Suprihatin Trisnodiharjo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

LOMBA MENULIS PUISI SASTRA DAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA Kategori Lomba Menulis Puisi. Puisi Karya Suprihatin Trisnodiharjo

LOMBA MENULIS PUISI SASTRA DAN SENI

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA

Kategori Lomba Menulis Puisi

Puisi Karya Suprihatin Trisnodiharjo

Sang

Bagaimana kabarmu di sana

Masihkan berselimut rindu

Atau sudah bersahabat dengan cemburu

Banyak yang ingin kuceritakan padamu

Tentang angin yang mendadak beku

Juga matahari yang tiba-tiba padam

Tentang kematian yang terasa dekat

Namun kian berlari meninggalkanku

Biasanya Tuhan tak begini angkuh

Membiarkan kita berharap cemas dalam diam

Membiarkan kita terbelit rindu samar-samar

Membiarkan hati beku terjerat darah pekat

Biasanya Tuhan tak demikian kejam

Membiarkan kata membusuk di kerongkongan

Dan curiga merajalela tanpa jeda

Seperti mantra, matamu telah mengusaiku

Apa salahnya bila jantung berdetak karenamu

Apa salahnya bila hati meleleh oleh cahayamu

Memang perlahan saja,

Alam sudah mengajari hidup untuk tidak terlalu apa saja

Luka mengajariku untuk pelan-pelan merawat rasa

Tertanam perlahan, tumbuh perlahan, dan kekal di sana

Sayang hari berjalan terlalu lambat

Ribuan terik dan hujan mengikis apa saja berubah bisa

Hati membatu, rasa membeku

Hanya jemarimu yang mampu

Mengusap darah beku

Melunakkan batu-batu

Aku merindu tak berjarak denganmu.

( Untuk sahabat timurku)

Gadam di Wajah Adam

Di antara lembar pekat yang rumit dibuka

Masihkah terselip sejatinya niscaya

Yang disamarkan gadam lewat syair-syair

Menyandera bait suci dengan merah matanya

Merobek kitab-kitab dengan lidah bisa

Kasih, di sinilah kita akan bertemu

Mengakhiri pengembaraan harap

yang tiada berhenti mempermainkan kata

Mengaburkan jingga dan hitam angakara

Menyamarkan pasti menjadi nisbi

Di bukit tersunyi kita akan bercerita

Tentang mulut-mulut bergumul dusta

Tentang budak bertuan angka-angka

Tentang kerongkongan penelan kebenaran

Tentang kaki tergopoh menghamba tirani

Tentang pelacur penabur racun di ladang semaian

Tentang langit yang gelap oleh kerikil dari paruh ababil

Melumerkan tubuh-tubuh telanjang

Berselimut aroma luka dan kematian

Kasih, di sinilah kita akan bercengkerama

Tentang warna yang belum pernah menyentuh mata

Tentang suara yang belum penah melintas telinga

Tentang aroma yang belum pernah menyusup dada

Tentang indah yang belum pernah kita resap

Tentang luas yang belum pernah kita tatap

Tentang cinta yang belum pernah kita dekap

Tentang nikmat yang belum pernah kita cecap

Tentang semua yang tidak pernah kita sangka adanya

Akankah kita bergandeng melangkahi jejak yang sama,

Agar gadam tak lagi menodai wajah Adam?

Opera Surtipikasi

Di gedung inpres yang bocor sana-sini

Aku bersaksi atas lelucon gratis abdi negeri

Tak jauh beda dengan panggung opera mini

Pelakonnnya siapa lagi kalau bukan Yu Surti

Perempuan lugu tiba-tiba bergincu

Bedak tebal menutup noda seluas muka

Lehernya? Apa mau dikata, ia biarkan hitam begitu saja

Kerjap mata berat oleh bulu plastik dan perona

Komat-kamit bibir sewarna cabe menyala

Empat jari kaku dikait dua belas cincin batu

Bila hanya pakai satu konon serasa lepas jari-jari itu

Gelang emas naik turun sepanjang tangan

Payet kerudung berebut kilau dengan matahari

bros sebesar kelapa

Sepatu hak tinggi

Tiruan tas branded,

Smartphone terbaru

meski bisanya tetap sms dan telfon saja

Kaget, kaget, kaget

Rejeki datang tiba-tiba

Tunjangan sebesar gaji utama

bikin gelagepan tiada kira

Saking kagetnya hingga lupa

Bukan amanah dipenuhinya

Barang impian lebih mengoda

Misi tunjangan sekejap lupa

Unjuk harta tidak bisa lagi ditunda

Sepertinya Yu Surti lupa,

profesi tak bertunjangan pun banyak adanya

Ah, buat apa aku durja

Menekur rindu pada tanah sahaja

Fesbuk

“Lembur terus Pak, istirahatlah!” Istri meminta.

“Iya Bu sebentar lagi!” Suami menunda.

Matanya berpaling dari perempuan di layar monitor

Otaknya tertinggal pada tubuh ideal cenderung ranum

Perempuan penguasa hatinya.

Ah, perempuan itu memang terlalu jual mahal

Mahal membalas pesan, mahal mengangkat telepon

Mahal membalas rasa, uh, jelas tak bisa

Tidak mau diapeli apalagi diajak pergi

Hanya senyum ramah membalasa sapa

Heran, di zaman gila masih ada perempuan jinak merpati

Satu-satunya yang lelaki bisa hanya mengagumi

Untuk itu pun butuh pengorbanan setengah mati

Lelaki terhormat rela menjadi bahan tawa

Belajar internet membuat akun sosial media

Mengakrabi teknologi yang asing baginya

Demi mengaumi gambar si jinak merpati

“Untung istriku tidak tahu,” lelaki bergumam.

