Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#24_Cafe Hotel Berbintang Jadi Saksi)

Malam nanti Mba Dian tidak ada jadwal dubbing. Artinya aku tidak ada acara mengantar dia ke studio rekaman. Aku belum berfikir untuk merencanakan sesuatu untuk nanti malam. Tak ada yang istimewa selain berduaan di atas becak menuju studio. Sebelum ada aktifitas mengantar Mba Dian dubbing, aku biasanya pergi ke bioskop hanya sekedar menelan kesunyian malam sendirian. Teman kosku satu-satunya, Irwan, sudah punya teman spesial yang hampir tiap malam dia kunjungi. Sekarang aku sudah tidak lagi ada keinginan ke bioskop. Sempat terlintas untuk mengajaknya menonton tapi selalu urung. Takut dia tak suka ke bioskop dan tepatnya memang tak ada nyali mengajaknya.

Tiba-tiba telepon di depan meja Pak Andika bergetar dan menderingkan suara yang mengerikan di telingaku. Aku tak mengangkatnya.

“Mas, telpon buat Mas Suryo, nih.” Mba Ari meneriakkiku.

Aku bangkit masih dengan malas-malas.

“Halo, Mas. Maaf mengganggu.” Suara itu tak asing bagiku. Jantungku berdegup lebih kencang mengikuti irama kegugupanku.

“Halo, iya mba Dian. Ada apa yah?” Tanyaku formal.

“Begini Mas. Saya ada undangan meeting gathering dengan Rotary Club Purwokerto di Cheers Cafe hotel Dinasty. Kami para anggota Rotary muda termasuk saya akan menghadiri acara meeting tersebut. Tapi saya nggak ada teman untuk berangkat ke sana. Mas Suryo ada acara nggak besok malam?” Aku sontak gelagapan tak tahu harus menjawab apa. Cheers Cafe di hotel berbintang itu?

Mba Dian ini memang seorang gadis yang luar biasa. Selain sibuk kuliah dan mengajar dia juga masih terjun ke bidang sosial. Dia banyak menghabiskan waktu luangnya untuk berkontribusi di Rotary Club. Di sana dia berperan di Rotary mudanya atau dikenal dengan Rataract. Rotaractor membantu pelaksanaan kegiatan Rotarian dalam kegitatan-kegiatan bakti sosial atau charity. Selain itu dia juga aktif membantu program pertukaran pelajar antar negara tentunya karena kemampuan bahasa Inggrisnya yang ‘wow’ itu. Kerjanya mengurusi segala keperluan dan kegiatan para pelajar dari luar negeri seperti Amerika, Kanada, Australia, dan negara lainya. Sungguh aku selalu ingin banyak belajar darinya. Selain percaya diri dia juga memiliki seabrek kemampuan.

“Kalau malam Minggu besok sepertinya saya ngga ada acara,” jawabku berlagak sok sibuk dan banyak acara. Sebenarnya bukan hanya malam Minggu besok bahkan malam Minggu-malam Minggu yang lain pun akan selalu sama, tidak ada acara.

“Iya Mas besok malam. Kira-kira keberatan ngga Mas kalau menemani saya ke acara itu? Itu acara penting Mas. Bisa nambah wawasan dan dijamin banyak ketemu teman. Ada teman-teman saya juga dari Australia Mas. Nanti bisa belajar bahasa Inggris.” Aku sejenak merenung dan berfikir. Kesempatan yang baik sekali bagiku untuk mempraktekan bahasa Inggrisku.

“Gimana Mas? Bisa ngga?” Dia mendesakku.

Akhirnya aku pun tak kuasa menolak. Ini akan menjadi suatu pengalaman baru buatku.

“Ok bisa! Besok malam saya jemput ya mba?” Aku menjawab lantang penuh optimis. Anganku melambung. Aku berjanji aku akan sebaik-baiknya memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar bergaul. Karena bergaul dengan lingkungan baru bagiku ibarat aku akan berangkat berperang yang aku belum tahu senjata apa yang akan kugunakan. Aku hanya punya sedikit tekad menjadi lebih baik.

