Ayu Anshori

Mengajar di SMP Bilingual Terpadu Krian - Sidoarjo salah satu sekolah di bawah naungan Pesantren Modern Al Amanah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Putri Hanbok
Gambar ini diambil dari http://mynewkoreblogdress.blogspot.com/2016/07/hanbok.html?m=1

Putri Hanbok

Perlahan aku membuka mata. Betapa terkejutnya, aku berada di depan sebuah bangunan seperti pintu gerbang. Aku mencoba mengingat dan mengenali bangunan di depanku dari buku-buku yang pernah kubaca dan gambar-gambar yang pernah kulihat di google. Ya, aku mengenalinya. Ini adalah Gwanghwamun, gerbang istana Gyoengboekgoong, istana terbesar sekaligus istana utama zaman Dinasti Joseon.

Beberapa lama aku pandangi bangunan megah itu, aku masih tak percaya kalau aku benar-benar berada tepat di depan istana Gyoengboekgoong. Mimpiku akhirnya menjadi kenyataan. Kekagumanku semakin bertambah ketika aku menyadari bahwa di tubuhku telah terpakai gaun hanbok lengkap dengan seluruh assesorisnya dari kepala hingga sepatu sinbal.

Tanpa pikir panjang, aku pun berjalan memasuki gerbang. Aku semakin penasaran bagaimana isi istana ini. Istana yang selama ini hanya bisa kulihat di TV dan internet. “Subhanallah … Indah sekali!” Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Kucubit tanganku keras-keras. “Auw! Sakit ternyata. Itu berarti aku tidak sedang bermimpi.”

“Gongju¹!!” Ada suara memekik di belakangku yang menghentikan langkahku. Dengan perasaan was-was aku menengok ke belakang dan benar saja beberapa pengawal persis yang kulihat di drama Korea klasik dengan senjata lengkap seolah ingin menangkapku. Spontan aku pun lari ketakutan. “No …..!!”

“Gongju! Gongju! Dalliji mala²!” Mereka berteriak memanggil dan tidak berhenti mengejarku hingga akhirnya sampailah di jalan buntu.

“Jangan tangkap aku, aku, aku bukan penjahat!” pintaku dengan sangat gugup.

“Tidak, Tuan Putri, kami tidak akan menangkapmu,” salah satu prajurit maju dan mencoba menenangkanku.

“Apa? Tuan putri?Aku …?” tanyaku pada mereka. Aku benar-benar tidak percaya.

“Ya, Tuan Putri, Anda sudah menghilang beberapa hari ini sehingga kami ditugaskan mencari Tuan Putri oleh yang mulia raja dan ratu. Mereka sangat mengkhawatirkan Tuan Putri.”

“Lalu siapa nama raja dan ratu kalian?” tanyaku semakin penasaran.

“Yang Mulia Yang Agung Raja Sejong dan Yang Mulia Ratu Soheon.”

Tiba-tiba ribuan kunang-kunang yang disertai suara nyanyian lebah menyerbuku. Semuanya menjadi hitam pekat. Tubuhku serasa lemas tak bertenaga.

***

“Joengso, bangun! Buka matamu, Nak!” terdengar suara lembut seorang wanita membangunkanku.

“Anda …” aku benar-benar tidak percaya aku berada dalam keluarga kerajaan.

“Ini ibu, Nak. Menapa kamu jadi aneh begini setelah menghilang beberapa hari? Apa kamu sudah tidak mengenali ibumu sendiri?” kata seorang wanita yang mengaku sebagai ibuku itu sambil memegangi pundaku.

“Ibu? Itu berarti kau Ratu Soheon?” tanyaku yang masih diliputi rasa tidak percaya.

“Ada apa denganmu ini? Kamu benar-benar tidak mengenanali ibumu. Pelayan!” Ratu Sohoen memanggil salah satu pelayan yang selalu stanby di dekat pintu.

“Iya, Yang Mulia,” jawabnya dengan penuh rasa kepatuhan.

“Panggilkan tabib kemari untuk memeriksa keadaan Tuan Putri!” instruksi ibu ratu.

“Baik Yang Mulia!” si pelayan pun bergegas itu melaksanakan perintah ibu ratu.

