Suprihatin Trisnodiharjo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Ketika Peci Pak Kesra Jatuh ke Pelukan Calon Janda

Ketika Peci Pak Kesra Jatuh ke Pelukan Calon Janda

Cerpen Suprihatin Trisnodiharjo

Materi Lomba Sastra dan Seni FIB UGM 2017

Kategori Cerpen

Rembulan hampir rebah di ujung malam. Cahaya terangnya mulai takhluk oleh gugusan embun yang turun satu-satu menyentuh pagi. Si jalu di pojok kandang mengepakkan sayap, bersiap membangunkan tuannya. Aroma santan menguap dari warung gudeg di ujung kampung merayap menggelitik hidung. Jalanan belum terlalu hiruk pikuk. Hujan beberapa jam sebelum penghabisan malam membuat dini hari terlalu basah untuk bergegas turun.

Lelaki setengah abad itu belum juga berhasil memejamkan mata. Mata plus dua yang hari-hari sebelumnya begitu mudah mengantuk itu tiba-tiba kehilangan gairah tidur. Hujan semalaman tidak sanggup membiusnya dalam selimut bunga-bunga hadiah ulang tahun istrinya. Pikirannya tidak bisa lepas dari perubahan besar yang terjadi pada dirinya, istrinya, juga orang-orang di desanya.

“Heran, kok sekarang Pak Kesra berubah ya? Jadi pemurung, tidak ramah. Kemarin pagi-pagi sudah nongkrong di jembatan, maunya saya sapa, eee nggak taunya malah gugup. Untung tidak kepleset!” Gerutu seorang warga yang tidak sengaja ia dengar.

“Eh jangan salah, tidak hanya itu, kemarin kamu berangkat jumatan tidak? Kamu tahu bagaimana Pak Kesra ceramah? Uh, plegak-pleguk, lupa, diulang-ulang, tidak menarik pokoknya, jadi malas berangkat jumatan!” Sahut lainnya.

“Sekarang jam segini juga belum datang, padahal biasanya Pak Kesra paling rajin berangkat, Pak Bon belum datang beliau sudah nyapu ruang kerjanya sendiri. Sudah jam berapa ini, apa tidak tahu, warga juga harus pergi bekerja!” Sahut orang pertama. Sayang, mereka terlalu cepat menyadari kedatangan Pak Kesra. Percakapan pun terhenti. Laki-laki yang biasa terhormat itu tiba-tiba merasa terpidana. Pak Kesra agak menyesal terlalu cepat memasuki ruang, andai ia tunda sebentar, tentu orang-orang itu lebih lelausa membicarakannya dan lebih banyak hal yang bisa didengarnya.

“Uh, ternyata ada warga yang berani menggosipku!” Laki-laki itu menunduk, tiba-tiba ada sisi hatinya yang begitu sensitif. Memang dua penggosip itu segera berhenti begitu motor Pak Kesra memasuki pekarangan balai desa, tetapi percakapan singkat itu benar-benar merasuki pikirannya. Malu, canggung, marah, kecewa berkecamuk di kepalanya.

“Pak..Pak..sudah azan apa tidak dengar?” Suara perempuan yang sangat di kenalnya membuyarkan lamunannya.

“Sudah tiga hari Bapak tidak azan subuh di musala, apa sekarang tidak azan juga, mau sampai kapan Bapak kehilangan jabatan sebagi muazin. Ingat Pak, muazin itu orang istimewa, karena muazinlah orang-orang menjadi ingat sembahyang!” Lagi-lagi perempuan setengah gemuk mengulang nasihat basi.

“Muazin itu orang penting Pak...bla...bla...bla...!” Pak Kesra melanjutkan omelan yang sudah sangat ia hapal itu dalam hati. Bagaimana tidak, istri setengah gemuknya paham keistimewaan muazin juga dari penjelasannya. Dulu sekali, saat masih pengantin setengah baru, istri yang dulu belum gemuk itu sering ngambek saat Pak Kesra pergi lebih awal ke musala untuk mengumandangkan azan. Kini penjelasan itu menjadi senjata untuk mengomelinya.

“Bapak...gimana sih?”

“Iya..iya...!” Sebelum ceramah pagi semakin panjang laki-laki pendiam itu memilih bangkit dari ranjangnya. Sandal lily di kaki diseretnya setengah hati. Agak malas ia sentuh air padasan dengan jemari yang enggan basah. Entah mengapa padasan peniggalan ayah itu tak lagi bersimbah pesona seperti hari-hari biasanya. Padasan yang sejak belia membuatnya selalu rindu untuk berwudu. Padasan yang membuatnya selalu ingin cepat-cepat menggusap ubun-ubunnya. Kini pesona itu sirna.

