Astatik Bestari

Ketua Yayasan Bestari Indonesia ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Pernikahan Dini Tak Menghentikan Mereka untuk Bersekolah

Pernikahan Dini Tak Menghentikan Mereka untuk Bersekolah

Pendidikan yang Memanusiakan Itu di PKBM

PKBM atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat adalah salah satu lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan nonformal di masyarakat. Hal ini telah disebutkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 26 ayat (4) menjelaskan bahwa, “Pelaksanaan satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.”

Sebagai lembaga pendidikan nonformal sebagian besar PKBM yang ada di Indonesia terpaku pada ayat (1) pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ini , “Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.”

Gagasan yang menemptakan pendidikan nonformal sebagaimana ayat (1) ini telah mempengaruhi cara berpikir pengelola PKBM itu sendiri, termasuk saya. Sebagai pengelola PKBM BESTARI saya masih terpaku pada ide bahwa peserta didik di PKBM BESTARI adalah mereka yang tidak dilayani di sekolah formal karena berbagai alasan. Padahal ada pula PKBM yang memformat layanannya sebagai lembaga pendidikan pilihan di antara sekolah formal. Peserta didiknya lebih memilih sekolah di PKBM daripada sekolah formal, contohnya di PKBM Insan Cendekia Surabaya. Melalui informasi yang saya terima dari pengelolanya saya pahami bahwa PKBM ini telah menyesuaikan layanan pendidikannya sesuai ayat (2) “Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.” Menjadikan PKBM sekolah pilihan masyarakat adalah harapan semua pengelola lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal , berbakti kepada negeri ikut serta mencerdaskan bangsa dan mengantarkan masyarakat menggapai kesuksesan .

Memang tidak mudah membangun kesadaran mengelola PKBM agar lebih dipercaya masyarakat, berani keluar dari zona nyaman, mengubah cara pembelajarannya lebih kekinian menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Saya menyepakati saran sahabat-sahabat pengelola pendidikan non formal agar menyesuaikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, tidak hanya kaku memberikan materi pelajaran akademik yang metodenya itu-itu saja. Karena itu dalam kesempatan ini saya berterima kasih kepada Pak Nafik Palil ( The Naff), Pak Lukman Hakim ( Sekolah Dolan) dan Bu Ita Guntari ( PKBM Insan Cendekia) atas arahan dan masukannya atas pengelolaan manajemen lembaga PKBM BESTARI agar lebih baik yang saya terima pada kegiatan Konvensi Pendidikan V tahun 2017 tanggal 30 Desember 2017 di DPRD Pasuruan.

Dalam proses berbenah ini, saya coba paparkan beberapa hal yang telah dilakukan PKBM BESTARI dalam ikut serta berbakti di dunia pendidikan ini dalam lingkup yang khusus adalah perihal keberadaan peserta didik perempuan di PKBM BESTARI. Terpenting dari yang penting dalam gagasan pendidikan yang memanusiakan dalam frame gagasan memberdayakan peserta didik perempuan ini titik pointnya adalah peserta didik itu sendiri. Dalam pikiran saya bahwa suatu lembaga pendidikan dinilai memberikan layanan pendidikan yang memanusiakan yang berbasis kesetaraan gender jika lembaga tersebut memenuhi hak-hak kemanusian peserta didiknya dan anggota masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan. PKBM BESTARI berpedoman bahwa menerima anggota masyarakat dari kalangan apapun dan dari manapun tidak tembang pilih adalah bagian dari memenuhi hak-hak kemanusiannya. Oleh karena itu, sejak membuka pelayanan pendidikan kesetaraan pada tahun 2011, yang mengikuti pembelajaran Paket A, Paket B dan Paket C peserta didiknya bervariasi dari tingkatan status sosial ekonominya, background keluarga ( keluarga sakinah mawaddah dan keluarga broken home), peserta didik dengan semangat yang bervariasi (belajar rendah, semangat belajar sedang , semangat tinggi), peserta didik dengan permasalahan sosial ( terlibat penggunaan Napza, married by accident, mantan preman). Sebagai ketua pengelola PKBM BESTARI, saya berpikir jika mereka tidak diterima di sekolah formal apakah kita tega mereka tidak terdidik sepanjang hidupnya?

Dengan pertimbangan kemanusiaan inilah tak jarang pengurus PKBM dan tutor tidak saja aktif mengajar di kelas, tapi kami bersatu kompak mengajak mereka belajar lebih serius di PKBM BESTARI. Sebagian mengajak mereka yang putus sekolah dengan cara bertamu dari rumah ke rumah. Upaya memanusiakan manusia dalam dunia pendidikan, kami lakukan pula dengan bekerjasama dengan kepala sekolah, guru BP dan guru mata pelajaran untuk mengidentifikasi peserta didiknya yang drop out dengan berbagai alasan, bekerjasama pula dengan kepada desa dan tokoh masyarakat serta anggota masyarakat yang perduli dengan pendidikan agar semua yang tidak terlayani di sekolah formal bisa sekolah secara bermartabat di PKBM BESTARI.

Warga yang kami identifikasi agar mau bersekolah, ada yang menerima dengan baik namun ada pula yang melakukan penolakan . Ada yang didukung penuh oleh keluarganya ada pula yang tidak begitu diperdulikan oleh keluarganya secara intensif. Ada pula yang menyadari bahwa pendidikan sebagai modal dalam meraih sukses yang perlu dilalui melalui proses yang diatur dalam standar proses pendidikan kesetaraan, ada pula yang sekedar ingin dapat ijazah.

Saya kira sama juga dengan sekolah formal, adakalanya ada peserta didik perlu kunjungan rumah karena sering tidak masuk sekolah, ada pula yang perlu terus diberi motivasi dan di arahkan . Semua kami lakukan dengan niatan agar mereka lebih terdidik dan berahlaq baik, wajar jika kami tidak putus asa di tengah keletihan orang tua dan keluarganya .