Hotel berbintang berlantai empat itu tampak begitu megah dan memang merupakan hotel termegah di kota Purwokerto saat itu. Biasanya aku hanya melihat bangunan itu dari jalan raya saat melintas depan gedung. Namun kali ini aku benar-benar melangkahkan kakiku yang pertama di dalamnya. Memasuki front door hotel, kakiku terasa berat untuk diajak melangkah menuju Cheers Cafe di lantai satu. Aku merasa mati gaya. Seolah-olah semua mata tak ada yang luput memandang kedatangan kami berdua bak menyambut mempelai pria dan wanita yang sedang berjalan menuju pelaminan. Kami datang terlambat karena becak yang biasa aku pesan sedang absen.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba tangan kami sudah bergandengan dan seakan-akan memproklamirkan bahwa kami adalah sepasang kekasih yang berbahagia. Aku masih tak tahu harus bersikap bagaimana. Keringat dingin mulai membasahi pakaian bagian dalamku. Aku hanya mampu melakukan apa saja yang Mba Dian lakukan. Menebar senyum seramah-ramahnya, bersalaman sehangat-hangatnya, menjawab pertanyaan sesimpel-simpelnya jika ada yang bertanya, atau berdiri mematung ketika Mba Dian sedang asyik berbicara dengan teman-temannya.

Beberapa diantaranya ada yang meledek dengan kata-kata yang membuatku ingin segera bergeser dari tempat itu.

“Selamat ya Yan! Ganteng, lho!” Mereka memanggil Mba Dian dengan panggilan akrab ‘Yan’.

Aku dibuat kikuk.

“Wah, surprising Yan! Kayaknya belum pernah dikenalin ya.” Teman yang lain menimpali.

“Ih, apaan sih kalian? Ini temanku dari Top Photo,” Jelasnya.

“Teman apa teman?” Yang lainnya menyahut.

Mba Dian tidak menggubris. Dia pura-pura tidak mendengar dan langsung menyambangi bapak-bapak yang duduk berseberangan dengan istrinya yang dari tadi senyum-senyum ke arah kami. Aku pun mengikutinya dari belakang.

“Ayo Dian, duduk!” Mereka sangat hangat dan ramah. Kami menyalami sepasang suami istri paroh baya tersebut dan tetap berdiri diantara mereka karena belum terlihat ada kursi yang kosong. Dalam posisi itu aku tambah kikuk merasa semakin diperhatikan orang-orang.

Akhirnya kami pun menemukan dua kursi kosong di meja besar berdekatan dengan sepasang Opa Oma yang sedang menikmati hidangan malam. Mereka juga menyambut kami dengan sangat hangat dan kami duduk berdesakan di antara mereka.

Sesuatu terjadi dan sangat membuatku malu. Aku benar-benar seperti seorang culun kampung yang sedang berusaha menjadi orang kota. Saat kami mencoba mengambil hidangan malam, tanpa aku sadar aku menjatuhkan sendok hingga menimbulkan suara nyaring tak terkira. Keringatku mengucur di seluruh tubuhku. Banyak mata menatap ke arah kami. Opa Oma yang ada di depanku berusaha menghiburku dengan bahasa yang sangat menenteramkan. Mba Dian memandangku dengan senyuman terbaiknya. Aku merasa lebih relax dan tenang walaupun jantungku sudah mau lepas dari pangkalnya.

Mba Dian yang aku kenal belakangan ini ternyata belum seberapa. Dia adalah orang yang sangat supel dan populer di gathering itu. Semua orang mengenalnya dengan baik. Banyak diantara mereka sengaja menggunakan bahasa Inggris dengan Mba Dian hanya untuk sekedar menguji kemampuan berbahasa Inggrisnya. Mba Dian meladeninya dengan baik. Mereka para orang sukses yang tergabung dalam kegiatan sosial dan itu luar biasa. Aku harus banyak belajar dari Mba Dian yang bisa begitu dekat dengan kumpulan para pengusaha dan beberapa pejabat.

