Kadang Mereka Cuma Butuh Didengarkan
“Don't think or judge, just listen.”― Sarah Dessen
Dulu, ketika dicurhati sama anak-anak di rumah, selain terpancing emosi, saya sering sok tahu akan perasaan anak, atau saya menjadi gemas sama anak dan endingnya adalah menasehati, memberi solusi, dan yang paling parah adalah ‘menyalahkan’.
Di sinilah kadang saya sadar kalau telah gagal menjadi teman curhat anak dan alhasil, anak bingung mau sharing sama siapa, atau lebih memilih diam dan memendam permasalahan. Sekarang, saya sadar, kenapa anak jadi lebih suka menyendiri, tidak mau bicara, dan bahkan enggan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan keluarga.
Belajar dari pengalaman tersebut, saya mulai mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi sama anak yang sudah mulai memasuki usia remaja tersebut. Suatu ketika saya mengajak bicara, ternyata mereka berani mengungkapkan bahwa ketika dia sedang menyampaikan masalah, dia hanya butuh untuk didengarkan, hanya butuh dipahami permasalahan yang sedang dihadapi.
Namun begitulah saya, sebagai orang tua, kadang merasa sok cepat tanggap dan sok lebih tahu akan segala urusan termasuk urusan anak-anak dan ingin segera membantu menyelesaikan permasalahn mereka. Atau kadang sebagai orang tua, saya merasa lebih memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi banyak permasalahan hidup. Disinilah kita biasanya menjadi orang paling pintar dan gampang menilai dan menghakimi. Kematangan anak dalam menghadapi masalah tentu tidak sama dengan orang dewasa. Kita lupa bahwa permasalahan anak-anak jaman sekarang seolah sama dengan permasalahan jaman kita dulu. Padahal beda jaman akan beda problemnya dan tentunya beda pula penanganannya.
Sepertinya kita perlu menahan diri sejenak, hingga anak sudah siap untuk diberikan masukan. Mungkin maksud kita baik, ingin menenangkan anak, tetapi kadang yang terjadi sebaliknya. Anak merasa disalahkan atau muncul masalah baru dengan solusi yang diberikan.
Lalu apa sikap kita biar anak bisa tenang? Apakah mendengarkan saja dirasa cukup? Disitulah kita harus pandai melihat situasi anak dan juga permasalahannya. Sementara waktu, selain mendengarkan dengan baik, bisa kasih pelukan atau sentuhan kasih sayang padanya. Setelah isi dadanya sudah tertumpahkan semua, biasanya anak akan merasa lega. Nah, baru kita bisa meminta ijin sama anak dengan misal bertanya, ‘Apakah ayah atau ibu bisa kasih pendapat?’ Kalau anak sudah Ok, baru kita masuk untuk memberi pemikiran kita. Wah, rumit juga ya jadi ortu!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Pak. Salam literasi
Terimkasih Pak. Salam literasi dari Purwokerto
Keren menewen ulasannya Mas senior. Sukses selalu
Terimakasih Bapak. Sukses juga buat Bapak.
Mantul pak...sehat dan sukses selalu
Terimakasih. Sukses juga buat Ibu.
sangat mencerahkan, ulasannya. Keren
Terimakasih Pak supportnya.
Jadi orang tua juga harus belajar, ya Pak. Semoga kita menjadi orang tua yang tepat bagi anak kita. Salam bahagia.
Betul Bu. Terimakasih Bu Cicik.
Mantap
Terimakasih Pak Sandi.
Ya mereka butuh tembok untuk bersandar dan butuh sansak untuk melepaskan kegalauan di hati...komunikasi yang terbaik
Setuju sekali Pak
Alhamdulillah