Kebenaran
Tantangan Hari Ke-12
Sambil menenteng tas yang berisi buku-buku dan alat tulis aku memasuki kelas itu. Di depanpintu, ketika aku mengucapkan salam dan melangkah masuk, aku kembali menemukan kelasyang tanpa meja. Semua kursi siswa diletakkan di pinggir kelas. "Kenapa meja kalian belumdiambil juga?" tanyaku. "Masih dipakai untuk pertemuan, Buk," jawab Fajli, si ketua kelas. Sudahpertemuan ketiga, aku mendapati kelas ini tidak memakai meja untuk belajar. Mereka dudukditikar dan tanpa meja. Aku kasihan. Bagi laki-laki mungkin tidak terlalu bermasalah karenamereka memakai celana panjang. Namun, kasihan yang perempuan karena mereka memakai rokyang sempit.
Terlintas dipikiranku u2ààRa 1qqqntuk mengambil kursi-kursi mereka di kelas belakang yangsudah dijadikan gudang. Waktu pembagian kelas, itulah meja mereka. Meja ini memang masihlayak untuk dipakai dan itu pula meja mereka dalam beberapa bulan terakhir. Meja yang dipakaidi kelas itu sekarang merupakan kepunyaan ruang pertemuan.
"Aku akan kembalikan sementara meja itu ke kelas ini, ' pikirku. Aku lalu mencari wali kelasmereka. "Bu Tia tidak masuk karena ada MGMP," kata bu Nira. Aku sampaikan maksudku. Bu Nirasetuju bahwa aku akan letakkan sementara meja siswa agar mereka bisa belajar normal. Begitujuga guru-guru lain ketika kusampaikan maksudku. Mereka setuju. "Angkatlah, nanti saya yangakan bantu menyampaikan pada bu Tia," kata buk Nira.
Walaupun memakan waktu jam pelajaranku, aku ikhlas membantu siswa mengambil danmenyusun meja mereka kembali. Kelas itu kembali belajar dengan normal. Namun, kejadian esokpaginya sangat di luar dugaanku.
Bu Tia berpapasan denganku di lapangan basket. " Ibu tak usah urus kelasku! Jangan ikutcampur!" katanya dengan wajah tidak senang. Aku kaget. "Apa dia salah orang?" pikirku. "Kenapameja-meja kelasku dikembalikan? Itu bukan lagi punya kelasku, tapi kami akan tunggu meja-mejayang di ruangan pertemuan itu, setelah selesai kami akan ambil kembali!" semprotnya. "O,karena meja itu? Aku hanya membantumu dan tidak ada niatan yang lain. Aku kasihan samasiswa yang sudah 2 minggu belajar tidak wajar seperti itu. Aku juga sudah sampaikan keguru-guru lain. Mereka setuju karena mereka juga risih melihat siswa duduk dilantai danmenelungkup.. Malah bu Herli ikut membantuku," kataku. Dia pergi dengan mulut komat kamit.Aku tidak tahu apa yang dibicarakannya.