Berhari-hari lelaki yang masih menyisakan ketampanan masa muda itu menyesali kehilangannya. Berhari-hari pula ia menghibur diri namun rasa sesal itu tak kunjung pergi. Hampir seminggu ia kehilangan semangat, rasa percaya diri lenyap, bila dituruti putus asa pun hampur hinggap. Satu-satunya hiburan berdiri di atas jembatan kini tak lagi menjanjikan harapan.

“Lagipula kenapa bisa hilang sih Pak. Itu kan peci bernilai tinggi. Di desa kita mana ada yang punya selain Bapak. Kalau Bapak bukan kesra mana mungkin Pak Bupati mengirimi oleh-oleh haji asli buatan Arab Saudi!” Waktu sarapan menjadi saat paling mujarab untuk melanjutkan omelan yang tertunda.

“Sudahlah Bu...”

“Sudah gimana, peci itu kan asli buatan Arab dari Bupati pula, bukan hanya seperti oleh-oleh haji kiriman warga kemarin, labelnya saja gambar pedang bertulis made in Saudi Arabia tapi belinya di Tanah Abang. Atau kayak yang dikasih Pak Camat yang made in Syria tapi belanjanya di Tanah Abang juga!” Belum genap Pak Kesra berbicara istri setegah gemuk itu sudah menyambungnya.

“Lagipula, andai Bapak tidak berubah, meskipun tidak ikhlas mungkin aku bisa pelan-pelan melupakannya, lha ini, sejak peci itu hilang, Bapak berubah drastis!” Lanjut wanita itu berapi-api.

Pria sabar itu masih diam. Percuma juga menjawab, karena jawabannya pasti sama dengan kemarin dan kemarin lagi. Ia tidak terlalu kreatif untuk mereka jawaban berbeda untuk kasus yang sama apalagi berdusta. Sudah seminggu, hampir setiap sarapan istri semata wayang itu selalu membicarakan hal sama. Maka di hari ketujuh ia memilih diam. Entah menyelesaikan masalah atau memperkeruhnya yang ia tahu hanya bisa diam, lain tidak. Sudah seminggu meributkan masalah sama tanpa tahu jalan keluarnya pada akhirnya melelahkan juga. Celalakanya, untuk sekedar move on pun ia belum kunjung bisa. Perkara peci hilang menjadi lingkasan setan yag tak kunjung usai. Semakin tidak jelas apa penyebab Pak Kesra menurun kinerja, karena peci Saudi Arabia yang hilang, atau justru karena omelan istri setengah gemuknya.

“Semua orang kan tahu, cuma Bapak yang punya peci itu, jadi, kalau ada orang pake atau menyimpannya, pastilah dia yang mengambilnya!”

“Ibu! Ibu kok semakin ngaco begitu, suudzon itu namanya!” Sergah Pak Kesra yang semakin tidak mengerti sikap istrinya.

“Tidak bisa, pokoknya Ibu akan woro-woro, kalau sampai ibu tahu ada yang menyimpan peci Bapak, orang itu akan saya laporkan polisi!”

“Ibu!” Kali ini nada bicara Pak Kesra sangat tinggi. Sejenak istrinya gemetar. Belum pernah suami baik itu membentaknya. Ketakutan itu baru mereda saat sekilas sesal melintas di wajah suaminya. Untuk mempertebal sesal sang suami, istri itu balik bersungut-sungut. Berharap pria yang sudah dua puluh empat tahun bersamanya itu meminta maaf. Ini penting, agar tidak terkesan ia menyerah kepada amarah Pak Kesra begitu saja.

“Ibu pikir urusan sama polisi gampang, salah-salah malah kita dituduh mencemarkan nama baik orang! Mbok sudah, urusan peci saja kok sampai polisi!” Prediksi perempuan setengah gemuk itu ternyata salah. Harapannya sia-sia. Bukannya meminta maaf Pak Kesra justru menuntaskan amarahnya.

“Jangan dipandang baranganya Pak. Ini bukan sembarang peci kan? Siapa tahu sama Pak Bupati sengaja dipilihkan peci khusus yang bertuah, mereka kan tahu Bapak orang penting di desa ini. Atau paling tidak peci itu pernah didoai sama ulama penting di Mekah. Buktinya, sejak peci itu hilang Bapak jadi berubah. Pamornya turun, ceramah clingak-clinguk kayak anak ujian pidato kehabisan bahan, mimpin doa kenduri nggak khusuk, bahkan nemui mahasiswa KKN aja bapak ngomongnya gagap, nggak ada wibawa sama sekali. Ibu jadi malu melihatnya!” Perempuan setengah gemuk itu semakin kalap. Jilbab di atas keningnya turun naik. Segala bukti perubahan Pak Kesra sejak peci itu hilang ia beberkan seperti pencari keadilan sedang berjuang di persidangan. Segala aib suami menjadi amunisi.

