlang tentang kinerja dan pengembangan.” (Hal. 69).

Cerpen Ulat dalam Sepatu tampaknya disiapkan untuk mengisahkan ironi berbagai kebusukan di kantor pemerintahan. Ulat yang digambarkan menyebar di seluruh kantor gubernur mengesankan maraknya praktek korupsi di segala lini pemerintahan.

Cerpen Situs memilih tema yang berbeda. Situs yang banyak menggunakan istilah komputer ini, dimulai ketika seorang profesor menemukan sebuah situs tua di internet yang menceritakan leyapnya sebuah negeri yang bermata uang Rupeieh. Negeri yang dimaksud tentu saja Indonesia, sesuai dengan beberapa ikon yang ditampilkannya.

/2/

Cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (KCPB) dipilih sebagai maskot kumpulan cerita pendek Gus tf Sakai ini. Bukan hanya karena cerpen ini pernah meraih berbagai penghargaan, tetapi tampaknya cukup mampu mewakili gaya bercerita Gus tf Sakai. Cerpen ini menceritakan seorang perempuan buta di hutan yang tiba-tiba menyentakkan kesadaran kita tentang cahaya. Seperti tambo[1] dalam tradisi sastra Minangkabau—karakter sosial-antropologis yang melatari kehidupan Gus tf Sakai—KCPB memang mengembangkan pola bercerita dongeng. Cerita diawali dengan seorang lelaki yang bertemu perempuan cantik dan buta di tengah hutan, lalu perempuan itu begitu saja menanyakan tentang hakikat warna.

Pola bercerita KCPB memang mengadopsi gaya tambo: runut, datar, romantik, tetapi senantiasa ‘menggigit’ karena muatan kemanusiaan yang senantiasa diusungnya. Bedanya dengan tambo, KCPB ditutup dengan satu ending yang mengejutkan, bukan jenis ending yang mudah ditebak sebagaimana halnya tambo, seperti tampak dalam kutipan berikut:

Inilah satu-satunya hal yang mendorong saya untuk bercerita kepada Anda tentang perempuan buta yang pernah hidup pada suatu masa di kota ini entah kapan. Tentu saja saya ingin berkata bahwa, antara si perempuan buta dengan bayi-bayi itu, sama sekali tak ada hubungan apa-apa. Seperti yang tengah Anda pikirkan juga, bukan? (Hal. 31)

Payakumbuh, latar etno-geografis[2] Gus tf Sakai sejak kecil, memang salah satu entri budaya Minangkabau di samping Bukit Tinggi dan Batusangkar. Karena itu, tidak aneh ketika Gus tf Sakai sangat terampil mengadopsi pola bercerita tambo. Tetapi lebih dari itu, eksplorasi bahasa yang dimilikinya, membuat KCPB menjadi karya yang memikat. Lihat saja bagaimana KCPB memulai paragraf pertamanya:

Kampung itu terletak di kaki bukit. Karena menghadap ke timur, maka pemandangan di kala pagi (bila tak ada kabut) sungguh amat kemilau. Cahaya matahari berwujud garis-garis emas keperakan, layah dan tajam, menyepuh pepohonan. Garis-garis itu pada suatu bagian di pinggang bukit, menguakkan ranting-ranting, menerobosi daun-daun, menghunjam di jalan setapak….yang telah entah sejak kapan menghubungkan pondok-pondok penduduk dengan kerahasiaan hutan. (Hal. 23).

Kebudayaan Minangkabau memang memandang alam sebagai bahan ajar. Alam takambang jadi guru, begitu filosofinya. Tipikal budaya inilah yang dipilih Gus tf Sakai menjadi latar ceritanya. Hutan, para pencari rotan dan kayu bakar, dan kampung di tepi hutan dapat menjadi ‘alam’ bagi tumbuhnya kesadaran dan pengertian tentang manusia. KCPB menjadikan alam sebagai pusat pengisahan sepanjang ceritanya. Hal itu tampak pada kalimat-kalimat berikut:

1) Banyak di antara mereka, terutama para pemburu dan pencari rotan, mengenal hutan itu layaknya bagai bagian dari mereka. (Hal. 23)

2) Semuanya lebih lengkap di sini. Burung-burung, bermacam serangga, ular, dan berbagai makhluk lain yang mungkin belum kukenal—pastilah masih ada. (Hal. 29).