Sudah saya jelaskan sekilas bahwa identifikasi ini dilakukan oleh pengurus PKBM, dan bekerjasama dengan lembaga, instansi dan tokoh masyarakat. Sehingga tugas kami merasa diringankan oleh mereka. Lembaga pendidikan yang kami ajak kerjsama adalah lembaga pendidik yang berada di sekitar PKBM BESTARI. Peserta didik yang sudah tidak punya semangat belajar dan terancam drop out atas kemauannya sendiri akan diarahakan kepala sekolahnya ke PKBM BESTARI. Para alumni yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah formal diarahkan pula ke PKBM BESTARI untuk mengikuti jenjang Paket C.

Adapun kerjasama dengan guru BP dan guru mata pelajaran biasanya anak yang sudah memiliki permasalahan di sekolah secara spesifik. Misalnya atas kriteria-krieteria yang ditetapkan oleh sekolah, ia tidak layak naik kelas namun sebenarnya memungkinkan ia naik kelas di sekolah lain, namun komitmen untuk sekolah lebih giat dan ajeg dilakukan seminggu penuh tidak dapat ditepati oleh peserta didik ini. Ada pula guru yang kami ajak kerjasama mengarahkan sekolah di PKBM BESTARI karena peserta didiknya malu kembali ke sekolah tersebab lamanya menderita sakit sehingga absen ke sekolah berlarut- larut.Ada pula yang diselamatkan jenjang belajarnya oleh gurunya karena ia putus sekolah atau dikeluarkan oleh sekolah karena dampak dari pergaulan bebas ( married by accident). .Kerjasama dengan guru BP dan guru mata pelajaran ini sifatnya kerjasama antar personal tidak terkait dengan lembaganya.

Sedangkan dengan pemerintah desa , PKBM BESTARI sudah bekerjasama selama tiga tahun ini dengan desa Pakel kecamatan Bareng. Warga desa Pakel patut bersyukur karena kepala desanya secara aktif mengidentifikasi warga yang belum tuntas wajar dikdas 12 tahun , tiap tahun untuk direkomendasikan sekolah di PKBM BESTARI, bahkan pada tahu pelajaran 2017-2018 ini kepala desanya menyediakan mobil siaga desa untuk alat transportasi berangkat sekolah ke PKBM BESTARI. Kerjasama dengan desa lainnya juga pernah terjalin baik saat PKBM BESTARI menyelenggarakan pendidikan keaksaraan fungsional .

Kerjasama dengan tokoh masyarakat dan warga masyarakat lainnya antara lain ketika mereka mengetahui ada anak usia sekolah atau mereka yang belum menuntaskan wajar dikdas 12 tahun akan diarahkan ke PKBM BESTARI. Dengan dan tanpa dampingan orang tua dari calon peserta didik ini, mereka ringan tangan membantu mendaftarkan yang bersangkutan ke PKBM BESTARI.

Semua yang bekerjasama dengan PKBM BESTARI sebagaimana yang saya sebutkan itu, tidak terlebih dulu terikat oleh perjanjian yang menguntungkan secara materi atas upaya yang sudah mereka lakukan. Jadi, bukan lembaga pendidikan saja yang bisa mewujudkan pendidikan yang memanusiakan, tapi semua yang perduli dengan keberlangsungan pendidikan orang lain memiliki peran penting , tentu saja dalam konteks ini adalah yang dialami PKBM BESTARI.

B. Anak Perempuan dari Korban Broken Home dan Pergaulan Bebas

Dinamika proses pembelajaran di PKBM BESTARI juga penuh tantangan. Mulai dari tantangan berupa kondisi dan cuaca yang sering menjadi alasan tidak dapat hadir di kelas baik tutor maupun peserta didiknya, juga tantangan dari dalam diri peserta didik itu sendiri ( motivasi rendah), kesibukan kerja atau kesibukan rumah tangga adalah alasan rutin yang sering kami jumpai. Mereka yang memilki pekerjaan yang mapan, misalnya pamong desa dan PNS dengan golongan kepegawaian rendah justru yang lebih rajin belajar saat jadwal pelajaran dengan metode tatap muka. Sedangkan peserta didik dari kalangan buruh sejenis out sourching tidak tertib saat belajar. Ketakutan dipecat dari tempat kerjanya adalah alasan utama. Ada pula yang tetap rajin dalam pembelajaran tatap muka, ia tidak bisa mengikuti ujian karena baru saja dapat pekerjaan yang ia harapkan. Untuk hal ini, kami tetap menghormati keputusannya. Kami berharap ia terus sukses dalam karier kerjanya. Ada juga anak-anak drop out karena dikembalikan oleh pihak sekolah akibat dampak pergaulan bebas, atau anak yang hidup dari keluarga broken home, kebingungan memilih antara ikut ayah atau ibunya sehingga sekolahnya jadi terganggu , saat belajar di PKBM BESTARI lebih serius. Anak-anak korban pergaulan bebas sering saya temui pada tiap tahun ajaran. Ia belajar di Paket C dengan enjoy tanpa takut ketahuan masa lalunya, karena kami pengelola dan tutornya tidak pernah memandang masa lalunya yang pantas untuk tidak terekspose. Karena ia enjoy tak jarang ia membawa anaknya. Ia juga mampu menjadi ketua kelompok dalam kegiatan diskusi kelas lalu memprestasikannya di depan kelas. Sedikit saya bercerita tentangnya. Suatu hari saya sempat memujinya .

“Sampean pinter, mengapa sampai tidak lanjut sekolah? ” Ia menjawab hanya dengan senyum , senyum malu. Lalu saya tanya lagi

“Suami sampean itu ketemunya bagaimana awalnya?” Ia senyum lagi dan menjawab singkat.

“Teman sekelas saya, Bu”. Kira-kira serupa itu juga ketika saya ingin tahu latar belakangnya hingga sampai belajar di PKBM BESTARI. Usianya saat sekolah Paket C sekitar 18 tahunan, anaknya sering dibawa ke tempat belajar berusia 1,5 tahun kala itu. Suatu kali ia begitu repot dengan anaknya, saya sampai kasihan melihatnya. Lalu saya tanya dia

“Fida, Mengapa tidak dijaga ayahnya saja anak ini?”

