Suprihatin Trisnodiharjo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Menyoal Kebijakan Setengah Dewa

Pendidikan merupakan investasi terbesar sebuah negara. Melalui pendidikan negara meregenerasi pelaku pembangunan di masa depan. Begitu vitalnya pendidikan, maka setiap lembaga swasta yang mendirikan yayasan pendidikan harus atas ijin negara. Tidak sekadar ijin, mereka wajib melaksanakan program yang sejalan dengan program pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Dari segi pendanaan pun, negara mengalokasikan seperlima anggaran negara untuk pendidikan. Jumlah yang tidak main-main besarnya. Wajar bila pemerintah membarengi kucuran dana pendidikan tersebut dengan serangkaian tuntutan dan kebijakan. Kebijakan tersebut sangat penting dirumuskan agar setiap program berkait pendidikan dapat berjalan sesuai harapan.

Sayang, dari serangkaian kebijakan yang dilahirkan pemerintah ada kalanya justru membuat pelaku pendidikan seolah terjerat dan tidak mampu berbuat banyak. Beberapa kebijakan bahkan menjadi bumerang dan mengikis kewibawaan pelaku pendidikan. Masyarakat yang hanya tahu sedikit, belum tahu ujung pangkal permasalahan, bisa dengan ringan melecehkan guru hingga menteri pendidikan hanya karena harapannya tidak terakomodir oleh kebijakan. Sekolah dan guru sebagai ujung tombak pendidikan pun menjadi sasaran.

Sebagai institusi vital pembangun kualitas generasi bangsa seyogianya sekolah menjadi lembaga terhormat dan berwibawa. Kewibawaan ini penting agar sekolah dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Tidak setiap orang maupun lembaga boleh ikut campur dalam kebijakan sekolah.

Mutu dan wibawa merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tidak bisa dipungkiri kewibawaan institusi pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas proses dan lulusan yang dihasilkan. Institusi yang berwibawa membuat masyarakat menghormati dan menaati setiap kebijakan dan proses yang dijalankan. Rasa dihormati memberi perasaan tenang bekerja. Rasa dihormati juga akan menimbulkan rasa percaya diri yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah yang dihormati siswa dan masyarakat lebih mudah mengendalikan segala bentuk kegiatan pengembangan sekolah. Masyarakat yang menghormati sekolah pun akan lebih mudah mendukung setiap program sekolah dengan segenap pikiran, tenaga, bahkan harta. Sehingga sekolah lebih ringan menjalankan fungsinya.

Sekolah yang berwibawa dapat melaksanakan pembelajaraannya dengan tenang tanpa rasa khawatir diintimidasi oleh pihak mana pun termasuk lembaga-lembaga di luar sekolah yang kadang pedas mengritisi tanpa paham duduk perkara. Sebaliknya sekolah yang tidak berwibawa menarik perhatian banyak orang untuk bercampur tangan. Salah sedikit saja banyak pihak beramai-ramai menghakimi. Langkahnya untuk maju pun semakin sulit. Kewibawaan pendidikan menjadi sangat penting dijaga. Dengan kewibawaan sekolah memiliki kekuatan mengajak semua pihak untuk berperan aktif meningkatkan mutu pendidikan.

Namun faktanya sekolah yang disegani dan dielu-elukan tinggal cerita masa lalu. Wibawa dan kehormatan sekolah masih sebatas mimpi yang jauh panggang dari api. Rasa hormat masyarakat Indonesia kepada sekolah sebagai institusi yang mendidik putra-putrinya mulai luntur. Mereka menyerahkan anaknya untuk dididik di sekolah namun tak sepenuhnya percaya kepada sekolah. Masyarakat seolah mata-mata yang siap menerkam meski dengan sedikit saja kesalahan. Sedang siswa seolah raja yang tidak boleh dikecewakan sedikit saja. Jangan mimpi guru bisa memukul kuku panjang siswa. Itu hanya terjadi di masa lampau, ketika orang tua percaya apa pun yang dilakukan guru dalam mendidik anaknya. Kini, guru jangan bermimpi bisa selamat bila hal itu terjadi. Serangkaian denda dan aduan siap menanti.