3) Bila subuh menjelma pagi, perempuan buta itu, selalu, berdiri lurus di halaman pondoknya mengangkat wajah menghadapkan tubuh ke arah timur. Penduduk kampung pun kemudian tahu perempuan itu tengah menunggu matahari. (Hal. 30).

Dan, dengan segala penetrasi terhadap alam itu, “….mampu mengubah sebuah kampung untuk keluar dan lepas dari kelambanan atau kemiskinannya…” (Hal. 30). Sebab, alam dalam pandangan KCPB dapat membuat “mereka kembali ke keseharian, dengan semangat besar yang mereka tak tahu dari mana datangnya.” (Hal. 30).

Berguru ke alam dalam konteks sosiologis-antropologis Minangkabau adalah upaya menjawab berbagai persoalan hakikat kemanusiaan. Misalnya, memahami remeh-temeh tanya (istilah Gus tf Sakai) semacam: “Pak Tua, ceritakanlah padaku tentang warna.” (Hal. 24). Atau: ”…ceritakanlah padaku tentang cahaya.” (Hal. 26). Juga: “Semacam sinar, kata kalian! Tapi apakah itu sinar?” (Hal. 26). Berguru ke alam karena acap kali: “Kita tidak pernah berpikir, atau menganggap hal penting, hal-hal yang dapat dengan langsung bisa kita lihat.” (Hal. 25). Kebutaan tokoh perempuan dalam KCPB menohok kesadaran kita—manakala keingintahuan dan pertanyaan-pertanyaan kita mengalami kebuntuan—bahwa “…betapa sia-sianya orang yang memiliki mata.” (Hal. 29).

Berbagai eksplorasi terhadap kontekstual alam itu, juga tampak dalam cerpen-cerpen lainnya. Misalnya cerpen Lukisan Tua, Kota Lama, Lirih Tangis Setiap Senja (latar kota tua bekas tambang batubara); Permintaan Sasa (latar desa dengan berbagai karakteristik ‘kekunoan’ tipikal tokoh Nenek), Orang Hitam (kepercayaan tradisional penduduk desa pada tokoh palasik), dan Pahlawan (kisah para perampok di tepi hutan).

Perempuan buta, tokoh fisik yang diusung Gus tf Sakai dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, merefleksikan pentingnya purifikasi pandangan kita terhadap hal-hal di sekitar hidup ‘manusia kini’ yang tercerabut dari alam. Kebutaan, tanpa pretensi atau bias nilai-nilai lain, menandakan kefitrahan sikap, sehingga idealnya dapat dijadikan sebagai sumber semangat hidup selaras dengan karakteristik sosiologis-antropologis Minangkabau tadi.

/3/

Tak ada kisah tentang dunia.

Kecuali dongeng, semacam konon, yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya.

(Daging, Gus tf)

Tokoh perempuan buta dalam cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, cantik lagi, memang menyiratkan dongeng. Tapi, bukankah kita memang suka dongeng? Bahkan, sejak lama kita pun mengenal beberapa legenda etnis. Sebutlah Sangkuriang, Malinkundang, dan lain-lain. Itu kita anggap sebagai bagian yang khas dari etno sosio-antropologis kita, meskipun—nyatanya—di belahan dunia lain juga ada.