“Kasihan, Bu. Ayahnya sudah seharian berkerja”. Jawabnya jujur dan bukan mengeluh. Mirip suatu pernyataan hati, bahwa ia sebagai istri mampu bekerjasama dengan suaminya untuk menyelesaikan tahapan hidup yang mereka lalui bersama.

Suatu kali,di tengah kegiatan belajarnya, anaknya yang masih balita ini BAB dipopoknya. Ia keluar kelas, dengan kasih sayangnya ia ceboki dan ganti popok anaknya ini. Setelah bersih dan rapi, ia kembali ke kelas melanjutkan belajar, dan sempat mempresentasikan hasil diskusi kelas di kelompoknya.

Afida Yurika nama peserta didik ini, lulus Paket C pada tahun pelajaran 2017-2018. Ia tergolong peserta didik pandai dan aktif, tidak pernah absen dalam belajarnya. Dalam kondisi hujan, ia dan pamannya yang juga teman sekelasnya di Paket C selalu datang, dan ia tetap membawa buah hatinya ini.

Masih teringat saat ia mendaftarkan dirinya diantar suaminya di tengah hujan deras siang hari, energik sekali cara dia menjaga anaknya dari terpaan guyuran hujan. Melihat pasangan suami istri yang masih muda ini, membuka cakrwala baru bagi saya, “ternyata kedewasaan tidak selamanya diukur dari usia, namun mental yang siap untuk menjalani hidup”

Afida Yurika, peserta didik Paket C saya ini, saya bangga memiliki dia, sosok peserta didik yang ingin meningkatkan kwalitas pendidikannya pasca pernikahan dininya, dan ia ternyata siap dengan konsekwensi sebagai orang tua, tidak berpangku tangan dengan bantuan keluarganya, tidak mengeluh dan bisa memahami orang lain ( suaminya) sehingga ia ringan untuk berangkat ke tempat belajar Paket C dengan membawa buah hatinya saat cuaca bagus atau buruk di waktu malam. Kalau ia sibuk dengan proses pembelajaran, saya terkadang ikut membantu ‘momong’ ( bahasa Jawa dari menjaga anak kecil dalam beberapa saat). Ini juga saya lakukan kepada peserta didik lainnya yang membawa anak-anak mereka. Alasan mereka membawa anak karena ayahnya sedang mengajar madrasah diniyah, ada yang karena ayahnya sedang kerja di luar kota dan di rumah anak-anak mereka tidak ada yang menemani.

Afida Yurika, sosoknya mempresentasikan peribahasa Jawa ” Ora ana kebo kabotan sungu”. Tidak ada orang tua yang merasa terbebani oleh kesibukan untuk merawat anaknya dalam kondisi apapun, itu makna peribahasa Jawa tersebut. Ini apresiasi saya kepadanya dalam sosial media facebook yang pernah saya tulis pada bulan Pebruari 2017 dan sempat dimuat dalam media online milik Bapak Yusron Aminullah ( Founder Yayasan Menebar Energi Positif) pada tanggal 19 Pebruari 2017.

Komitmen kami dalam melayani pendidikan kesetaraan dan pendidikan nonformal lainnya tidak pernah mempersoalkan apa saja sisi tidak baiknya dari mereka, sebaliknya kami utarakan hal-hal baik yang membuat mereka percaya diri bergaul dengan teman-temanya di PKBM dan bebas beraktivitas positif di tengah masyarakat. Ini nampak dalam chat-chatnya di WAG PKBM BESTARI , tak satupun memandang rendah satu sama lain. Sedangkan perlakukan kami kepada anak yang terganggu belajarnya karena dampak mengkonsumsi narkoba atau sejenisnya, kami berusaha tlaten mendampingi belajar, termasuk menjemputnya di rumah untuk belajar di PKBM BESTARI di kelas yang terdekat dengan rumahnya ( PKBM BESTARI memilki 2 kelompok belajar. 1 tempat di PKBM BESTARI itu sendiri, 1 lainnya bertempat di di desa lain ).

Dengan dinamika tantangan seperti itu, saya memberi himbauan kepada para tutor agar tak lupa memulai belajar dan mengakhiri belajar saat mengajar dengan berdoa, diniati agar ilmu yang diterima peserta didik bermanfaat. Ini upaya kami selain mendampingi sebagaimana saya paparkan sebelumnya. Tak lupa kami juga memberi bimbingan moral dan etika. Kami ajak berjamaah sholat Ashar, kami beri contoh menulis pesan tertulis untuk izin tidak dapat hadir dalam pembelajaran yang sopan yang disampaikan melalui WA atau SMS atau inbox facebook. Berbusanapun kami arahkan yang sesuai dan pantas dipakai untuk sekolah, peserta didik muslim yang suka mengenakan sarung, kami himbau untuk berbaju muslim dan berkopiah. Meskipun lembaga kami di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat pesantren, kami tetap terbuka kepada peserta didik non muslim. Tidak ada aturan dalam lembaga kami untuk berjilbab kepada peserta didik putri yang muslim apalagi kepada mereka yang non muslim yang penting berbusana yang merepresentasikan bahwa mereka pelajar. Kami berharap mereka merasa kebebasannya dihargai. Mereka juga selalu kami bimbing untuk saling menghargai kawannya, baik secara prilaku maupun ucapan, terlebih ada kelompok peserta didik dari daerah yang dikenal mudah tersulut emosi hingga menyebabkan tawuran warga.

Kami juga membiasakan disiplin waktu. Tutor hadir tepat waktu di kelas, jika tutor berhalangan hadir, kami sudah punya tutor pengganti, jadi kehadiran mereka di kelas benar -benar berguna. Pernah saya posting foto di facebook tentang kehadiran tutor saat hujan lebat dan membawa anaknya dalam tugas mengajar ini. Hal ini demi komitmennya mengajar para peserta didik di PKBM BESTARI. Untuk memotivasi peserta didik agar rajin belajar, pada tahun ini kami berlakukan pemberian beaya peserta didik.