“Pokoknya tidak boleh lapor polisi, titik!” Pak Kesra mengakhiri diskusi ala parlemen dengan kalimat keras dan pendek. Sebenarnya hati kecilnya mengakui semua ucapan istri. Tetapi ia adalah pemimpin yang harus mengambil keputusan penting dalam keluarganya, termasuk lapor atau tidak lapor polisi. “Hmm, hidup benar-benar rumit sejak peci Arab itu hilang. Ke mana pula peci itu jatuh, siapa pula yang berani mengambil saat peci itu anggun menghiasi kepala,” gumam Pak Kesra dalam hati.

Sudah puluhan tahun Pak Kesra menjadi pejabat desa. Banyak masalah berhasil ia pecahkan dengan mudah bahkan terlalu mudah dan tidak pernah membawa urusannya sampai ke rumah. Urusan anak sekolah butuh beasiswa, warga akan menikah, cerai, bahkan sengketa tanah bisa ia selesaikan dengan profesional, cepat, dan tentu saja mudah. Di masyarakat pun demikian. Semua urusan selesai di tangannya. Memimpin doa hajatan, mengisi pengajian, menjadi muazin sekaligus imam, sambutan mantu, doa pemberangkatan jenazah, juga memandikan mayat, semua ia lakukan dengan mudah dan biasa saja. Sesekali, agar tidak terlalu monoton, Pak Kesra membuat contekan doa-doa baru di telapak tangan kirinya.

Laki-laki serba bisa itu mengerjakan semua pekerjaan yang tidak semua orang bisa mengerjakan. Semua pekerjaan penting dan terhormat menjadi bagiannya. Semua ia kerjakan dengan nyaris sempurna.

Kini, bak Namrut yang tumbang oleh nyamuk, pria piawai di segala tantangan itu seperti kehilangan nyali pasca kehilangan peci. Tak tanggung-tanggung, rumah tangganya pun hampir menjadi taruhan ketika ia tak sanggup lagi menghentikan omelan melelahkan telinga dari bibir tipis istrinya. Untung malaikat masih menjaga kesabarannya. Sebelum kata paling dibenci meluncur dari mulut sakralnya, Pak Kesra memilih pergi, ke mana lagi kalu bukan ke balai desa.

Namun, setiap melintas jembatan ia selalu tergoda untuk berhenti. Melihat hamparan padi di samping jembatan menyejukkan hati. Yang istimewa dan paling menenteramkan hatinya, di jembatan itu ia bisa melihat calon janda yang kemarin mengurus surat-surat ke balai desa. Perempuan langsat itu meluncur cepat dengan sepeda motornya ke arah utara. Tidak menyapa, apalagi menundukkan kepala seperti warga lain yang mengenalnya, tidak. Calon janda itu mengenalnya sebagai kesra pun tidak. Pak Kesra sudah cukup bahagia dengan melihatnya melintas saja. Untung, waktu membantu mengurus surat di desa ia berhasil mengingat nomor polisi motor sang calon janda. Untunya pula di motor matik itu tertempel stiker yang jarang orang punya, sehingga mempermudah Pak Kesra mengingatnya. Namun entah terlalu siang atau terlalu pagi, sudah tujuh hari ini motor matik itu tidak melintas. Menyisakan resah yang kian membuncah di hati Pak Kesra.

“Bisa ketemu Pak Usman?” pertanyaan pertama wanita bertubuh ideal itu terngiang di telinga Pak Kesra.

“Iya saya sendiri!” jawab Pak Kesra heran, bertahun-tahun menjadi pejabat desa baru kali ini ada warga yang tidak mengenalnya. Menanyakan namanya di depan hidungnya.

“Mbak Amrin, Tegalsarinya sebelah mana?” Tanya pak Kesra setelah meminjam KTP perempuan yang diam-diam mengingatkannya kepada cinta pertama itu. Satu pedukuhan beda RT! Dan sang calon janda begitu naif tidak mengenal kesranya!