Ketika jam istirahat, aku melihat dia membicarakan tentang ketidaksenangannya kepadakukarena sudah memindahkan meja ke kelasnya. Ke setiap orang yang dia temui. "Ya, Allahmengapa dia bersikeras mau meja itu?" batinku. Meja itu memang baru. Tapi, kelas yang lainjuga memamakai meja yang sama. Meja lama. Lagi pula inikan hanya sementara. Pertemuanitu masih ada 2kali lagi. Berarti seminggu lagi karena pertemuan itu 2 kali seminggu. Lalu akutemui dia. "Aku akan kembalikan meja itu, tapi mengapa ibu menyampaikan kepada semuaorang? tanyaku. Sambil berkacak pinggang, dia "menyemprotku" dengan kata-kata yangsangat menyakitkan, "Hati kau busuk, kau iri karena kami punya meja bagus!" Serta banyak lagiucapannya yang menyakitkanku. Rekan-rekan guru yang berada di situ menyuruhku pergi. Akupergi ke kelasnya dan menyuruh siswa mengembalikan meja itu ke gudang. Biarlah siswanyaduduk di lantai dan menelungkup seperti buaya. Aku sedih. Niat baikku ternyata disalahartikan.Siswa bingung karena baru dipindahkan kemarin, tapi sudah dipindahkan lagi ke gudang. Jampelajaran ke 4 aku melihat meja yang di ruangan pertemuan kembali di bawa ke kelas itu. "Sudahkami beri pengertian ke bu Tia, aku dan beberapa guru. Bu Tia malah marah-marah sama kamijuga," kata bu Nira ketika pergi ke ruanganku. Mereka juga sudah menyampaikan kalau aku sudahminta izin sama mereka. Sebelum aku datang, bu Nira sudah memberi tahu tentang meja itu.Malam menjelang tidur, aku teringat akan kejadian yang menimpaku. Aku sedih. Di setiapdoaku, aku mohon kepada Allah agar diperlihatkan kebenaran bahwa niatku baik dan bukankarena iri. "Tidak ada maksud lain, ya Allah," ratapku. Aku sedih dan malu dikata-katai di depanguru-guru yang lain.Esok hari, aku tanyakan ke Wakil Kurikulum perihal meja itu. Katanya memang masih akandipakai. Aku diajaknya menemui Kepsek. Aku ceritakan kejadiannya. "Kapan meja di ruanganitu dipindahkan? Jangan dipindahkan karena ruangan itu akan tetap disusun seperti itu karenasekolah kita sering menjadi tempat pertemuan bagi sekolah se kabupaten," katanya. WakilKurikulum menceritakan yang sebenarnya. Lalu Kepsek berpesan padaku, "Baik-baik sajalah, takusah dipersoalkan!" "Iya, Pak," jawabku. Dua hari berikutnya, setelah bu Tia dipanggilnya, Kepsekmemanggilku ketika aku lewat dan akan ke TU. "Minta maaflah sama bu Tia!" pintanya padaku.Aku mengiyakan waktu itu. Ketika kuminta pendapat teman-teman, malah mereka berkomentar,"Apa? Sekarang siapa yang salah ini?" Aku tidak merasa benar, namun apa aku yang perlu mintamaaf?
Seminggu berlalu, aku duduk di ruangan piket. Pada saat itu sekolah kami kedatanganseorang Kepala Desa dari desa tetangga. Dia menemui Kepala Sekolah dan lewat di depanku.Biasanya dia ramah kepadaku karena adiknya teman kuliahku dulu. Kali ini wajahnya merah. Ronakemarahan terpancar jelas dari raut wajahnya. "Dia sangat marah sama bu Tia karena sudahmemfitnahnya," kata Kepala TU ketika kutanya tentang itu. Tentu saja ini urusan lain dan tidakada sangkut pautnya denganku. Dia mendengar Kades melaporkan ke Kepala Sekolah danmenceritakan juga padanya. "Kalau saya jadi Bapak, saya tidak akan pakai guru bongak sepertiitu!" kata Kades kepada Kepsek. Kasar sekali. Lebih kasar dari apa yang dia ucapkan padaku.Aku mendapat kabar bahwa Kades juga datang menemuinya. Memarahinya. Dia minta maaf danmeminta agar Kades jangan datang ke sekolah. Tapi, ternyata Kades tetap datang. Seharusnyadia sudah dipermalukan dengan kejadian itu. Apa dia memang malu? Jika tidak berarti uratmalunya sudah putus atau dia memang tebal muka. Di sekolah dan di di desa banyak yang tahu.Apa doa-doaku dikabulkan? Aku tidak mau berbangga hati. Itu urusan Allah. Bagiku sekarangadalah mengerjakan tugas-tugasku sebagai seorang pendidik. Berusaha tidak terlalumencampuri urusan orang lain. Tidak semua teman mendukungku, orang-orang yang tidaksuka padaku akan "menari-nari" di atas penderitaanku. Akan halnya hubunganku dengan bu Tia,aku berusaha sewajarnya karena aku ingin aman dari semprotan mulutnya yang kadang tidakmengindahkan kebenaran dalam bercakap dan bersikap. Tentu juga aku tak ingin memutuskanhubungan silaturrahmi dengannya dan dengan siapa saja.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar