Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#42_Epilog (Di Penghujung Kemarau)

Keindahan ini sungguh aku rasakan luar biasa. Setelah tersungkur-sungkur di ribuan kemarau yang panas dan gersang, akhirnya momen yang paling diharapkan pun tiba. Wisuda sarjana. Aku mungkin bermimpi tapi ini nyata. Dan aku harus mulai menciptakan mimpi yang baru. Aku tak berfikir untuk menunggu. Aku tak mau menunggu ada informasi kekosongan tenaga pedidik di sebuah sekolah tapi aku langsung menyebar ijazahku ke berbagai SMA Negeri dan swasta yang ada di kota ini. Di saat itu pula seorang teman dari SMP imersi tersebut menginfokan bahwa di sebuah SD Negri favorit, sedang membutuhkan seorang guru bahasa Inggris. Segera aku layangkan surat lamaran ke sana.

Di hari yang sama, aku mendapatkan jawaban dari dua sekolah sekaligus. Paginya aku ditelpon dari SD Negri tersebut untuk datang menemui kepala sekolah. Wawancara saat itu juga dan aku fix diterima dan diminta mengajar di SD tersebut. Aku benar-benar akan menjadi guru di sebuah sekolahan. Aku tak mau memilih-milih level apa sekolahan itu. Yang penting aku tidak ada waktu menganggur setelah kelulusanku. Sorenya, aku kedatangan tamu yang ternyata warga satu perumahan. Aku tak begitu mengenalnya, walaupun tidak asing dengan wajahnya. Tapi aku tak paham dia itu profesinya apa sebelumnya.

“Nuwunsewu Pak, Apa betul ini rumah Pak Suryo?” Aku seperti familiar dengan wajah bapak ini, tapi aku tak tahu namanya.

“Betul Pak. Silahkan.” Aku mempersilahkan masuk. Tapi Bapak ini menolak.

“Maaf saya hanya sebentar. Ini ada titipan dari sekolah saya. Kalau tidak salah bapak pernah melamar menjadi guru di SMA kami.” Dia meyakinkan.

Dia memperlihatkan sebuah amplop berkepala surat ;SMA Negeri Patikraja. Aku mengingatnya.

“Oh, iya betul, Pak. Bagaimana ya Pak? Apa ini panggilan untuk mengajar buat saya Pak?” tanyaku antusias.

“Kelihatannya sih begitu. Tapi yang penting besok Bapak bertemu dengan kepala sekolah dulu,” jawabnya kalem.

“Baik Pak. Saya besok datang. Terimakasih sekali Pak.”

Pak guru pun berlalu setelah memberikan surat panggilan ini. Aku tertegun dan merenung sambil memandang kepergian pak guru itu. Cobaan apa lagi ini? Mudah-mudahan yang terbaik nantinya buatku.

Besoknya aku menghadap kelapa sekolah SMA Negeri Patikraja. Wawancar berlangsung singkat dan aku dinyatakan diterima untuk menjadi guru honorer di sekolah tersebut. Aku dan istri menyambut gembira dengan semua peristiwa ini.

Di tahun ajaran baru, aku telah resmi mengajar di dua sekolahan sekaligus. Bulan Juli 2005, aku menjadi guru honorer di sebuah SMA Negeri di pinggiran kota Purwokerto dan SD Negeri di kota ini pula. Namun di tahun 2009 aku harus memfokuskan di SMA saja dan SD aku tinggalkan karena banyak keterbatasan waktu dan jarak.

Tak lama setelah aku bergabung di SMA aku dimasukan dalam pendataan masal oleh sekolah. Begitupula istriku masuk dalam pendataan itu di SMA Negeri 1 Purwokerto di kota. Awalnya kami tidak mengerti untuk apa pendataan itu. Tiba-tiba di pada tahun berikutnya muncul berita bahwa akan ada pengangkatan CPNS besar-besaran berdsarkan pendataan di tahun 2005 tersebut. Aku termasuk ke dalam kelompok yang tidak memenuhi syarat (TMS) karena masa kerjaku baru 6 bulan pada akhir tahun 2005, sedangkan istriku termasuk ke dalam kelompok memenuhi syarat (MS) karena istriku sudah mengajar satu tahun lebih dulu dibandingan aku.