“Paling utara Pak, sudah mepet sawah.” Suara perempuan itu semakin mengingatkan Pak Kesra kepada seseorang yang pernah cukup lama mengisi hatinya. Hanya sebentar saja perempuan bergaris wajah sejuk itu di kantor desa, tetapi meninggalkan kesan yang dalam di hati Pak Kesra. Jarang ia melayani orang mau bercerai setenang wanita itu. Tidak emosi apalagi berapi-api. Sikapnya bijaksana, hanya menulis alasan seperlunya, tetap menutupi sebanyak mungkin dosa suami yang akan digugatnya. Pak Kesra semakin mengaguminya. Sebelum pulang wanita enak dipandang mata itu masih berpesan agar Pak Kesra merahasiakan perceraiannya. Tampak sekali sebenarnya ia sangat terpaksa membuka rahasia rumah tangganya demi membuat Pak Kesra percaya dan mau membuat surat pengantar yang dibutuhkannya.

Beruntung nomor polisi itu gampamg menancap di ingatannya. Setidaknya ia bisa melepas rindu mengagumi wanita itu dengan melihatnya melintas di atas jembatan desa. Bukan untuk bertegur sapa karena wanita itu tetap tak mengenalnya sebagai kesra. Kesibukan membuatnya tak mudah menghapal wajah apalagi nama orang yang baru dikenalnya. Pak Kesra sudah puas bila melihat perempuan tegar itu melintas di atas jembatan desa. Entah mengapa sikap biasa itu justru dirindukannya. Sikap polos seseorang yang tidak mengenal dirinya, sikap jujur perempuan yang tidak tahu jabatnnya. Bukan sikap hormat pura-pura dari orang-orang yang sudah mengenal diri dan jabatannya. Diam-diam lelaki itu merindikan perempuan yang hanya dua kali dilihatnya itu. Rindu pada wanita yang ia yakin tak pernah memikirkan akibat kehadirannya bagi Pak Kesra.

Senja di akhir kemarau menyisakan awan berarak jarang di angkasa. Jingga bercorak hitam menghadirkan siluet sakral di cakrawala. Hujan yang terlalu lama mengabaikan rindu dedaunan membuat alam tidak terlalu berharap bahwa awan bakal memenuhi janjinya menjelma air kehidupan. Kusam pepohonan delapan bulan tidak tersentuh hujan luruh menyempurnakan temaram. Hujan menjadi harapan paling istimewa bagi alam semesta.

Mungkin untuk hari itu saja mereka sepakat berharap hujan mau menunda jatuh barang semalam. Pengajian besar-besaran akan digelar. Semua orang sibuk sejak pagi. Ini pengajian istimewa. Pengajian akbar dengan mendatangkan Habib Kondang yang sudah mendunia. Tidak main-main, biaya pengajian pun sangat besar dan harus ditanggung oleh tiga desa, tentu saja termasuk desa terkaya di kecamatan Karangmulyo, desa Pak Kesra.

Ribuan bungkus nasi dibuat. Semua orang berlomba meyumbang tenaga bahan makanan tanpa diminta. Kelapa, beras, mie kering, telur, bumbu-bumbu semua datang silih berganti ke balai desa. Di sanalah para ibu dari berbagai dusun sibuk memasak.

Desa itu begitu hiruk pikuk. Sesekali pejabat dua desa sesama penyandang dana datang membantu mengawasi. Tidak ketinggalan Pak Kesra, dengan penuh harap dapat berjumpa Sang Calon Janda Yang Tak Mengenalnya Sebagai Kesra. Baju serapi mungkin, sepatu semengkilat mungkin, motor pun secemerlang mungkin. Meskipun hanya 0.001 persen kemungkinan perempuan itu datang membantu para ibu memasak, ia tetap harus bersiap menangkap kemungkinan itu. Pak Kesra tidak mau kecolongan, bertemu perempuan itu dalam keadaan tidak yang terbaik.

Senja beranjak malam. Hansip dan pemuda dari tiga desa berjaga-jaga di setiap jalan desa. Penjual aneka makanan menggelar dagangan di lokasi pilihan yang dianggap paling nyaman. Di tikungan, di bawah pohon rindang, di emperan rumah orang, semua tempat yang dianggap ternyaman pasti sudah ditempati pedagang. Anak-anak bergerombol di pojok lapangan sejak usai mandi sore. Usai salat isya iring-iringan jamaah mulai memasuki lapangan. Tidak hanya dari desa sekitar, jamaah lain daerah pun menghadiri pengajian itu karena pesona Habib Kondang.

Sebagai pejabat profesional Pak Kesra tahu persis harus datang lebih berapa menit dari undangan yang tertera. Tidak boleh terlalu awal agar tidak dicap sebagai pejabat kurang kerjaan, tetapi juga tidak boleh terlambat agar tetap bisa manggut-manggut mendengar pembawa acara menyapanya sebagai yang terhormat. Ia harus datang “pas” saat acara hampir dimulai. Dan itu adalah seperempat sampai setengah jam lewat dari angka yang tertera pada undangan.

Namun, untuk kali ini masa bodoh itu semua. Pak Kesra memilih hadir saat lapangan belum penuh jamaah. Pada saat demikian ia dapat megamati hampir semua warganya, termasuk sang calon janda tentunya. Memastikan wanita itu hadir adalah pekerjaan melelahkan yang dengan senang hati ia lakoni. Nista untuk seorang pejabat sepertinya, tetapi apa mau dikata, ia suka.

Kebiasaannya duduk tenang di deret kursi kehormatan pun rela ia lepaskan. Bukannya menempati kursi kehormatan Pak Kesra justru bergabung dengan para pemuda yang sibuk mengatur jamaah di simpang tiga. Di jalan itulah seharusnya perempuan itu lewat. Tidak cukup hanya menunggu ia pun sibuk melongok ke arah kampung Tegalsari. Mengenali setiap bentuk tubuh yang lewat, barangkali sebentuk tubuh ideal yang mulai terekam ingatan itu mendekat. Membawa senyum menawan yang diam-diam ia pesan. Juga aura sejuk yang membuat wajah itu selalu enak dipandang lekat dikenang.

“Rombongan ibu-ibu Tegalsari sudah datang ya Mas?’ Pak Kesra mencoba mencairkan kegelisahan. Naluri pejabatnya piawai menyembunyikan resah. Bagaimana harus bertanya tanpa perlu diketahui maksud sebenarnya oleh penjawab tanya, sudah ia pahami betul caranya.

“Belum Pak,” tanpa curiga pemuda di sebelahnya menjawab hormat. Bangga kepada Pak Kesra yang begitu perhatian kepada masyarakatnya.

“O..!” gumam Pak Kesra bernada kecewa meskipun sesungguhnya lega. Masih ada harapan perempuan yang dikaguminya datang. Kali ini, ia berani berharap. Siang sebelum pengajian ia sempatkan menitip pesan kepada Rum, tetangga terdekat agar mengajak Amrin berangkat. Tentu saja menitip pesan cara pejabat, bagaimana harus menitip pesan tanpa perlu diketahui maksud yang sebenarnya oleh pembawa pesan. Hmm...rumit, tetapi entah mengapa untuk kali ini terasa indah...

“Pak Kesra ni lho Bu Amrin saya ajak, biar ketemu tetangga, nggak cuma ngantor aja!” Sebaris kalimat setengah teriak terlontar dari suara Rum, perempuan infotainmen di Tegalsari. Cess, bagai menerima tantangan iceblanket dari Robby Purba badai salju langsung menerpa Pak kesra. Brrr... Belum juga melihat wajah yang dirindukannya, kesejukan sudah nyaris sempurna mengusap dada. Mengusir resah yang hampir meledakkan otaknya.

Monggo Mbak!” Apa mau dikata, berjam-jam bahkan berhari-hari merindukan, saat berkesempatan menumpahkan perasaan mulut alimnya justru hanya sanggup melontarkan sapaan datar. Selebihnya hanya kagum berbalut kelu. Kepiawaian berpropaganda lenyap ditekuk pandang sekedarnya mata sang idola.

“Iya Pak, terima kasih!” Seolah tanpa perasaan perempuan yang dirindukan itu pun hanya menjawab sama datar. Bedanya, sapaan Pak Kesra datar pada kalimat tetapi sarat getar tertahan di perasaan. Sedang kalimat dari bibir jingga itu datar benar-benar datar, tanpa makna tersirat, tanpa sedikit pun rindu termuat. Kalau Pak Kesra tetap bahagia, tentu karena kesempatan mendengar kalimat sesederhana itu pun sangat sulit didapat.

“Mbak Amrin diajak duduk kursi bawah tenda lho Rum!” Pak Kesra melanjutkan kalimatnya. Sungguh ia sangat berharap Rum mengerti maksudnya, dan benar-benar duduk di kursi bawah tenda. Dengan begitu ia bisa mengikuti dan mengajak ngobrol tanpa terlalu mencolok mata. Misalnya Rum mengajak perempuan itu duduk lesehan di lapangan, masa iya Pak Kesra akan ikut duduk di tanah demi pujaan yang tujuh hari ini menjadi buah rindunya. Apa kata orang?