Dongeng dalam tradisi sosiologis-antropologis kita, bukan sekedar hiburan, tetapi juga sarana sosial. Misalnya, ketika rabab atau ketoprak dilakonkan, bukankah penduduk berkerumun? Lalu, terbentuklah interaksi dan sosialisasi. Bahkan penonton pun diperkenankan menimpali dialog. Meskipun telah hapal ceritanya, imbuh cerita dari penonton, membuat teater tradisional (dongeng) itu tetap berdaya tarik. Saya kira, KCPB, sengaja atau tidak, juga mampu menghidupkan kembali tradisi etno-sosio-antropologis itu. Terutama ketika—jika boleh berhandai-handai—berbagai tradisi seni lain lebih banyak mengabaikan kearifan budaya lokal kita. Karena itu juga, saya kira—mungkin ini berlebihan adanya—Gus tf Sakai pun tetap memilih Payakumbuh sebagai ruang kreatifnya, bukan Padang, apalagi Jakarta. Payakumbuh dengan entitas ‘desa’ tetap mampu memikat dinamika sosial-eksistensial Gus tf Sakai, hal yang nyaris tidak kita temukan dalam tipikal kota. KCPB—sebagai bagian dari tradisi sastra—lalu ditulis dengan gaya bertutur ‘desa’ itu: pola bercerita, identitas budaya, dan lain-lain.

Kisah tentang dongeng itu juga tampak dalam cerpen Orang Hitam. Cerita ini mengisahkan sebuah kampung yang terobsesi dengan keyakinan adanya seorang pemuja setan sebagai sumber bencana di kampung itu. Tetapi, dengan membunuh Orang Hitam—tokoh yang dituduh pemuja setan itu—tidak lantas membuat kampung itu terbebas dari bencana.

KCPB dengan berbagai nuansa ‘desa’-nya ternyata dapat juga memberi wajah baru dalam sastra kita—lebih dari sekedar permentasi humanisme atau eksperimentasi sastra seperti biasanya ciri sastra kontemporer kita. KCPB menawarkan sebuah sisi ruang sosial-antropolgis bagi zaman baru yang ‘tandus’, sekaligus menohok dialektika sosial kita tentang ruang yang ditawarkan fiksionalitas modern (yang lebih banyak mengupas alienasi jiwa manusia urban dari pada menularkan kearifan lokal).

Teknologi, modernisme, atau apa pun idiom kemutakhiran, tidak dapat sepenuhnya menjawab berbagai ‘keunikan’ zaman, apalagi untuk menawarkan suatu ruang budaya baru yang dapat lebih ‘bermakna’ bagi manusia. Karena itu, ketika di akhir cerita banyak berdiri lapangan golf, rumah-rumah peristirahatan menancap kokoh dan megah (Hal. 31), nuansa ‘desa’ kembali dirindukan. Juga, ketika lahir sebelas bayi buta, dan para dokter dan ahli genetika menyerah. Ada semacam gugatan terhadap modernisme yang diagungkan sedemikian rupa, nyatanya tidak sepenuhnya bisa menjawab berbagai keunikan zaman tadi.

Hal yang sama juga tampak dalam cerpen Permintaan Sasa. Pada awalnya tampak kekesalan tokoh Leha atas berbagai pola berpikir desa yang diusung ibunya dari kampung, lalu ditularkan kepada anaknya, Sasa. Tetapi, Sasa ternyata dapat menerimanya sebagai takhyul belaka.

Menawarkan—bukan memberi pemahaman—hal yang diusung KCPB, memang menorehkan dimensi baru atas berbagai keterpojokan manusia dalam kosmos modernisme. Dilema manusia yang paling mendasar bukanlah menyiasati idiom-idiom kemutahiran tadi, tetapi sesuatu yang lebih sederhana di sekitar kita, cahaya dan warna dalam konteks cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta.

Cahaya dan warna. Sebuah dimensi yang sublim dan mengerikan untuk mereka yang tidak buta. Karena itu, ketika tokoh perempuan buta itu menanyakan tentang cahaya dan warna, semua laki-laki yang mendengarnya menangis. Begitu gemuruhkah, atau begitu sunyikah hidupnya, sehingga ia hanya perlu bertanya tentang warna? Atau begitu kosongkah hidup kita, sehingga pertanyaan serupa itu dapat membuat kaget?