Kami sama-sama tidak begitu begitu paham tentang isu pengangkatan ini. Kami hanya bekerja seperti biasa dan tidak menggantungkan harapan pada perekrutan ini. Bagi kami menjadi guru sudah merupakan kenikmatan tersendiri. Karena tujuan kami bukan ke sana. Kami menikmati dan semua mengalir begitu saja. Lalu berita mengejutkan pun datang di tahun 2007 bahwa istriku terseleksi menjadi CPNS dan harus melengkapi berkas yang dibutuhkan. Awalnya kami tidak yakin akan pengangkatan istriku karena secara ijazah tidak memenuhi syarat. Tapi menurut saran beberapa teman dan kepala sekolah, alangkah baiknya prosedur itu diikuti saja. Dan benar adanya, di tahun 2008, istriku mendapatkan SK PNS sebagai guru Bahasa Mandarin di SMA Negeri tersebut.

Banyak peristiwa dan pengalaman yang diperoleh saat setelah menjadi PNS di SMA Negeri tersebut. Menjadi guru bukan hanya sekedar mentransfer ilmu saja buat para siswanya. Tapi banyak hal baik yang bisa dilakukan sebagai seorang guru. Mendidik dengan ikhlas sebagai tanggung jawab moral pendidik adalah yang nomor satu. Pamrih tidak perlu ditunggu karena Tuhan sudah memberikan yang terbaik bagi orang yang ikhlas. Apalagi ikhlas mendidik bagi para guru.

Setahun dua tahun, bahkan sebelum dia menjadi seorang guru PNS di SMA Negeri 1 Purwokerto, istriku banyak mendapatkan kesempatan belajar untuk meng-upgrade ilmu bahasa Mandarin yang awalnya hanya dia dapatkan dari negeri rantau saat menjadi TKW di Taiwan. Beberapa kali dia mendapatkan pelatihan di P4TK Jakarta, dan harus meninggalkan kami keluarga demi menuntut ilmu. Hingga kesempatan tak terduga pun datang. Dia mengikuti seleksi untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan di Jinan University di Kuag Zhou China. Sungguh kejadian yang tak terduga sehingga dia diberik kesempatan lagi untuk naik pesawat dan pergi ke luar negeri dengan tujuan lebih terhormat. Belajar di Universitas di luar negeri.

Dahulu sepulang dari Taiwan, dia pernah bermimpi bahwa, kapan saya bisa ke luar negeri lagi, naik pesawat lagi. Tapi tentunya bukan sebagai TKW! Dan ternyata Tuhan memang Maha Mendengar, Pengasih dan Penyayang. Doa dan harapan itu benar-benar terkabul.

Tidak hanya itu, kesempatan kedua pun datang lagi. Waktu itu di tahun 2014 dan dia sudah berstatus guru PNS. Sepucuk surat dari dinas propinsi datang ke sekolah, dan memerintahkan kepala sekolah untuk mengijinkan guru bahasa Mandarin, istriku, untuk menjadi pemandu Kepala Dinas Propinsi Jawa Tengah di Shenchen China dalam rangka upaya kerjasama antara sekolah SMK di Jawa Tengah dan SMK di China. Peristiwa ini sungguh merupakan pengalaman luar biasa yang pernah istriku alami. Dia yang bukan sarjana pendidikan seperti aku, dipercaya oleh kepala Dinas Propinsi untuk menjadi juru bicara dalam momen penting Dinas Pendidikan.

Kami semua bersyukur atas segala nikmat Tuhan ini. Istriku yang mantan TKW bisa menjadi guru di sebuah sekolah favorit, diangkat menjadi PNS, dan diberikan banyak kesempatan luar biasa hingga ke luar negeri. Hal ini merupakan anugerah terbesar buat keluarga kami. Aku yang dulu salesman bisa menjadi guru merupakan nikmat terbesar yang tak pernah aku impikan sebelumnya. Semua serba Indah. Aku tidak pernah mengeluh walaupun aku menjadi guru honorer, apalagi kalau sampai harus ikut-ikutan demo menuntut menjadi PNS. Oh, tidak! Kalau memang aku sudah bosan jadi guru honorer dan kesempatan menjadi PNS sudah tidak ada, aku harus berani out of the box. Kenapa aku tidak jadi guru swasta saja? Insyaallah aku akan lebih terhormat menjadi guru swasta dibandingkan jadi guru honorer di sekolah negeri tetapi kerjaannya hanya menuntut pada pemerintah. Itu sudah menjadi prinsipku.