Pak Kesra mulai meninggalkan kerumunan pemuda. Dengan cara melangkah tanpa orang perlu tahu maksud sebenarnya melangkah ia mulai memasuki arena pengajian. Melongok ke sana-ke mari mencari bentuk tubuh ideal yang mulai dihapal ingatannya. Deg, jantungnya terhenti. Perempuan yang dicarinya benar-benar duduk di barisan kursi, sayangnya paling belakang. Ah, tidak apa, ia bisa memakai kantuk sebagai alasan memilih tempat duduk belakang, mendekati pujaan hati. Toh Pak Lurah berkenan hadir, jadi sapaan yang terhormat malam itu tidak ditujukan kepadanya melainkan Pak Lurah atau Pak Camat.

“Naa. Gitu lho Jeng, gabung, kumpul-kumpul biar kenal banyak orang!” Setelah berhasil menata hati Pak Kesra mulai mengumpulkan keberanian untuk menyapa. Kali ini berhasil menyusun kalimat lebih panjang, diperkaya sapaan “Jeng” pula. Sapaan yang lebih hangat dan dekat. Bukan sapaan kadang “Bu” kadang “Mbak” yang membuatnya terasa berjarak.

“Mmm...iya, kalo gak lagi sibuk pasti datang!” Tanpa disangka perempuan itu menjawab dengan bahasa anak muda, cair, santai, jauh dari kesan takut apalagi membuat jarak. Selama ini mana ada orang yang berani menjawab Pak Kesra dengan cara demikian. Cara bicara itu membuatnya kembali pada usia beberapa puluh tahun yang lalu.

“Emang di kantor banyak tugas ya Jeng” Tidak ada ekspresi keberatan dengan sapaan baru membuat Pak Kesra bersemangat memakainya.

“Nggak juga sih, cuma lagi banyak tugas tambahan aja!” Jawab perempuan itu sambil mengeluarkan tab dari tas santainya, ukurannya hanya sedikit lebih besar dari tab 7” yang baru saja diaktifkannya.

“Tugas apa?” Pak Kesra segera menimpali, jangan sampai obrolan berharga itu terputus oleh tab yang mulai mempelihatkan aneka menunya.

“Hehe...mau tau aja, tugas pengimbasan ilmu aja kok!” Perempuan itu merendah.

“Gila, jadi perempuan pendiam bergaya bicara muda ini ternyata instruktur. Instruktur bergaya muda, rendah hati, bijaksana pula.” Tanpa disadari Pak Kesra memberi banyak predikat kepada wanita yang baru tujuh hari dikenalnya. Sejenak diihatnya perempuan itu sibuk membalas komen facebook. Diam-diam Pak Kesra mencuri baca dalam hati. Tidak ada status, sebuah foto guntingan berita koran tampak menyita perhatian. Dalam berita itu jelas tertulis nama perempuan di hadapannya, “Amrin...juara nasional penulisan buku pengayaan...”, dilengkapi foto berwarna. Tertulis pula dalam berita bahwa Amrin pernah menyabet kejuaraan sama di tahun sebelumnya. Ratusan orang menyukai, ratusan orang berkomentar. Muncul kesadaran dengan siapa ia berhadapan, perempuan istimewa yang membiasa. Membiarkan serangkaian prestasinya tersembunyi tanpa puja. Seharusnya ia berhak duduk terhormat sejajar dengan kepala desa, namun ia memilih berbaur dengan siapa saja. Bersikap apa adanya, sampai-sampai sebagai kesra pun ia tak tahu ada putra terbaik di desanya. Berbeda dengan beberapa warganya, yang baru berprestasi sedikit saja sudah menuntut uang pembinaan dari desa.

“Sungguh bodoh pria yang telah bermain talak dengan perempuan di hadapannya. Perempuan yang seharusnya ditempatkan pada posisi istimewa, dijaga kehormatannya, dirawat hatinya, dipupuk perasannya, pasti ia sanggup memuliakan suaminya.” Pikir Pak Kesra. “Andai aku...!” pikiran nakal mulai mengusik keimanannya. Mikrofon berdenging. Kenakalan urung meraja lela.

Wibawa Habib Kondang sejenak lenyap tertiup pesona sang bakal janda. Untung Habib Kondang belum sepenuhnya sakti, tidak menyadari orang di kursi belakang hanya sibuk mengikuti gejolak hati. Untuk kali ini Pak Kesra rela kehilangan pahala. Misal Habib Kondang mencoretnya dari daftar nama penitip doa pun, demi rasa indah yang kini membasuh jiwa, ia rela. Entah mengapa ngobrol dengan Amrin membuat hati serupa pelangi aneka warna. Hingga pengajjan purna hati Pak Kesra masih sibuk bertabur bunga.