Begitu beragam wajah manusia dengan ekspresi yang paling intens dalam kehidupan sastra kita. Berbagai eksplorasi dan eksprimentasi fiksi juga ditawarkan, mulai dari yang paling santun sampai yang paling ‘nude’, dan seterusnya. Tapi cerpen KCPB malah hadir dengan idiomatik ‘perempuan buta’ yang tampak sederhana: tanpa hiruk-pikuk, tanpa bergaya ‘gagah’; tanpa cinta (mengapa harus ada cinta), dan tanpa alienasi. Ia hanya menebar kearifan, ia hanya bertemu beberapa lelaki, seluruhnya lelaki, menyapa tentang suatu hal yang mampu membuat setiap orang menangis dan ketakutan: apakah warna, apakah cahaya!

Perempuan buta itu, begitu kuat elan kehidupan yang ditawarkannya. Bayangkan kita hidup tanpa cahaya. Kita menyebutnya kegelapan, sebuah idiom terburuk bagi sejarah kemanusiaan. Dan warna, kita menyebutnya corak, hal yang acapkali menjadi pembeda pilihan-pilihan di sekitar kita, bukan sesuatu yang kiranya dapat menumbuhkan pengertian. Dan KCPB—dengan tipikal dongengnya—menawarkan suatu dimensi agar manusia dapat kembali takjub terhadap alam, sekaligus belajar memahaminya.

/4/

Gus tf Sakai tampak sangat terampil mempermainkan kesadaran kita. Cerpen Permintaan Sasa misalnya ditutup dengan ending yang menggantung. Tak ada plot yang implisit tentang nasib tokoh-tokohnya. Pada bagian akhir cerita Gus tf Sakai hanya menutup dengan kalimat misteri:

Tepat sudah dua minggu mereka berada di kampung. Lusanya, ketika bus antarkota membawa mereka ke kota provinsi menuju bandara, Leha tak tahan untuk tidak menggigit bibirnya. Di luar, pohon-pohon berkejaran ke belakang. Melesat-lesat, panjang dan lengang.” (Hal 41).

Ending menggantung itu juga tampak pada cerpen Gus tf Sakai yang lain, Semua Tamu (Tidak) Harus Pergi. Tokoh Maskur, tamu di keluarga Rahmi, bukan hanya memberantakkan istana keluarga Rahmi dan anak-anaknya, tetapi juga telah merebut suaminya, Ridwan, dari kebahagiaan rumah tangga. Cerita ditutup dengan menimbulkan pertanyaan di hati pembaca, misalnya, Apakah setelah itu Rahmi berpisah dengan suaminya. Sebab, ketika kekesalan Rahmi pada Maskur tengah memuncak, suaminya malah hanya mengatakan, “Maka, kehadiran Maskur dengan cara yang amat berbeda, kedatangan dan cara ia memperlakukanku, yang sama sekali tanpa dinding, sungguh membuatku jadi…” (Hal 51). Ternyata persoalannya hanya sederhana: Suaminya menyukai Maskur hanya karena tamu itu bertingkah tanpa basa-basi!

Berbagai gaya bercerita digunakan dalam kumpulan cerpen ini. Beberapa cerita dibuka dengan tanpa basa-basi, langsung ke pokok persoalan, nyaris tanpa deskriptif. Misalnya :

a) Cerpen Santi, dibuka dengan kalimat, “Tidak seperti kemarin itu, hari ini Santi datang ke gedung ini benar-benar dengan dirinya.” (Hal. 3).

b) Cerpen Susi yang Sunyi, dimulai dengan, “Mulanya Susi tak suka sunyi. Tetapi ketika Papi dan Mami tak lagi sering ada di rumah, ia mulai jadi terbiasa dan bertahun-tahun kemudian ia telah menjelma jadi seorang yang benci keramaian.” (Hal. 12).

c) Lukisan Tua, Kota Lama, Lirih Tangis Setiap Senja, dibuka dengan, “Saat angin tak ada; sehelai daun muda luruh dari tangkainya entah sebab apa, kegaiban manakah yang bukan bagian dari dunia?” (Hal. 17).

d) Cerpen Lasiem, langsung di buka dengan kalimat: “Begitulah lelaki. Serba praktis.” (Hal 52).