Tahun 2014, ketika usiaku mendekati 40 tahun, atau orang sering menyebutnya sudah kepala empat, adalah merupakan hitungan ke-9 tahun aku menjadi guru honorer di SMA Negeri Patikraja. Dan aku tetap merasa bangga bisa menjadi guru honorer di sana.

Namun sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat bagiku untuk berkarir menjadi guru. Banyak hal yang menganggu pikiranku. Sebenarnya bukan permasalahan statusku menjadi guru honorernya. Tetapi lebih pada realita kebutuhan dan tuntutan kehidupan keluarga. Saat ini kami sudah beranak tiga. Refo sudah memasuki dunia SMA dan dua adiknya masih di SD. Tiga anakku sudah semakin besar dan tentunya biaya pendidikan yang besar tak dapat dielakan lagi.

Aku pernah memikirkan pepatah ini. “Life begins at forty”. Kata-kata itu cukup menggelitik di telingaku dan tentunya sangat menghantuiku. Aku sadar sepenuhnya, menjadi guru honorer tentu bukan merupakan karir yang mapan. Tapi aku tidak menyalahkan pemerintah kenapa setelah mengabdi selama sembilan tahun aku tetap masih menjadi guru honorer. Aku tahu peraturan dan mengerti undang-undang yang berlaku dan sudah ditetapkan. Tetapi permasalahannya ada di aku pribadi. Apakah aku harus terus menunggu keajaiban yang belum tentu datang?Atau aku harus keluar dari kotak tadi. Ini yang menjadi PR-ku.

Kegundahan ini semakin aku rasakan dan menyesakan dada. Aku pun tak sanggup memikirkan hal ini sendiri. Aku memulai curhat dengan teman istimewaku, istriku.

“Kelihatannya serius sekali Mas. Ada masalah di sekolah?” tanya istriku penasaran melihat ekspresiku yang datar tanpa senyuman.

“Ngga ada, Hon. Semua baik-baik saja.” Aku masih mengelak.

Istriku merapatkan tempat duduknya ke arahku. Lalu dia pegang tanganku sambil menatap wajahku lekat-lekat.

“Sebaiknya jangan kau pendam itu masalah, Mas. Cepat ceritakan. Ibu siap mendengarnya.” Istriku memaksa.

“Menurut ibu, apakah aku akan tetap menjadi guru honorer sampai pension di sekolah negeri? Aku melempar pertanyaan.

Istriku diam sesaat. Dia tampak memikirkan jawaban terbaiknya.

“Sekarang ibu mau tanya. Apakah selama ini ibu pernah menuntut Mas Suryo menjadi PNS?” katanya balik bertanya.

“Engga sih, setidaknya aku ingin memenuhi kebutuhan keluarga ini dengan baik. Kebutuhan anak-anak semakin banyak. Aku ini sarjana pendidikan, seharusnya bisa berpenghasilan lebih sesuai ijazahku dibandingkan penghsilan sebagai guru honorer saat ini.”

Aku melihat istriku berkaca-kaca. Air matanya hampir tumpah. Istriku mengingatkanku dan membawanya ke masa-masa lalu dari pertama kali bertemu hingga aku harus jualan dan akhirnya kami berpisah selama dua tahun dan kembali merajut harapan bersama hingga saat ini, kami sama-sama menjadi guru.

“Jadi, bagaimana Mas? Semua keputusan ada pada Mas Suryo. Sampai pensiun tetap menjadi guru honorer di sekolah negeri bagiku tidak lah masalah. Akan tetapi, kalau hal ini menjadi beban tersendiri buat Mas Suryo, silahkan ambil keputusan lain.” Pertanyaan dan jawaban istriku sungguh bijak hingga aku kembali merenung dan belum berani memutuskan apa-apa. Aku harus tetap menjalaninya sampai pada masanya tiba.