Proses identifikasi dan proses belajar seperti yang saya paparkan ini, bagi lembaga PKBM BESTARI adalah upaya membantu anggota masyarakat yang tak terlayani di sekolah formal, bisa tetap sekolah secara bermartabat di sekolah nonformal PKBM BESTARI. Kalau mereka bisa dan mau mengubah perilaku belajarnya juga prilaku moralnya lebih baik, mengapa tidak dibantu? Apapun halangannya, kami selalu berharap apa yang kami upayakan ini dimudahkan oleh Allah SWT. Kami tidak tembang pilih dalam menerima peserta didik, semua yang datang ke PKBM BESTARI dan yang diajak PKBM BESTARI untuk menuntaskan wajib belajar 12 tahun kami bimbing agar menjadi insan terdidik dan memiliki skill, minimal perubahan prilaku sehingga mereka layak masuk dunia kerja , bisa menolong ekonomi dirinya dan keluarganya dan bisa meraih sukses lebih besar pada tahapan hidup yang mereka lalui.

Selain saya membantu mereka ‘momong’ bagi peserta didik yang membawa anaknya akibat dari pernikahan dini pada masa pembelajaran, ketika lulus ada juga yang kami rekrut menjadi tenaga administrasi di PKBM BESTARI. Peserta didik yang saya maksud ini lulusan tahun 2014, ia putus sekolah di kelas 12 .Menjadi single parents membuat hati saya terketuk untuk memberinya pekerjaan. Ia menjadi single parents karena orang tua pihak laki-laki tidak mengizinkan anaknya menikahi anak didik saya ini. Ia cukup rajin dalam menata administrasi PKBM, ia juga ulet dalam bekerja. Ia tak lama bekerja di PKBM BESTARI karena alasan kurangnya pendapatan untuk biaya hidup anak dan dirinya. Ia keluar bekerja di PKBM BESTARI setelah ia mendapatkan pekerjaan di pabrik. Saya hormati keputusannya, karena memang PKBM tidak bisa memberi kesejahteraan yang mencukupi kebutuhannya. Dalam hari kerja yang hanya seminggu tiga kali, PKBM memberi honor sesuai kinerjanya. Ia sempat mengungkapkan kepada saya mengucapkan terima kasih atas pemberian pekerjaan sembari menunggu pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan dirinya dan anaknya.

Pemberian kesempatan bekerja di PKBM BESTARI ini tidak saja saya berikan kepada alumni perempuan yang single parents, tapi juga kepada alumni kami peserta didik perempuan yang tertekan secara psikoligis atas tuntutan orang tuanya agar ia menghasilkan uang dalam setiap aktivitas hidupnya. Lagi-lagi PKBM BESTARI merekrut peserta didik ini untuk mengajar di KB BESTARI dan kadangkala saya perbantukan pada tugas admnistrasi PKBM BESTARI. Peserta didik ini tidak lama di PKBM BESTARI karena setelah ia menikah diajak suaminya mernatau ke Papua untuk bekerja di sana.

Selain memberi kesempatan belajar dan membantu memberi kesibukan kerja, saya selaku pengelola PKBM penyelenggara pendidikan kesetaraan juga berusaha menjadi sahabat untuk berbagi cerita ( teman curhatnya) bagi peserta didik dalam hal ini peserta didik perempuan. Baru –baru ini ketika saya menulis tentang anak-anak korban keluarga broken home di media online, saya menerima curhatan peserta didik Paket C yang saya tulis kembali menjadi essay dan dimuat di media online Mepnews lagi sebagaimana berikut ini.

Sehari setelah saya posting tentang keluarga broken home di Mepnews, ada peserta didik Paket C Bestari yang mengirim pesan pribadi di nomor WA saya. Saya samarkan namanya di sini dengan nama Ayu, dan suaminya Toni . Ini isi chat kami yang sudah mendapat izin Ayu untuk dipublikasikan kisahnya ini.

“Baca tentang broken home seperti perjalanan hidup saya selama ini, Bu”. Siang itu Kamis 8 Maret 2018 jam 12.54 saya menerima pesan pribadi dari nomer yang sangat saya kenal, ya nomor milik Ayu, peserta didik PKBM BESTARI yang sekolah di Paket C kelas 12.

“O iya ta? Seperti apa? Bisa cerita?” Begitu mengejutkan hingga saya bombardir dengan beberapa pertanyaan.

“Sejak usia 3 tahun bapak dan mamak saya bercerai, meskipun waktu itu saya baru usia 3 tahun tapi saya ingat betul kalau mamak saya sering mendapat pukulan dari bapak, sampai suatu hari bapak memukul mamak sampai mulut dan hidungnya berdarah, sungguh waktu itu rasa hati saya sakit banget, sering bertengkar di depan saya sampai pernah mau dipukul pakai kursi kayu, saya masih benar-benar ingat itu dan tak akan lupa perbuatan bapak ke emak saya. Seiring berjalannya waktu mereka memutuskan bercerai dan bapak sudah kabur sama perempuan lain & emak saya terpaksa jual sawah satu-satunya untuk urus perceraian tersebut hingga resmi bercerai. Setelah itu hak asuh jatuh ke mamak dan saya di besarkan mamak dan embah yg sama-sama janda. Setiap hari saya ditinggal mereka bekerja di sawah demi sesuap nasi. Sampai saya lulus sekolah SD bapak saya tak pernah ingin menjeguk saya, akhirnya saya memutuskan mencari alamat bapak saya ke Madiun untk meminta biaya sekolah masuk SMP, tapi apa yg saya dapat hanya hinaan dan cacian dari ibu tiri saya. Sayapun pulang ke Jombang. Saya sempat sakit beberapa hari karena ‘saking’ inginnya sekolah. Dengan rasa iba emak saya menyekolahkan saya di SMP Negeri paling dekat dengan rumah saya, tapi saya harus jalan kaki yang jaraknya sekitar 3 km dari rumah …” Saya melihat Ayu masih mengetik chat berikutnya.

“Lanjut ceritanya, Mbak”. saya tanggapi singkat, agar ia tahu kalau saya tidak keberatan membaca chatnya yang cukup panjang itu.