“Suamiku pandai komputer,” perempuan berlalu.

Foto molek di layar monitor meniupkan curiga

Meski begitu tidak bisa meruntuhkan bangga

Perempuan sibuk bersyukur

Pria sarjana yang menyuntingnya

Kini menjadi perangkat desa

Selalu terhormat didengar kata-katanya

Perempuan merasa bukan siapa-siapa

Lulusan SMA dan pandai memasak saja

“Aku beruntung.”

Bisik perempuan sepanjang doa

Lelaki itu harus kujaga baik-baik

Memasak enak untuknya

Merebus air mandinya

Menyeduh teh gula batu kegemarannya

Membuat mie instan spesial diganti airnya

Mencegah angin masuk ke tubuhnya

Dengan Pak Pung Oil kesayangannya

Bila perlu saja ia kerik punggungnya

Perempuan memandang bangga lelakinya

Menggerai rambutnya dan lelap di peluk malam

“Senyummu mengalahkan rembulan.”

Lelaki kembali gemas memandang monitor

Lekat kepada perempuan serba enak dipandang

Berharap cemas perempuan membalas pesan

Sayang, bermenit-menit tanpa kedip

Sang penguasa hati tak segera menimpali

Marahkah dia?

Lupakah dia?

Bencikah dia?

Hilang hatikah dia?

Lelaki menjelang senja tertidur di meja

Menyandarkan gairah bersilih resah

Dalam hangat segudang tanya

Sinyal berkedip

Monitor berkedip

Mati sendiri. Senyap.

Setengah Indonesia

Inikah Indonesia?

Sungguh aku sedikit pangling

Setahuku kau dara molek, mengapa sekarang kerontang?

Saat kutinggalkan kemarin, kau masih perawan

Berhias sawah menguning dialiri sungai bening

Berteman lembu perkasa menggarap sawah

Dijaga nyawa-nyawa setia yang bangga mengolah setiap jengkal tanah

Waktu kutinggal dulu, kamu masih lugu

Anak masih tunduk kepada bapak ibu

Pencari ilmu masih loyal kepada guru

Laki-laki masih pintar menjaga nafsu

Perempuan masih malu-malu membuka baju

Baru saja aku tinggal mengusap ingus

Lhadalah, kenapa sudah begitu berbeda

Mencibir otakku yang ternganga

Sendirian dalam kekaguman

Disergap kerinduan jaman ingusan

Ini nyata atau setengah nyata setengah mimpi

Besi-besi tertanam di sawah tumbuh rumah

Panennya bukan bulir padi bernas tapi bocah

Sapi-sapi mati kehabisan jerami

Petani menukar sawah dengan rupiah

Dalam sekejap rupiah tuntas bertukar kuda jepang

Lalu, petani manaiki sawahnya berlomba menjadi pelayan di kota-kota

Anak-anak muda terusir dari negeri sendiri

menggadaikan harga diri menjadi TKI

Tak sedikit menyerahkan tenaga dan nyawa di tangan majikan

Bahu-bahu tua tak lagi berharga meringkuk lapar di tanah terkaya

Hutan merintih gundul terusir dari tanah leluhur

Atas nama devisa pohon ditelanjangi dan disebar ke seluruh dunia

Meninggalkan tonggak-tonggak terlantar nestapa

Trembesi dan jangkang tua tempat berteduh saat lelah menyusuri jalan sekolah

lenyap dimakan kios-kios pedagang, konon sebagai sumber hidup

Tak salahkah?

Kata bapak, sumber hidupku adalah air susu yang mengalir deras dari dada ibuku

Ini Indonesia atau setengah Indonesia, setengah belahan barat dunia

Siswa tidak lagi menghargai gurunya

Pandang dibalas tatap kata dibalas kalimat

Rokok, ciu juga ganja merambah laci-laci sekolah

Lelaki perempuan tidak lagi malu merangsek badan di sela pelajaran

Guru menciut takut menghadapi keberandalan siswa

Atas nama ganti rugi dan popularitas

Orang-orang membela siswa membabi buta

melawan musuh yang juga gurunya

Benar salah tak lagi jelas beda

Ah, ini pasti bukan Indonesia!

Indonesiaku bukan seperti ini

Negeri gemah ripah loh jinawi

Berbudi luhur tinggi pekerti

Apakah aku keliru mencomot negeriku

dari kotak undian di mall titipan Amerika

saat aku membeli saputangan pengusap ingusku?

Jangan-jangan negeriku yang asli sudah dibeli orang pagi tadi

Jangan-jangan negeriku yang lohjinawi dan bikin iri sudah dibawa pergi

Dalam buntalan kresek hitam hingga sulit dikenali

Ditenteng jahanam yang dulu kita buat terbirit-birit dari negeri ini

Lalu,

Kemana aku harus mencari setengah Indonesiaku?

Kepada siapa harus kutukar?

Kepada penjaga kotak undian?

atau kepada pemilik mall yang sedang sibuk tertawa

untuk kebodohan bangsa yang bangga membiarkan negeri sendiri tercuri,

Indonesia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post