Tak lama setelah obrolan itu, pemerintah kelihatannya mengeluarkan kebijakan mengenai Kurikulum 2013 yang harus secara serentak diberlakukan di semua sekolah. Dengan kebijakan itu, aku menjadi salah seorang yang harus siap kehilangan jam mengajar. Khusus untuk bahasa Inggris, jam mengajar berkurang yang tadinya 4 jam menjadi 2 jam per minggu. Yang artinya pengurangan jumlah jam tersebut sangat berpengaruh pada kewajiban jam mengajar bagi guru PNS. Aku harus siap-siap tidak mendapatkan jam mengajar dengan berkurangnya jam mengajar tersebut. Haruskah aku tetap bertahan berada di sekolah tersebut tanpa jam mengajar? Atau aku harus berani keluar dari sekolah negeri dan menjadi guru swasta?

Hingga sampailah pada sebuah titik di mana aku harus memutuskan untuk resign dari SMA Negeri tersebut. Biarkan masa sembilan tahun itu menjadi masa pembelajaranku untuk menjadi semakin dewasa dan mampu memaknai hidup dengan baik. Terlebih memaknai kehidupan menjadi guru.

“Di luar sana masih banyak sekolahan yang membutuhkan sosok Mas Suryo.” Istriku meyakinkanku. Dan benar juga tak lama sebelum aku resign, surat lamaran yang pernah aku layangkan ke sebuah sekolah swasta nasioanl yang sedang berkembang itu memanggilku untuk tes tulis dan wawancara. Wawancara dan tes tulis berjalan lancar dan dilanjutkan dengan micro teaching. Semua berjalan tanpa ada halangan berarti dan aku dinyatakan diterima di sekolah tersebut. Sekolah swasta nasional dengan visi dan misi yang hebat.

Aku berada di sebuah lingkungan pendidikan di bawah naungan sebuah yayasan yang peduli dengan pendidikan. Yayasan Putera Harapan Banyumas. Tahun pertama aku ditempatkan di SMP karena memang SMA baru akan dibuka di tahun berikutnya. Selama itu aku benar-benar mencium aroma perbedaan yang luar biasa kalau dibandingkan dengan sekolahku yang dulu.

Semua diukur berdasarkan kinerja. Siapapun yang bekerja lebih baik akan mendapatkan reward yang sesuai. Di situlah aku merasa ada tantangan bekerja.

Istri dan keluargaku sangat bangga aku berada di lingkungan pendidikan yang baru ini. Sebuah sekolah yang memberikan layanan pendidikan karakter sebagai pondasi utamanya dan bersifat multicultural dan agama ini benar-benar merupakan cerminan sebuah pendidikan secara nasional. Berbagai siswa dari barbagai daerah dengan perbedaan agama, suku, ras, dan tingkat sosial, berada di sebuah atap yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan sesuai agamanya masing-masing.

Kebhinekaan tadi menjadikan anak didik kami memiliki toleransi yang tinggi baik antar suku maupun antar pemeluk agama yang berbeda-beda. Sungguh aku merasa berada pada puncak kebanggaan luar biasa sebagai seorang guru. Aku benar-benar menjadi seorang guru yang memiliki tantangan tinggi untuk terus memajukan pendidikan di negeri ini yang tergambarkan di sekolah ini. Tentunya prestasi yang baik dalam segala bidang untuk bisa ditunjukan ke dunia luar sebagai wujud keberhasilan pendidikan.

Sebagai seorang guru tentunya pengalaman dan kesempatan untuk meng-upgrade ilmu sudah menjadi kebutuhan kami. Di sini, aku banyak mendapat suntikan berupa pembekalan-pembekalan yang bisa meningkatkan kualitas diri dan profesi. Begitu pula tanggung jawab yang diberikan padaku sungguh merupakan buah dari kematangan pribadiku dan kepercayaan yang diberikan dari pihak sekolah maupun yayasan. Di tahun ke dua, saat Yayasan ini membuka SMA, selain menjadi guru, aku diberi kepercayaan untuk menjadi wakil kepala sekolah bidang kurikulum sebagai wujud tanggung jawab yang harus aku kerjakan dengan baik. Peristiwa ini benar-benar aku alami sebagai sebuah pengalaman berharga yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Di tahun ke-empat, aku pun diberikan sebuah kesempatan luar biasa oleh kepala sekolah dan yayasan untuk mendampingi siswa ke luar negeri. Aku berkeliling 6 kota terkenal di sebuah provinsi di Tiongkok dalam kegiatan Winter Camp yang diadakan pemerintah Tiongkok. Hal ini mengingatkanku pada harapan istriku yang pernah disampaikan di acara santai di rumah.