“Dengan susah payah emak mencarikan biaya sekolah sampai sering tak punya uang saku karena untuk bayar sekolah. Setelah lulus SMP ingin rasanya lanjut sekolah SMA tapi apa daya keadaan tak mampu membawa saya menuju sekolah tersebut, hingga suatu hari saya mengeluh ,’ Mak, aku sekolahno SMA tah, mosok aku selama iki sekolah melaku,jarang sangu aku lho nerimo, sampek nek sore di kongkon wong opo ae gelem ( kerja sore di rumah orang) nerimo ben aku duwe sangu gawe skolah, tolong aku kepingin sekolah SMA, Mak’. Tanpa menjawab emak pergi ke kamar tapi apa jawaban keesokan harinya emak saya sakit gara-gara saya bilang gitu dan embah saya juga marah “. Masih banyak rupanya yang diceritakan Ayu, saya melihat ia masih lanjut mengetik.

“Iya…lalu?” Saya tak punya kalimat tanggapan lainnya, saya kira Ayu cuma ingin didengar ceritanya dulu, dalam hal ini saya cukup membaca cerita pilunya itu di WA saya.

“Ijasah SMP saat itu belum keluar, saya nekad pergi ke Surabaya menjadi pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 500.000/ bulan. Saat itu tak ada pikiran untuk saya kasih ke mamak, saya berpikir bahwa saya harus kerja setahun dan tahun depan uang ini bisa dipakai sekolah SMA. Saya ingin menjadi koki , nanti saya ambil jurusan tata boga, tapi cita-cita tak semudah perjalanan ini, saya pulang 3 bulan kemudian mamak saya sakit dan akhirnya uang itu terpakai”. Ayu masih menulis ceritanya lagi, terlihat notifikasi proses menulis nampak di layar handphone saya.

“Beberapa hari kemudian bapak pulang meminta saya ikut dengannya. Sungguh bapak tega kepada kami, dari sejak perceraian itu tidak pernah sepeserpun kasih apa-apa kepada saya, tapi setelah saya bisa cari uang, ia malah mau membawa saya. Selang beberapa hari saya mau balik ke Surabaya dan bos saya sudah mencari ganti karena terlalu lama saya pulang kampung. Akhirnya saya dapat lagi pekerjaan di Sidoarjo jadi susternya bayi. Hanya sebulan saya di pekerjaan itu saya keluar karena saya tidak terlalu bisa momomg waktu itu . Saya pulang ke desa dan kerja di sebuah salon kecantikan di daerah saya dengan gaji 300.000/bulan, saya ‘lakoni’ saja agar saya punya pengalaman. Hilang sudah cita-cita sekolah SMA, sering kali lihat anak memakai seragam putih abu-abu merasa iri & sakit hati karena saya tidak kesampain untuk pakai seragam itu, hingga suatu hari di salon saya mengenal laki-laki yaitu Mas Toni ( bukan nama aslinya) yg saat ini suami saya, sering saya merasa apa mungkin laki-laki itu sama dengan bapak saya yang suka selingkuh yg keras sama wanita, tapi seiring berjalannya waktu saya nyaman bersama dia”.

Membaca penuturannya via WA ini menunjukkan bukti kepada saya, bahwa KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga) meninggalkan trauma pada anak. Anak perempuan menjadi curiga pada tiap laki-laki ;dianggap memiliki perilaku sama dengan bapaknya yang bersikap kasar kepada ibunya. Saya masih menerima penuturan Ayu berikutnya. Ini tentang perjalanannya menginjak dewasa.

“Setelah itu ( kerja di salon) saya memutuskan ke Surabya lg untuk kerja menjadi pembantu rumah tangga . Hubungan saya dengan Mas Toni semakin dekat, pas lebaran saya pulang dan ada yg menawari kerja di rumah makan di Makasar Sulawaesi . Karena hobby memasak, tanpa berpikir panjang langsung saya terima. Di rumah makan itu mencari pekerja laki-laki dan perempuan , saya berangkat ke sana bersama Mas Toni. Kami kerja bareng selama beberapa bulan . Saat pulang Mas Toni berniat melamar saya. Berlanjut setelah itu tanggal pernikahan saya sudah dekat. Sebenarnya tidak ingin nikah di usia muda, tapi saya merasa ada sosok ayah yang ada pada diri Mas Toni maka dari itu saya menerima karena dari kecil saya tidak merasakan sosok bapak bahkan kehilangan semua itu, belaian kasih sayang manja-manja dengan seorang bapak itu tidak pernah saya dapatkan gak pernah saya rasakan dan gak pernah pula saya bayangkan karena itu semuanya tidak mungkin…”

Saya sela penuturan Ayu ini dengan pertanyaan

“Menikah usia berapa?” Lalu dijawabnya

” Saya 18 dan Mas Toni 21 tahun”. Lalu ia menulis lagi cerita dan terkirim ke saya pada jam 1313.41 WIB, ini artinya ia bercerita hampir satu jam dan masih ada cerita berikutnya.