Dengan sangat lamban acara gathering Rotary itu usai juga. Hatiku lega bukan kepalang. Aku belum terbiasa dengan party seperti ini. Aku tak becus menjadi orang kota. Impianku untuk menjadi orang sukses di kota ternyata masih sangat terbatasi dengan jiwa minderku.

Keluar dari cafe kami berjalan kaki di pelataran parkir menuju jalan raya. Kami tidak menuju tempat parkir karena kami berangkat naik becak. dan langsung menuju pangkalan becak untuk memanggil paman becak yang berderet menunggu calon penumpang di tepi jalan depan hotel. Baru saja tanganku melambai ke arah deretan becak, tiba-tiba sebuah Kijang berhenti di sebelah kami.

”Mau naik apa Yan?” Seorang bapak ramah yang tadi menyapa kami dari dalam mobil dengan tatapan mata sangat bersahaja.

“Ini mau naik becak Pak,” Mba Dian segera menjawab. Aku celingukan mencoba memberikan senyum terbaikku tanda mengiyakan.

“Ikut saja yuk! Ke Kolonel Sugiyono, kan?” Bapak tadi menawarkan tumpangan.

Mba Dian melirikku memberikan isyarat meminta persetujuan. Aku bingung. Sementara paman becak terbengong, jadi dipesan apa enggak.

“Enggaklah Pak. Kami sudah pesan becak,” jawab kami hampir serempak.

“Udah, ngga papa. Naik saja. Ayo, kan jauh naik becaknya,” Si Bapak mulai memaksa dan kami harus kalah. Akhirnya malam itu kami pulang naik mobil si Bapak baik itu. Ada rasa malu tapi Mba Dian selalu bisa menetralisir suasana. Aku tahu Bapak dan istrinya ini terasa begitu dekat hubungannya sama Mba Dian. Mereka begitu intim ngobrol seperti satu keluarga tanpa batas. Aku sendiri yang masih belum bisa melebur dengan suasana ini. Aku tenggelam dengan pikiran-pikiranku sendiri yang sulit untuk diajak berkompromi. Aku tak bisa menyimpulkan dengan baik dengan peristiwa malam hari ini.

Kebahagiaan kecil yang aku dapatkan selama bersamanya malam ini begitu tak mudah kulupakan. Meskipun aku masih ragu dengan diriku sendiri untuk ingin jauh lebih dekat lagi dengannya, tapi ada sedikit optimis di dalam hati kecilku. Bahwa aku merasa ada kekuatan yang lain yang selalu ingin mempertemukan kami. Entah itu kebetulan atau memang mungkin Tuhan sedang berencana untuk menyatukan aku dan dia. Banyak sekali kebetulan yang seperti sudah dirancang dengan baik oleh kekuatan itu.

Cheers Cafe menjadi saksi malam itu. Para tamu itu menjadi saksi kebersamaan malam ini. Semua tampak sempurna walaupun aku merasa sangat tidak sempurna dengan semuanya. Karena masih ada sesuatu yang masih terasa mengganjal di relungku paling dalam. Aku pun tak tahu ada apa di sana. Semoga misteri hati ini segera terkuak.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hanyuuutttt...dengan asyiknya jalan cerita mba Dian dan Suryo. Lanjuuutttt...pak guru. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah.

06 Oct
Balas

Terimakasih Ibu. Ditunggu lanjutannya.

06 Oct

Hehe...siap Bu.

06 Oct
Balas

Membaca cerita kali ini ....seperti membuka memori dulu..menyusuri jalanan kota Purwokerto..hotel dynasti...jalan kolonel sugiono.... Semoga Suryo dan Mba Dian menemukan jawaban itu....Lanjuut Pak....

06 Oct
Balas



search

New Post