Asro al Murthawy

Biodata Asro al Murthawy, lahir di Temanggung 6 November. Ketua Umum Dewan Kesenian Merangin Jambi. Puisi-puisinya terkumpul di beberapa antologi t...

Selengkapnya
Navigasi Web

K R U K

Kejadiannya begitu tiba-tiba. Semua orang di sirkuit ini barangkali tak pernah menduga sebelumnya. Termasuk aku. Sekonyong-konyong salah peserta lomba balap motor yang tengah kutonton kehilangan kontrolnya. Dengan kecepatan tinggi motornya meraung berhambur ke tempat kami berdiri. Aku terhenyak dan ingin berlari. Terlambat, aku hanya mampu terpekik tanpa sempat menghindar. Sesudahnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi dengan diriku.

Ketika kubuka mata, kulihat segala di sekelilingku serba putih. Hidungku mencium bau obat. Oh, aku tengah berbaring di rumah sakit. Kubuka mataku lebih lebar lagi. Beberapa raut wajah tampak memandangiku dengan cemas. Wajah-wajah yang begitu akrab. Wajah-wajah yang kusayangi. Papa, Mama, serta Mbak Fit, kakakku semata wayang. Tampak titik-titik bening di mata Mama. Juga Mbak Fit. Hanya Papa yang kulihat masih mampu menahan perasaannya.

“Syukurlah, kau sudah sadar, Ning!” suara mama kudengar di tengah isaknya. Jemari tangannya kurasakan bergerak-gerak hangat membelai rambutku. Butir-butir bening itu kembali kulihat menitik meleleh di pipi mama.

Aku paling tak bisa melihat mama sedih. Ingin kuhibur mama saat itu dengan memeluknya. Kucoba gerakkan tubuhku. Tanganku sedikit demi sedikit bisa kugerakkan. Tapi, kenapa kakiki terasa sedemikian berat? Rasa nyeri begitu sangat ketika kucoba menggerakkannya. Hampir di seluruh bagian kakiku rasa nyeri itu hinggap, terutama di kaki kanan beberapa senti di bawah lutut. Makin kugerakkan, nyeri itu makin menggigit.

“Tenang dulu, Ning!” kali ini suara papa yang terdengar.

“Sakit, Pa!” kuadukan perasaanku pada papa.

Papa tak menjawab. Laki-laki itu malang memalingkan mukanya ke luar jendela. Aku paham kebiasaan papa bila sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi apa?

Kutatap Mbak Fit. Kakakku satu-satunya itupun tak berani menatapku kepalanya tertunduk menekuri lantai. Isaknya mulai kudengar. Aku kian bingung.

“Ada apa, Ma, Pa?” kebingunganku tak bisa kusimpan lebih lama.

Semula pertanyaanku tak di jawab oleh mama. Tapi karena aku terus menatapnya, runtuh juga pertahanan mama. Isaknya kudengar mengeras hingga bahunya Nampak bergoncang-goncang, sebelum akhirnya keluar kata-katanya.

“Kakimu, Ning!” tangis itu kembali mengambur.

Oh, tidak! Kakiku tidak boleh patah. Aku belum siap untuk kehilangan sesuatu sebesar ini. Aku tak bisa membayangkan jika hari-hariku mesti kulalui dengan kruk. Tidak. Tentu hari-hari yang indah, dimana aku bisa berlarian dengan bebas tak pernah ada lagi. Takkan ada lagi Naning yang jagoan basket. Tak ada lagi Naning yang tertawa-tawa meluncur dengan sepatu rodanya. Tak ada lagi. Dan aku tidak bisa membayangkan yang lain.

“Tidaaak!” hanya itu yang mampu kuucapkan. Selanjutnya, aku kembali pingsan.

Hari itu hari ketujuh aku terbaring di rumah sakit. Aku sudah agak baikan. Mama, Papa dan Mbak Fit sudah bekerja lagi seperti semula. Hati dan perasaanku sudah bisa sedikit kutata. Namun demikian, kadang masih juga aku bertanya dalam hati, mengapa peristiwa itu justru terjadi pada diriku, tidak pada orang lain? Ataukah Tuhan tidak adil?

Penampilanku jauh untuk dikatakan menarik. Badanku besar dan kuat. Tombai kata orang. Wajahku hitam, mewarisi warna kulit papa. Berjerawat lagi. Tak heran bila tak ada seorang priapun yang mau mendekatiku, padahal umurku sudah dua puluh lima. Sering aku iri melihat teman-temanku. Mereka dengan mudah mendapatkan lelaki yang menjadi pilihannya. Pacaran, lalu bertunangan dan menikah. Seperti Mas Toni dan Mbak Fit. Kapankah aku dapat merasakan kebahagiaan seperti itu? Terlebih lagi kini, kaki kananku tak lagi sempurna. Lelaki mana yang sudi mendekat?

Aku baru saja selesai meminum obatku yang terakhir ketika tiba-tiba seseorang telah berdiri di sisi tempat tidurku. Tubuhnya tinggi, sedikit tinggi dari papa. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi. Di bawah alisnya kutemukan sorot mata yang teduh. Kumisnya tipis melingkar di bawah hidung yang tak seberapa mancung. Dagunya terkesan kekar dengan rambut-rambut kecil yang baru hendak tumbuh bekas dicukur.

“Selamat pagi.” Ujarnya datar.

Kendati datar, ucapannya membuatku terkejut. Tak sadar aku menatapnya begitu lama.