“Saat pernikahan semakin dekat ada sistem ‘rapak’ sebelum nikah, karena bapak masih hidup maka harus jadi wali nikah saya. Saat itu saya hanya menelponnya mengabarkan kepadanya kalau saya mau nikah dan bapak menjadi wali nikah saya. Ia tidak mau alasannya tidak punya uang, setelah saya bilang bahwa nanti kalau mau pulang saya kasih uang Rp 100.000 untuk transportnya, baru deh mau. Setelah ‘rapak’ pernikahan kami kurang 2 minggu. setelah rapak ke KUA bapak pamit pulang dan saya kasih uang Rp 100.000 pun diterima. Bapak saya minta lagi untuk pulang ( balik ke rumah saya ) 2 minggu lagi sebagai wali nikah saya, dan ia jawab ‘iya’, saya tidak minta apa-apa dari bapak yang penting bapak pulang waktu ijab kabul, kalau bapak tidak ada uang nanti saya kasih…” Saya membaca penuturannya ini ikut tenggelam dalam kisahnya, Ayu masih juga menggap bahwa tempat tinggal yang ia diami bersama ibu dan neneknya itu, juga rumah bapaknya, nampak dari kosakata yang ia pakai ‘pulang’ dalam kalimatnya ” yang penting bapak pulang” dan “bapak saya minta lagi pulang”. Bukankah perceraian itu antara lain memisahkan bapak dan ibunya untuk tidak serumah. Saya mengira, bahwa Ayu masih mengharapkan kebersamaan bersama bapaknya meskipun saya baca penuturannya itu ada rasa benci kepada bapaknya ini melalui kosakata yang kurang elok disampaikan, dan sudah saya ganti misalnya kata ‘dia’ saya ganti dengan ‘bapak’ dan ada pula tulisan ‘benci’ yang saya tiadakan dalam petikan-petikan chat yang ia kirim ini. Rupanya naluri sebagai anak tak hilang dalam hatinya. Cerita berikutnya masih tentang seputar hari penikahannya dengan Toni.

“….Tapi apa yang saya dapat saat saya menikah bapak saya yang selama ini tidak pernah tahu akan kehidupan saya, makan atau kelaparan, sehat apa sakit, sekolah apa tidak, sedih apa bahagia, ternyata tidak hadir di hari pernikahan saya, sungguh seperti bencana yg besar seprti petir yang menyambar di hati saya, saya tidak kuasa menahan sedih dan lemes sekali badan saya, akhirnya pernikahan tetap lanjut meskipun tanpa bapak, sungguh tega seorang bapak yang tidak mau jadi wali anaknya saat nikah.Sungguh kejamnya bapak saya menunjukan sifat aslinya tidak mau jadi wali anaknya”.

Setelah pernikahan sedikit demi sedikit Mas Toni mengubah segala pandagan saya bahwa gak semua suami itu seperti bapak, tidak semua laki-laki itu tidak perduli. Tanpa bapak pun hidup saya bahagia bersama suami, dengan bekerja keras sebagai kuli bangunan Mas Toni mengubah segalanya: di rumah yang tadinya gak punya listrik ia pasangin, yang tadinya tidak punya TV di belikan degan susah payah dan kerja kerasnya dia buktikan ke saya bahwa tidak semua laki-laki bisa menyakiti wanita”. Tepat jam 14.12 WIB percakapan saya seputar keluarga broken homenya Ayu di WA berakhir. Ini berarti sekitar dua jam ia bertutur dan ia merasa plong , lega bercerita kepada saya, termasuk menceritakan pula upaya suaminya kerja serabutan yang antara lain untuk membeli susu formula untuk anak mereka karena Ayu sakit tidak dibolehkan memberikan ASI pada bayi prematurnya ( lahir pada usia kandungan 8 bulan). Ia juga masih sempat bersyukur tidak mempunyai saudara, katanya

“Untung anak dari pernikahan lalu berakhir perceraian ini cuma saya saja, saya tidak bisa bayangkan kalau punya adik atau kakak. Kasihan, Bu”. Lalu ia bercerita pula bahwa ibunya yang kini usia 48 tahun tidak mau menikah lagi karena trauma KDRT yang dilakukan bapaknya hingga terjadi perceraian pada usia 27 tahun.

Saat ini kesibukan Ayu sebagai pedagang online dengan alasan agar tetap bisa bersama keluarganya dan Toni kerja serabutan dan mulai beternak kambing dari hasil keuntungan jual beli online dari Ayu. Kedua tokoh yang saya ceritakan ini, Ayu dan suaminya ini adalah peserta didik Paket C yang didaftarkan kepala desanya di PKBM BESTARI. Allah tidak memberi cobaan melebihi batas kemampuan hambaNya, walaupun Ayu tidak mendapatkan kebahagiaan memiliki orang tua yang lengkap, hingga tidak bisa lanjut sekolah SMA, ada saja cara Allah memberi jalan untuk mendapatkan pendidikan jenjang SMA melalui program kepala desanya ini. Allah menitipkan kasih sayang yang hilang dari bapaknya kepada suami, kepala desa dan pasti banyak lagi sepanjang perjalanannya nanti.(tulisan ini telah dimuat mepnews pada tanggal 28 Maret 2018 dengan judul Nobody’s Child; Menjadi Wali Nikah Saya pun Tidak Mau

Cerita saya tentang peserta didik tersebut selain saya dengarkan dan saya afirmasi dalam wujud tulisan media online, saya juga apresiasi aktivitas ekonominya sebagai pedagang online dan membuka layanan jasa catering. Selama USBN tahnu 2018 ini saya pesan konsumsi untuk pengawas USBN Paket B dan Paket C darinya. Saya juga sempat membuat essay atas cara dia membuat roti/ cake dalam tulisan yang dimuat media online juga.

Mata pelajaran kepribadian profesional dalam pendidikan kesetaraan Paket A, Paket B dan C PKBM BESTARI memang masuk dalam pembelajaran mandiri, namun pada semester genap ini peserta didik diberi kesempatan untuk mempresentasikan karyanya dalam bentuk diskusi di dalam kelas.Tutornya saya sendiri, semata saya ingin membuktikan beberapa kali saya membaca referensi dan mengikuti kegiatan berkaitan dengan bakat dan minat peserta didik yang difasilitasi oleh sekolah akan memelejitkan kemampuannya. Saya mulai kegiatan tersebut dalam bentuk tugas semester genap sebagai tugas akhir tahun mereka. Sekian presentasi peserta didik yang sudah saya dampingi ada pengetahuan- pengetahuan baru yang sempat saya catat dan ini tentunya tambahan pengetahuan baru bagi saya juga peserta didik.

“Saya ibu rumah tangga, pekerjaan saya cuma momong anak, ya pokoknya pekerjaan ibu rumah tanggalah. Daripada saya cuma main hape, kata suami saya ngabisin pulsa, saya membuat kegiatan jualan online, salah satunya bikin brownies ini…” bla bla bla, salah satu peserta didik Paket C bercerita di depan kelas kesetaraan sore itu , 25 Februari 2018.

