Aslin nuraini, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Tumpeng kemerdekaan, nasibmu kini

Oleh : Aslin Nuraini,S.Pd

Penulis adalah peserta sagusabu 1 Pasuruan

Malam ini malam kamis, tanggal 16 Agustus 2017, seperti tahun tahun yang lalu, masyarakat desa kami menggelar acara tumpengan dalam rangka mensyukuri hari kemerdekaan sekaligus mendoakan arwah para pejuang. Lumrahnya, sejak sore hari seluruh warga sibuk dengan tugas masing masing. Para pemuda menggelar terpal dan tikar di tengah jalan kampung, sedangkan para ibu dan remaja putri sibuk menyiapkan tetek bengek perlengkapan tumpeng dan sajian pelengkap lain.

Namun pada peringatan kali ini saya merasa ada sesuatu yang berbeda, saya amati satu persatu kenampakan yang dapat saya jangkau, saya cermati suasana sekeliling saya sambil mencoba menyetel rekam jejak ingatan saya di tahun tahun lalu.

Ah ya! Tumpengnya! Akhirnya saya temukan keganjilan yang sedari tadi menyusup dan menggelitik nalar. Tumpeng yang pada umumnya terdiri dari nasi kuning, beragam lauk dan sayuran serta hiasan yang menggugah selera, kini tak nampak di arena malam ini. Diganti dengan tumpeng model baru yang berbentuk kerucut layaknya gunung, tersusun dari aneka ragam kue kering dalam bungkus menggembung yang di masyarakat kami lazim dipanggil “chiki”. Chiki sendiri adalah jenis snack ringan yang saking ringannya satu bungkus hanya berbobot sekian gram. Dan sumpah sangat tidak mengenyangkan.

Sekilas saya coba memahami mengapa mereka merubah tradisi tumpengan menjadi tradisi “gunungan snack”. Mungkin dirasa lebih praktis dan tidak memakan waktu menyiapkannya, karena sebagian kaum ibu kini sudah mulai sibuk berkarier di luar rumah. Bisa jadi pola diet sebagian masyarakat menuntut untuk mengurangi kegiatan makan berat dimalam hari, sehingga snack jadi salah satu solusinya. Its ok, jika memang itu alasannya.

Dan diantara kedua alasan di atas, saya lebih condong pada alasan ketiga, rapuhnya ekonomi masyarakat. Dahulu masyarakat hidup bersahaja, semua bahan makanan ditanam sendiri, sayur dan bumbu tinggal petik di pekarangan. Ayam kambing dan sapi semua memenuhi kandang, walau mereka jarang pegang uang. Sehingga saat acara tumpengan, mereka kerahkan semua yang mereka punya, diramu dengan bumbu dan semangat cinta tanah air serta keikhlasan berkorban demi menunjukkan rasa syukur telah bertemu kemerdekaan.

Sekarang?

Budaya hedonis konsumtif telah meracuni dan mendarah daging dikehidupan masyarakat modern. Jujur saja, kita hidup di negara yang gemah ripah loh jinawe, tanah kita subur dan diterangi matahari sepanjang tahun, tapi mengapa yang kita makan beras, sayur, daging dan buah impor? Bahkan yang lebih memalukan, garam juga impor? Hellow! Luas laut kita dua pertiga luas seluruh wilayah indonesia, apa tidak cukup asin?

Yah... kembali lagi ke masalah tumpeng. Apakah sudah sebegitu parah ekonomi kita saat ini? Saya bukan ahli ekonomi, tapi secara kasat mata saya bisa menilai beratnya tekanan hidup di era ini. Biaya listrik, bensin, pulsa, LPG,PDAM dkk adalah kebutuhan tambahan yang belakangan menjadi sangat di prioritaskan, padahal jaman dulu kita ga pernah butuh itu. Semua itu membuat kita semakin berlomba dan berpacu memburu uang, hingga kadang harus ada yang dikorbankan.

Perkembangan jaman dan tuntutan gaya hidup, memaksa orang berpenghasilan pas pasan atau menengah kebawah harus ikhlas memangkas dana untuk makan. Sebagian mereka lebih suka kehabisan beras daripada kehabisan pulsa he he. Saya sendiri sering menjumpai tetangga saya, janda beranak satu yang bekerja sebagai buruh pabrik, setiap pagi hanya membeli dua potong tahu goreng untuk sarapan bersama anaknya. “Mengapa?” selalu itu pertanyaan yang muncul, mungkin karena diburu waktu, ga sempat, praktis, dll. Tapi sejatinya agar lebih ekonomis! Bayangkan untuk dua potong tahu goreng plus cabai dan petis, ibu ini hanya keluar dua ribu rupiah, tinggal makan. Bandingkan dengan beli tahu mentah sepotong seribu, minyak goreng? Garam? LPG? Bumbu lain? Bahan sambal? Ini belum beli berasnya lho ya! Hmmm... sungguh memprihatinkan.

Jadi saya menanggapi bergesernya tradisi tumpeng kali ini , menurut saya, merupakan sinyal makin lemahnya ekonomi masyarakat, atau kacaunya prioritas kebutuhan primer dan tersier, disamping semangat rela berkorban yang semakin tergerus –mungkin karena mereka sudah lelah terus terusan menjadi korban dan dikorbankan- semoga ada kebijakan lebih baik yang akan membantu masyarakat kita jadi lebih mandiri dan kuat. Semoga..

Jayalah Indonesiaku!!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Makasih mas yudha, bu ida humaidah, merdeka!!

17 Aug
Balas

"Lebih praktis dan tidak memakan waktu menyiapkannya, karena sebagian kaum ibu kini sudah mulai sibuk berkarier di luar rumah." Kreatif ya bu. Keren

17 Aug
Balas

Bungkus penting...tp lebih penting isinya... tumpeng penting...tp lebih penting peringatannya...semangat berkarya. #temansekelaspasuruandalwa#

17 Aug
Balas

Siip makasih pak joko

17 Aug

Apapun tumpengnya MERDEKA MERDEKA MERDEKA

17 Aug
Balas



search

New Post