Ribuan jamaah Habib Kondang mulai meragsek menuju jalan yang sama. Semua berdesakan ingin bergegas pulang. Amrin mengikuti arus manusia. Mau tidak mau Pak Kesra mengikutinya. Pak Kesra yang sabar berlama-lama pun ikut terbawa arus menuju jalan pulang. Kapan lagi berkesempatan jalan dengan pujaan, belum tentu setahun lagi ada kesempatan.

“Pecinya ke mana Pak?’ Tanya istri kesra dengan nada tidak suka, begitu membuka pintu untuk suaminya. Istri Pak Kesra kecewa melihat peci asli buatan Saudi Arabia lenyap dari kepala suaminya sepulang pengajian di lapangan desa.

“Lho, memanganya tidak ada?” Jawab Pak Kesra sambil meraba kepala. Pria itu baru menyadari peci kesayangan telah hilang dari tempatnya. Dan keributan demi keributan pun dimulai sejak Minggu pagi pagi berdebu itu.

*

Minggu pagi yang tidak terlalu cerah menyalurkan energi negatif pada tubuh-tubuh yang masih meringkuk dalam selimut. Amrin tak terkecuali. Tidurnya yang terlalu larut menambah valid alasan enggan bangkit. Sungguh ia merasa sedikit buang-buang waktu menghadiri pengajian semalam. Tidak ada ilmu yang ia dapat. Kupingnya hanya sibuk menyimak Rum dan Pak Kesra yang silih berganti menghujani tanya. Pengajian dari Habib Kondang pun menurutnya terlalu banyak propaganda. Apa mau dikata, materi itu yang lebih banyak disuka.

Kini ia harus mengepak baju sambil berjuang melawan kantuk. Besok harus cek-in untuk penerbangan terpagi tujuan Sukarno-Hata. Siang hingga sore hari ini ia harus menghadiri tiga undangan dari sahabatnya. Mau tak mau packing harus selesai pagi, agar nanti malam cukup istirahat untuk hari melelahkan esok pagi hingga enam hari berikutnya.

“Tiket, dompet, baju, mukena, bedak, minyak angin, sikat gigi, cas HP, cas notebook, paramex...!” demi mengingat barang yang belum terdaftar Amrin merasa perlu mengucap nama barang yang sudah ada. Tangannya sibuk mengorek isi tas yang semalam ia bawa. Alquran kecil yang selalu ia bawa kemana-mana belum tercoret dari daftranya, artinya barang itu belum tersedia. Tiba-tiba tangan di dalam tasnya menyentuh barang asing yang belum pernah dirabanya.

“Peci?” Dengan wajah heran dilihatnya lekat-lekat peci dalam genggaman. Putih bersih, sedikit tinggi di puncaknya, dengan hiasan logo dua pedang menyilang khas bendera Saudi Arabia. Bordir itu terlihat rapi dan lembut dengan warna senada. Menilik kerapihan bordir Amrin yakin peci itu buatan tangan terampil dan telaten orang Indonesia, bisa Padang atau Tasikmalaya. Orang Saudi Arabia tidak akan telaten menggarap bordir.

“Sepertinya peci Pak Kesra, kenapa bisa masuk ke dalam tasnya?” Amrin mencoba mengingat-ingat. Tidak ada kejadian istimewa.

“Duh, bagaiamana mengembalikannya, bila dititipkan pasti menimbulkan tanya, diantar ke rumah Pak Kesra apalagi, dibiarkan di rumah pun, tentu menimbulkan masalah. Apa kata bakal mantan suaminya? Belum lagi bila ada yang mengetahui benar bahwa peci itu milik Pak Kesra!” Oh! Barang sepele itu benar-benar mampu membuat Amrin bingung. Namun tidak lama. Packing untuk persiapan mengikuti lomba guru di ibukota lebih menyita pikirannya. Hingga saatnya berangkat ke bandara, peci itu tak lagi menarik perhatian Amrin untuk memikirkannya. Peci putih itu tetap menunggu di atas buku-buku.

*

Seminggu tidak melihat Amrin melintas jembatan membuat Pak Kesra memutuskan mengunjungi rumahnya. Ia tak sanggup lagi berlama-lama dalam ketidakpastian. Ia tak sanggup mendengar omelan istri yang semakin tidak rasional mengkambinghitamkan peci sebagai penyebab perubahan sikapnya. Lebih tepatnya, ia tak sanggup lagi menipu hati, kenyataannya, seminggu saja tak melihat perempuan ideal itu melaju di atas jembatan telah membuat hidupnya berantakan. Ia sudah bosan menjadi bahan gunjingan tetangga, sekaligus sasaran omelan istrinya.