“Mbak, ojo cepet cepet lek ngomong, tak tulise…” salah audiens yang notabene kawan sekelasnya protes. Sepetinya ia minat juga membuat brownies ini setelah beberapa deskripsinya cukup menyakinkan kawan-kawan di kelasnya. Presentasi karya ini sifatnya mendeskripsikan pembuatan karya, tidak mempraktikkan di depan audiens mengingat waktu yang terbatas.

“Aku grogi iki, ngomongnya cepat, biar cepat selesai” katanya sambil terbahak-bahak seolah ingin menutupi rasa grogi di depan kelas. Saya maklumi, ini adalah presentasi pertamanya dalam forum resmi setelah sekian lama ia tak sekolah karena terbentur persoalan biaya hingga pada usianya sekarang ia bersama suaminya tertolong untuk sekolah lagi atas dukungan kepala desanya, yaitu kepala desa Pakel Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang.

Lalu kami tetap fokus mendengarkan presentasinya dengan selingan guyonan yang pasti nyambung dengan urusan bikin brownies. Ada tips membuat brownies yang ia sampaikan ini yang membuat kami tertawa.

“Mbak, jika adonan kue tersebut tidak bisa mengembang dengan bagus bagaimana? ” bermula dari pertanyaan ini kami, khususnya saya baru mengetahui ada hal di luar teknis yang cukup membuat saya heran atas jawabannya ini.

“Saya mesti kramas dulu , Mbak”. Mendengar jawaban ini, awalnya saya kira ia membuat intermezzo.

“Kok kramas, apa hubungannya dengan bikin brownies? ” Tak sadar saya terlibat juga dalam pembelajaran membuat brownies yang memang kemasan presentasi kegiatan ini diformat dalam diskusi.

“Iya, Bu. Memang ada bedanya membuat kue dengan kramas dulu dan tidak kramas, bahkan perasaan hati yang jengkel kepada suami juga akan mempengaruhi hasilnya, kue akan tidak mengembang dengan baik”. Ini penjelasan dari penanya awal, rupanya ia ingin mencocokkan pengalamannya membuat kue dengan temannya yang sedang presentasi ini .Saya tertegun mendengar penjelasan ini untuk sesaat.

“Oh, jadi membuat kue juga dengan hati bahagia ya? Ini sama juga ketika kita merawat tanaman, jika perawatannya dengan penuh cinta, hasil tanaman akan baik, sebaliknya jika asal tanam dan asal rawat saja, hasilnyapun biasa saja “. Ini review dan sekaligus pengetahuan yang ingin saya sampaikan kepada peserta didik dalam kelas tersebut. Setelah saya menyela presentasinya, saya persilahkan dia melanjutkan tahap pemasaran atau penjualannya. Pada awal pemberian tugas kepada para peserta didik , saya menekannkan bahwa karya yang dipresentasikan ini akan lebih baik jika bernilai jual atau menghasilkan uang dan hal itu adalah hasil aktivitas yang mereka sukai, sesuai passion mereka.

“Saya jual brownies ini online, karena saya belum punya toko, jadi jual online lebih mudah.1box ini harganya Rp 20.000..” Mendengar penjelasan ini, saya baru sadar dan paham kehebatan berdagang online yaitu tidak membutuhkan toko atau lapak untuk menggelar dagangannya.

“Wah, ini benar-benar passionnya”. Batin saya kagum. Ia telah mendeskripsikan pembuatan brownies dan menunjukkan hasil dan rasanya, ia juga tahu ke mana ia harus memasarkan produknya ini dalam keterbatasannya dan dalam era digital ini. Masih banyak peserta didik saya yang membuktikan bahwa minat dan bakat itu memang tidak dapat mengkhianati hasil dan proses (Essay ini dimuat dalam Mepnews pada tanggal 27 Pebruari 2018 dengan judul “Keramas Dulu Sebelum Bikin Brownies”).

C Perempuan dalam Keterkaitan Kesuksesan Masa Depan Anak

Pada tahun 1997 saya mulai tertarik dengan kegiatan bertopik kesetaraan gender, gerakan feminisme, dan apa saja yang berbau memperjuangkan emansipasi wanita. Ketertarikan saya ini menempatkan pola pikir saya pada saat itu bahwa perempuan seharusnya tidak hanya memiliki aktivitas yang selama ini dilabelkan dalam sumur dapur dan kasur. Pemaknaan tiga kata tersebut saya pahami bahwa sumur kasur dan dapur ini adalah hal hal yang letaknya di belakang tidak diketahui banyak orang. Sama halnya dengan’konco wingking’ adalah bahasa Jawa yang artinya teman yang aktivitasnya di belakang layar, artinya perannya tidak banyak diketahui khalayak. Ini adalah definisi berdasarkan pemahaman saya selama berinteraksi sosial di ruang domestik maupun di ruang publik.

Sejalan dengan bertambahnya pengalaman hidup yang saya jalani lambat laun gagasan-gagasan kesetaraan gender yang menguat dalam gaya berpikir saya mulai berubah. Saya tidak mengatakan mulai melemah, tapi saya berupaya untuk tidak memaksakan diri dan pikiran saya untuk bersejajar dengan pria di ranah publik. Saya memahami relasi pria dan perempuan dalam kehidupan itu saling menyempurnakan. Kalaupun bentuk kesejajaran dengan pria maka saya memaknainya hanya dibutuhkan saat para perempuan memasuki akses pendidikan. Mereka sangat perlu setara atau mungkin lebih untuk mengeyam pendidikan bersama pria. Hal ini tidak lain demi keberlangsungan generasi berikutnya, ibu bagi anak -anak dalam ranah domestik yaitu keluarga telah dikenal sebagai madrasah atau sekolah pertama bagi anak-anaknya, sehingga penting baginya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang memadai.

Sekadar menjadi penenang hati, kalau boleh dikatakan begitu, tidak apalah urusan keterwakilan perempuan dalam aktivitas publik masih tidak seimbang dengan kesempatan yang dimiliki pria. Perempuan masih bisa mengukir prstasinya di ranah domestik, di dalam rumahnya.