“Ayah dan anak-anakku semua. Kalian harus yakin, suatu saat nanti kalian pasti akan pernah naik pesawat. Tidak cuma ibu saja. Ibu yakin itu. Makanya belajar dan bekerjalah yang baik. Pasti kalian akan mengalami seperti ibu.” Itulah pesan istriku yang masih teringat di benakku. Dan benar saja, kata-kata atau doa istrku dikabulkan Tuhan. Aku yang hanya seorang guru biasa, diberikan kesempatan untuk tidak hanya sekedar naik pesawat, tetapi menimba banyak ilmu di negeri tirai bambu selama 15 hari berada di Shandong dengan suhu – 7o (minus tujuh derajat) saat musim dingin. Bisa merasakan membeku di puncak Taishan sungguh merasakan syukur yang sangat mendalam atas ciptaan Tuhan yang luar biasa.

Entah apa lagi yang sedang Tuhan rencanakan buat kami berdua. Kami bersama-sama menjadi guru setelah melewati berbagai peristiwa. Setelah melewati ribuan kemarau yang gersang dan kering. Hingga akar-akar rumput di halaman pun ikut mengering. Pada akhirnya kami mendapatkan setetes hujan dipenghujung musim untuk merapatkan lagi retakan yang tercipta saat kemarau. Kini ribuan kemarau telah kami lewati. Semua seperti sudah diatur di dalam buku sejarah kehidupanku dan keluargaku. Jawaban sebuah pertanyaan guruku di waktu SD-ku dulu ketika menanyakan cita-citaku. Dulu aku menjawab ‘menjadi guru’ tanpa aku sadari bahwa itu menjadi sebuah jalan yang harus aku dapatkan di masa sekarang ini. Menjadi guru mungkin bukan cita-citaku yang harus aku kejar dan aku impikan sepanjang masa. Tapi Tuhan selalu membimbingku ke arah sana. Mungkin doa Pak Kamud (alm) guru SD ku semasa hidupnya terus berkumandang dan menggema di antara langit dan bumi hingga terdengar oleh Yang Maha Memiliki bumi dan alam semseta ini. Mungkin doa Guru bahsa Inggris idolaku di SMA, Pak Iskandar (alm) yang selalu menginspirasiku juga menjadikan jalan inilah yang memang harus kulalui. Semua berjalan begitu lambat namun pasti. Demi melewati kemarau-kemarau yang membakar semangatku. Sekarang di sinilah aku berdiri. Berdiri di antara anak-anak manusia yang selalu menanti untuk mendapatkan bimbingan dan ilmuku. Dan kisah Pak Guru pun tidak berhenti sampai di sini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pengalaman yang sangat inspiratif!

29 Oct
Balas

Terimakasih atas atensinya.

29 Oct

Cerpan nya semoga sukses mas

29 Oct
Balas

Subhanallah kisah guru yang luar biasa dan inspiratif. Ditunggu bukunya dan juga kisah- kisah berikutnya.

29 Oct
Balas

Karena kisah ini baru saya baca di gurusiana. Sembilan tahun sama-sama di Patikraja saya belum tahu Pak Ayo.

29 Oct

Hehe, coba ibu tanya-tanya tetangga yang alumni SMA N Patikraja antara tahun 2005 hingga 2014, insyaallah tahu saya. Atau Guru-guru patikraja. Hehe.. Sudah Tamat ya Bu. Semoga bermanfaat tulsan ini. Terimakasih sudah setia mengikuti kisah Suryo sampai akhir.

29 Oct

Alhamdulillah, saya bernafas lega. Allah tak pernah meninggalkan hambanya yang senantiasa berusaha dan berdoa. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, pak guru.

29 Oct
Balas

Terimakasih Bunda. Ceritanya sudah tamat. Terimakasih sudah mengikuti terus sampai episode terakhir.

29 Oct



search

New Post