Memang tidak semua masyarakat bersikap demikian. Namun, sikap negatif inilah yang dominan dibuplikasikan sehingga masyarakat banyak merasa sah-sah saja ketika meniru. Masyarakat yang belum paham ikut-ikutan, tidak terkecuali siswa ikut melecehkan guru dan sekolah tempat ia memperoleh pendidikan.

Siswa kehilangan rasa hormat kepada gurunya. Derajat moral siswa sudah di ambang batas kewajaran. Siswa bukannya malu sebaliknya bangga bila sudah bisa melanggar norma. Siswa telah hilang rasa peduli, dan lebih ringan membantah guru. Sebaliknya guru berkata atau bertindak sedikit keras saja, sudah memicu amarah orang tua. Akibatnya, hampir setiap saat kita mendapat berita tentang guru yang dilaporkan orang tua. Parahnya, media pun seperti mengipasi bara, bukan menengahi sebaliknya memojokkan guru. Guru menjadi manusia yang bagai jatuh tertimpa tangga. Ketika berhasil tiada diharga, sekali salah dicaci dan dihina. Sekali pun jelas siswa yang salah, guru pulalah yang dianggap sebagai penyebabnya. Sebaliknya, siswa bak menara gading yang tak boleh tersentuh sekalipun demi proses pendewasaan dirinya.

Salah Persepsi Slogan Sekolah Gratis

Apa pun kebijakan yang digulirkan pemerintah tentu dimasudkan untuk kebaikan dan kemajuan pendidikan. Namun siapa sangka beberapa kebijakan ternyata justru menimbulkan masalah baru bagi sekolah. Sebut saja kebijakan sekolah gratis. Kebijakan tersebut digulirkan demi membantu masyarakat miskin agar tetap bisa bersekolah tanpa perlu memikirkan biaya, karena semua biaya operasional sekolah sudah ditanggung pemerintah. Di luar dugaan. Masyarakat menganggap BOS adalah milik siswa. Banyak orangtua yang merasa berhak meminta uang tunai ke sekolah. Kata “gratis” dimaknai masyarakat bahwa “untuk menyekolahkan anak tidak mengeluarkan uang sedikit pun”. Akibatnya, banyak orangtua yang menganggap seragam dan buku-buku pribadi pun menjadi tanggungan sekolah. Sedikit saja mereka harus mengeluarkan biaya, maka sekolah dianggap melanggar aturan sekolah gratis.

Sekolah yang enggan bermasalah memilih mengelola dana apa adanya. Mereka tidak berani mengembangkan kegiatan dengan biaya selain BOS meskipun dari sumbangan sukarela. Padahal dana BOS hanya bisa mencukupi biaya penyelenggaraan standar. Masih perlu suntikan dana bila sekolah ingin maju dan berkembang.

Dari segi siswa pun kata gratis menjadi bumerang. Siswa menjadi seenaknya karena tidak merasa perlu bersungguh-sungguh. Kata gratis membuat siswa merasa tidak perlu bertanggung jawab terhadap orang tua. Toh orang tua tidak menanggung biaya. Akibatnya mutu sekolah pun sulit meningkat. Pendidikan gratis yang bertujuan awal untuk memudahkan rakyat memperoleh pendidikan, sedikit banyak justru berpengaruh buruk pada kinerja sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Mimpi Tunjangan Sertifikasi

Sikap hedonisme oknum guru yang kurang menunjukkan sikap pribadi yang baik sedikit banyak juga merendahkan kehormatan sekolah. Bukan rahasia lagi, sejak digulirkannya tunjangan profesi untuk guru, maka tingkat perekonomian guru naik. Kenaikan tingakt ekonomi seharusnya berdampak baik bagi peningkatan kualitas diri guru. Tunjangan yang diterima seharusnya digunakan untuk anggaran kualitas misalnya membeli buku atau menempuh pendidikan S2. Boleh saja uang tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi selagi tidak melupakan peningkatan kualitas seperti tujuan pemerintah memberi tunjangan. Namun faktanya, sebagian besar guru justru memanfaatkan tunjangan tersebut untuk kepentingan konsumtif seperti merenovasi rumah, membeli mobil baru, atau kebutuhan lain yang tidak relevan dengan tujuan tunjangan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post