Pak Kesra bertekad segera mengembalikan jati dirinya. Ia kumpulkan keberanian untuk memastikan keberadaan wanita yang telah mengacaukan hidupnya. Memastikan saja bahwa ia masih ada di rumahnya. Agar segala kekacauan (hati) segera dapat diselesaikan. Agar ia bisa tenang tenang meski hanya sekali-sekali saja ia bisa melihatnya.

Ia melangkah gamang. Serangkaian doa-doa ia panjatkan. Berharap Sang Maha Berani mengirim malaikat untuk menambah kekuatan. Pada setiap langkah perasaan Pak Kesra berubah-ubah. Dari niat bertemu untuk menyelesaikan kekacauan menjadi sebentuk rasa khawatir akan nasib Amrin. Baik-baik sajakah? Sakitkah? Atau jangan-jangan ini jangan-jangan itu dan semua jangan-jangan yang semakin menyiksa perasaan. Jarak tigaratus meter menuju rumah Amrin terasa begitu jauh dan lama.

“Assalamualaikum, Permisi Mbak Amrin?” Ragu Pak Kesra mengetuk pintu. Secarik surat keterangan ia genggam sekedar alasan bila sewaktu-waktu ditanyakan. Setidaknya, orang tidak curiga melihat Pak Kesra mengunjungi rumah warga. Seolah menyempurnakan derita Pak Kesra, seperti sengaja membiarkan tamunya menunggu Amrin tak segera mendengar dan membuka pintu.

“Ada tidak Pak? Baru tadi malam pulang tugas dari Jakarta, mungkin masih istirahat!” Bak wartawan infotainment Rum tetangga terdekat memberi inormasi cepat meskipun tidak akurat.

“Hmm...jadi seminggu ini Amrin ke Jakarta, pantas aku tak pernah melintasanya di atas jembatan.” Pikir Pak Kesra penuh sesal. Andai ia nanggap Rum, menanyakan kemarin-kemarin, kekacauan hatinya, yang akhirnya merembet pada kekacauan rumah tangga hingga warga desanya, pasti tidak akan terjadi.

“Eh, Bapak, silakan!” Baru saja diberitakan sedang istirahat Amrin membuka pintu dengan wajah segar habis mandi. Kakinya sibuk menjejalkan ujung karpet agar menahan pintu tetap terbuka lebar. Pak Kesra memasuki ruang tamu kecil tertata rapi. Sepotong tanaman segar dalam gelas bening menghias meja. Sesaat matanya terpana oleh kesegaran perempuan sehabis mandi. Jantung Pak Kesra berdebar-debar. Ia rasakan kembali saat pertama berkunjung ke rumah cinta pertama. Getaran itu semakin menjadi saat tanpa sengaja mata plus duanya menemukan peci si kambing hitam penyebab perubahannya versi instri setengah gemuknya itu itu bertengger di atas meja kerja perempuan yang dikaguminya.

“Mungkinkah Jeng Amrin menginginkan barang kenangan darinya? Tapi mengapa harus peci yang diambilnya?” Pikiran Pak Kesra berjuang memahami duduk perkara hingga peci itu bisa berada di meja kerja.

“Monggo Pak silakan diminum tehnya!” Amrin menyilakan Pak Kesra minum. Sepiring pisang bakar keju menemani teh hangat di sebelahnya.

“Iya..iya!” Pak Kesra hanya bisa bilang iya. Pandangannya lekat kepada perempuan yang sedang menghidangkan teh untuknya.

“Mungkinkah peci di atas meja itu menjadi bukti bahwa aku dan wanita yang telah membuatku hampir gila itu memiliki perasaan yang sama?” Pikir Pak Kesra yang memilih pura-pura tidak melihat pecinya. Meskipun aneh, sungguh ia sangat rela bila Jeng Amrin yang meyimpannya. Ah, mungkin Jeng Amrin memang cerdas sehingga paham barang yang disimpannya asli buatan Saudi Arabia.

Sepoi angin senja membasuh lembut wajah Pak Kesra. Wajah kuyu seminggu menanggung rindu itu perlahan bersemu merah jambu. Peci yang bertengger di atas meja semakin melambungkan harapnya. Perempuan apa adanya yang tidak pernah berlebihan menghormatinya seperti orang-orang yang pura-pura hormat kepada jabatannya. Pak Kesra sungguh lega. Hatinya bermekaran bunga-bunga. Biru, ungu, merah, juga jingga. Sejingga senja yang semakin hangat menemaninya...

selesai

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab! sastra banget.

01 Oct
Balas

Keren bu... :-D

06 Oct
Balas



search

New Post