e) Permintaan Sasa dibuka dengan, “Seperti kemarin-kemarin, Sasa menghadang di pintu.” (Hal. 35)

f) Cerpen Semua Tamu (Tidak) Harus Pergi dimulai dengan, “Perempuan itu, Rahmi, telah memutuskan untuk hanya memetik kebahagiaan dari sini.” (Hal 42).

g) Cerpen Lasiem hanya dibuka dengan satu kalimat pendek, “Begitulah lelaki.” (Hal. 52).

h) Cerpen Boneka dimulai dengan, “Sembilan belas tahun yang lalu, seorang gadis lahir dari perut boneka. Merah. Montok, dan meluncur ke luar tanpa oaa.” (Hal. 65).

i) Cerpen Tukang Cukur dibuka dengan, “Barangkali memang ada perubahan dalam dirinya. Tapi entahlah.” (Hal. 71)

j) Sungguh Hidup Begitu Indah dibuka dengan kalimat, “Setiap ia sampai di mulut gang dan membelokkan langkah ke dalam, ia akan berhadapan dengan garis-garis pertama sinar matahari.” (Hal. 78).

k) Orang Hitam dimulai dengan kalimat, “Bila dilihat dari kejauhan, kampung di lembah itu malam ini tampak bagai tak ada.” (Hal 89).

l) Cerpen Ulat dalam Sepatu dibuka dengan, “Pertama melihatnya, saya merasa heran. Sepasang sepatu, butut, tergeletak di suatu sudut, di sebuah ruangan, di Kantor Gubernur. (Hal. 98).

m) Pahlawan dimulai dengan, “Benar-benar mengesalkan. Bahkan bus eksekutif pun tidak jalan. Sedemikian parahkah krisis ekonomi?” (Hal 107).

n) Cerpen Situs dibuka dengan kalimat, “Profesor Smitt menemukannya tak sengaja, enam tahun lalu. Di tengah ribuan situs sampah—penuh chat jorok dan omong kosong—ia membaca sebuah sebuah kata aneh dan meng-klik-nya. Ada gambar orang. Ada peta-peta.” (Hal. 114).

Cerpen-cerpen yang tampil dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta masing-masing memiliki daya tarik. Cerpen Tukang Cukur, misalnya, berhasil menohok kesadaran kita tentang berbagai sisi kehidupan. Banyak kejadian di sekitar kita yang acap kali terabaikan karena dinilai tak cukup penting. Cerpen ini juga mampu menampilkan kesedihan tokohnya secara mendalam. Lalu ditutup dengan ending yang sangat mengagetkan. Ketika ia melihat darah muncrat dari leher seseorang yang digoroknya, pandangannya begitu takjub. “Amat Indah.” (Hal 77).

Cerpen Lukisan Tua, Kota Lama, Lirih Tangis Setiap Senja banyak menggunakan kalimat-kalimat puitis. Pilihan kata yang digunakan tampak terseleksi begitu rupa. Misalnya, “Saat angin tak ada; sehelai daun muda luruh dari tangkainya entah sebab apa, kegaiban manakah yang bukan bagian dari dunia?” (Hal 21). Kalimat itu diulangi lagi di bagian ending cerita dengan tekanan yang berbeda, “Saat angin tak ada; sehelai daun muda luruh dari tangkainya entah sebab apa, kerahasiaan manakah yang selalu luput dari cerita?” (Hal 21).

Begitulah, berbagai kisah yang diusung dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, mampu memberi daya tarik bagi kita, baik dari segi pilihan kata, struktur ungkapan, pola bercerita, pilihan tema, dan kemampuannya mengocok berbagai kesadaran kita tentang realitas kehidupan di sekitar kita. Kumpulan cerpen ini patut menjadi ikon penting dalam kesusastraan Indonesia.

* * *

[1] Tambo merupakan gabungan antara fakta dengan dongeng dalam tradisi sastra Minangkabau. Tambo dinilai memiliki dua nilai: kualitatif dan kuantitatif yang dalam budaya minang disebut raso dan pareso.

[2] Lahir dan besar di Payakumbuh. Gus tf Sakai hanya meninggalkan kota kecil itu ketika kuliah di Universitas Andalas, Padang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post