“Pagi.”

“Bagaimana, sudah baikan?” tanyanya ramah.

Aku Cuma mengangguk. Hatiku bertanya-tanya. Siapakah pria tampan yang tiba-tiba masuk ke kamarku ini? Seingatku aku tak pernah kenal sebelumnya. Tak ada temanku yang setampan ini. Mungkin relasi papa atau kawan Mbak Fit?

“Saya Rio…” agaknya dia tahu apa yang tengah kupikirkan.

“Rio?”

“Ya. Sayalah yang menyebabkan anda berada di sini. Saya betul-betul kehilangan control waktu itu.”

Mendengar penjelasannya, sekonyong-koyong darahku naik ke ubun-ubun. Jadi mahluk ini yang telah merenggut kaki kananku. Mendadak simpatiku lenyap. Aku tak sudi melihatnya berada di sini.

“Kalau begitu silahkan keluar. Saya muak melihat muka Anda!” kata-kata itu begitu saja meluncur dari mulutku tanpa sempat kusadari.

“Tapi, Nona…” laki-laki itu masih ingin bicara.

“Keluar!” kataku sekali lagi. Kali ini lebih keras hingga suster yang merawatku datang.

“Maafkan saya…” Rio berbalik memunggungiku, kemudian tubuhnya lenyap di balik pintu.

Begitulah, meski berkali-kali kuusir, Rio tak pernah jera. Selalu saja dia datang dengan santunnya. Kadang bersama Papa, atau Mas Toni. Kadang sendirian. Bahkan ketika aku sudah diperbolehkan pulang, Rio masih juga datang ke rumahku. Kata papa, Rio begitu menyesal. Walaupun semua biaya pengobatanku dia yang menanggung, penyesalan tak pernah hilang di hatinya, katanya kepada papa.

Sore itu aku tengah bermalas-malasan dengan membaca majalah ketika papa masuk kamar, dan memberitahukan kedatangan Rio. Dengan lambut papa membelai rambutku, seraya membujuk.

“Engkau harus menemuinya sekali ini, Ning!” ujarnya.

“Ah, Papa. Papa saja yang temui dia.”

“Kali ini saja Ning. Papa mohon!”

Entah kenapa sore itu hatiku luluh juga. Setelah sedikit merapikan rambutku yang acak-acakan dengan jemari tangan, aku melagkah keluar, menemuinya di ruang tamu.

Rio tengah membalik-balik halaman majalah ketika aku datang. Segera dia menghentikannya melihat kedatanganku. Laki-laki itu tersenyum. Terus terang sempat terpesona dengan senyumannya itu, tapi buru-buru kutepis.

“Ada apa?” tanyaku sinis.

“Mungkin kau telah bosan dengan permintaan maafku.” Katanya mengawali pembicaraan. Heran kali ini dia sudah berani berikan saja denganku.

“Tapi aku masih juga akan mengatakannya kini.” Lanjutnya.

“Kalau begitu, kau kumaafkan. Dan silahkan tinggalkan rumah ini.”

“Tunggu. Itu saja belum cukup.”

“Belum cukup? Kau sudah kumaafkan. Itu yang kau minta kan? Aku sudah memberinya. Masih juga belum cukup?” rasa kesalku kembali bangkit. Apa sih maunya orang ini?

“Aku butuh bantuanmu. Kupikir tak ada orang lain lagi yang bisa menolongku saat ini selain kau.” Kata-kata Rio mengejutkanku. Rio, Sang Pembalap yang telah mematahkan kaki kananku itu kini memohon bantuanku? Apa pula ini.

“Kau akan tahu nanti.” Rio selalu saja dapat menebak kata hatiku. “Kini akan kuajak kau ke rumahku.”

Rasa ingin tahuku begitu besar hingga ku iyakan saja kata-kata Rio barusan. Aneh, papa dan mama itu dengan tulus memberi Rio ijin membawaku ke rumahnya. Ada apa ini?

Pertanyaanku beroleh jawab ketika tahu-tahu telah tiba di rumah Rio, rumah itu tak begitu besar. Dindingnya bercat biru laut. Halamannya yang tak seberapa luas penuh dengan tanaman bunga. Pasti ada tangan yang selalu merawatnya. Bunga-bunga itu tampak demikian terawat. Kami tidak masuk lewat pintu depan. Rio sengaja membawaku ke samping rumah.

Aku terperanjat pada apa yang kutemui kemudian. Seseorang tengah berdiri menyambut kami dengan senyum. Perempuan itu memakai rok panjang berwarna merah muda. Tangan kanannya memegang gunting. Dan sesuatu yang membuatku lebih terkejut adalah apa yang dikepit di lengan kirinya. Kruk. Sama dengan yang kupakai kini.

“Kenalkan. Ini ibuku. Beliaulah yang memintaku membawamu kemari.”

“Jadi?”

“Ya. Kecelakaan seperti yang kau alami telah merenggut segalanya. Bukan hanya kaki dan suaranya, namun menghilang bersama wanita lain.” Sendu kata-kata Rio kudengar di telingaku. Aku tak menyangka. Semuanya terjadi begitu saja dengan tiba-tiba. Dan ketika Rio meringkukku dengan lembut ke bahunya, aku masih belum tahu harus berbuat apa.(***)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mengharukan...saya pernah 2 bulan menggunakan kruk di saat hamil muda

23 Feb
Balas

yup. moga menginspirasi

24 Feb



search

New Post