Apakah Nancy Matthews Edison saat itu seorang ibu yang aktif di ruang publik untuk mewaqofkan hidup dan ilmu pengetahuannya ?

Beliau tidak banyak dikenal orang sebagai pejuang perempuan tapi sejarah mencatatnya sebagai ibu hebat bagi seorang ilmuwan terkemuka yang dikenal sampai kini ,Thomas Alfa Edison , penemu bola lampu.

Dalam literatur bertema gender yang saya bacapun perempuan kerap bersanding dengan isu kemiskinan. Hal ini karena perbedaan upah yang diterima perempuan dan pria yang berbeda dan perempuan cenderung mendapat upah lebih rendah dari pria. Apapun alasan tentang isu kemiskinan dan perempuan ini kitapun perlu membuka mata dan hati kita untuk menyemangati perjuangan kita agar tidak bergantung pada materi dengan melihat perjuangan seorang single parent yang miskin yaitu ibunya Imam Syaf’i (salah satu tokoh besar dunia Islam, Imam madzhab muslim sedunia). Kehebatannya ini adalah berkat peran domestik ibunya yang luar biasa walaupun mereka dalam kemiskinan yang sangat .

Pada suatu hari Syafi`i kecil pernah mengeluh kepada ibunya tersebab tak memiliki kertas untuk menulis pelajaran, karena kondisi keluarga yang sangat miskin. Ibunya berkata:

“Jangan sedih, Nak!”. Akhirnya ibunya pergi ke tempat Dewan Kerajaan bagian penulisan administrasi kerajaan. Setiap kali ada kertas yang dibuang (lantaran ada kesalahan), ia punguti satu demi satu setelah itu ia bawa pulang kemudian diberikan kepada Syafi`i kecil untuk dijadikan tempat mencatat ketika belajar. Bahkan ketika ada orang yang mau bersedekah kepada ibu Imam Syafi`i, ia lebih memilih diberi sedekah kertas supaya bisa dipergunakan menulis oleh anaknya di sekolah. Karena masih belum cukup, akhirnya ibunya pergi ketempat penyembelihan kambing, lalu mengumpulkan tulang belulangnya, kemudian dikeringkan. Ketika sudah kering, tulang-tulang itu diberikan Syafi`i untuk dijadikan tempat mencatat. Sungguh anak yatim yang sangat beruntung Imam Syafi’i ini, perjuangan ibunya sangat luar biasa untuk dirinya di tengah kemiskinan yang melanda.

Perempuan single parent berikutnya yang juga dalam kondisi ekonomi lemah, adalah ibunya Imam Ahmad yang juga imam madzhabnya kaum muslim sedunia. Naluri keibuannya menggerakkan hatinya untuk selalu menemani Imam Ahmad dalam menekuni ilmu pengetahuan dan beribadah sehingga pada usia 10 tahun ia sudah mampu menghafalkan Al Qur’an.

Ibu sekaligus single parent berikutnya adalah ibunya Imam Imam Bukhori. Mendiang suaminya adalah seorang ulama besar, iapun memotivasi anaknya Imam Bukhori ini agar menjadi ulama besar dengan memasukkan Imam Bukhori ke tempat tempat menimba ilmu, mungkin saat ini serupa madrasah diniyah. Di usianya yang relatif muda, Bukhori sudah bisa memebarkan kitab gurunya. Ketika besar Imam Bukhori menjadi amirul mukminin fi al-hadits(pemimpin ulama hadits). Bahkan kitabnya yang fenomenal, ‘jâmi`u al-shâhîh’ diakui oleh ulama hadits sebagai kitab tershahih setelah al-Qur`an.

Masih banyak peran -peran perempuan di ranah domestik yang melahirkan tokoh -tokoh dunia. Membaca sejarah mereka ini, saya belum menemukan kisahnya yang menginginkan mereka setara di ranah publik di samping peran pria.

Tulisan ini, bagi saya adalah penyemangat dan pengingat saya pribadi agar berperan tepat dalam kehidupan ini.

Tulisan ini, tidak bermaksud menafikkan perjuangan para perempuan dalam menuntut kesetaraan dalam berperan strategis bersama pria di ranah publik. Ini adalah penyadaran diri saya sendiri bahwa relasi perempuan dan pria di dunia itu saling melengkapi. Siapapun memang berhak layak memperoleh kesuksesan baik perempuan maupun pria. Perempuan bisa membangun kesuksesan dari dalam rumahnya.

Saya kira perempuan tidak perlu berkecil hati perannya tidak banyak diketahui publik, namanya tidak tertulis jelas dalam sejarah. Saya kira perempuan patut bersyukur walaupun namanya tidak berdiri sendiri mengukir sejarah, tapi ia selalu hadir dalam sejarah tokoh besar dunia. Inilah yang saya singkat dalam judul tulisan ini ” Tidak apalah perempuan jadi konco wingking” pria. Tentu saja, menjadi “konco wingking ” dengan keilmuan yang mumpuni agar dapat mengantarkan anak-anaknya menjadi generasi hebat dunia.Perempuan dalam segala latar belakang yang layak maupun tak layak diketahui publik wajib terus belajar, tak harus menjadi tokoh publik, tapi kwalitas ilmu pengetahuannya mampu membuat anak-anak yang terlahir darinya, dan lingkungan sekitarnya terinspirasi untuk menjadi lebih baik dan bermartabat sehingga mereka menjadi pribadi yang bermanfaat dalam kehidupan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sepakat dengan Ibu Atik. Pernikahan dini tak hentikan untuk dapatkan hak pendidikan. Ibu adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya kelak. Semoga langkah hebat PKBM Bestari tetap tegap meski banyak aral melintang di jalanan. Terimakasih Ibu Atik, atas semangat pagi ini.

18 Nov
Balas

Sama- sama, Bu Sri. Terima kasih tanggapannya

18 Nov
Balas

Sama- sama, Bu Sri. Terima kasih tanggapannya

18 Nov
Balas



search

New Post