Begitu pelayan itu keluar, dari luar disambung oleh teriakan pelayanan lain. “Yang Mulia Raja tiba!” para pelayanan yang berada di ruangan pun segera menghambur di dekat pintu masuk untuk menyambut kedatangan raja yang diagungkan itu.

“Salam, Yang Mulia!” secara serempak sembari membungkukkan punggung mereka memberikan salam penghormatan untuk Raja Sejong. Aku semakin tercengang. Wajahnya sama persis seperti yang kulihat di google. “Oh, Ya, Allah ini benar-benar akan menjadi pengalaman yang tidak pernah kulupakan dalam hidupku,” gumamku dalam hati. Raja Sejong pun duduk di samping Ratu Sohoen. “Ratuku, Bagaimana kondisi Joengso?” tanya sang raja kepada ibu ratu.

“Sepertinya dia mengalami lupa ingatan, Yang Mulia,” jawab ibu ratu dengan suara lembut.

“Oh, Ya? Apa tabib sudah dipanggil kemari?”

“Sudah, Yang Mulia. Sebentar lagi dia akan tiba. Mungkin peristiwa penculikan beberapa hari yang lalu meninggalkan bekas trauma baginya. Jadi membuat ingatannya sedikit terganggu.” Jelas ibu ratu seraya menghibur Sang Raja.

“Ya, sudah. Aku sekarang harus menghadiri pertemuan dengan dewan menteri. Nanti tolong kabari aku tentang hasil pemeriksaan Joengso.”

“Baik, Yang Mulia.”

“Joengso, ayah tinggal dulu. Perbanyaklah istirahat agar cepat pulih,” kata Raja Sejong sambil mengelus rambutku.

“I..iiya … Yang Mulia,” jawabku sangat gugup.

******

Beberapa hari kemudian, akhirnya aku bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan perlakuan di istana. Aku berusaha menikmati apa yang kudapatkan sekarang. Aku sudah tak peduli dengan berbagai pertanyaan yang kadang menggelayut dalam angan. Aku merasa bahwa kenyaataan ini harus kunikmati. Setiap hari aku habiskan untuk berkeliling istana. Mulai dari ruang yang biasa digunakan raja untuk menjamu para tamu serta tempat penobatan jabatan-jabatan penting yaitu Gedung Geunjeongjeon, Kemudian Pavilliun Gyeonghoeru. Pavilliun ini bagiku adalah tempat terindah di Istana Gyoengbok karena lokasi ini dibangun di atas pulau buatan di tengah-tengah danau yang cukup luas. Raja biasanya menggunakan pavilliun ini untuk menjamu tamu-tamu kenegaraan dan merayakan acara-acara besar kerajaan.

Setelah puas berkeliling di Pavilliun Gyeonghoeru, aku pun menuju keruangan yang khusus digunakan untuk menyimpan benda-benda penginggalan kerajaan. Dari mulai peninggalan raja pertama, Raja Taejo yang sebelumnya adalah Jendral Li Sunggye, Jendral besar Dinasti Goryeo yang pada akhirnya melakukan pemberontakan karena menilai Kerajaan Goryeo sudah tidak lagi peduli dengan rakyat kalangan bawah dan merajalelanya tradisi nepotisme dalam proses pengangkatan pejabat kerajaan. Akhinya, setelah berhasil menumbangkan Dinasti Goryeo, Lee Shunggye mendirikan dinasti baru yang diberi nama Dinasti Joseon, dan atas keputusan banyak pihak, dia diangkat menjadi rajanya yang diberi gelar Raja Taejo. Di ruangan itu juga ada beberapa peninggalan dua raja penerus Taejo yaitu Raja Joengjong, raja kedua, dan Raja Taejong, raja ketiga sekaligus ayah kandung Raja Sejong.

Terakhir adalah Paviliun Hyangwonjeong. Paviliun ini adalah pavilion privat khusus raja dan tidak semua bisa masuk ke sini kecuali atas perintah dan izin raja sendiri. Hanya ratulah yang tidak perlu izin khusus. Setelah puas berkeliling istana, aku pun memutuskan untuk kembali ke paviliun yang dikhususkan menjadi kamarku sekarang. Namun, sebelum aku sampai, tiba-tiba …

“Aargh!”teriaku dalam bekapan tangan seseorang yang tidak kuketahui wajahnya karena sekalipun aku berusaha meronta sekuat tenaga tetap tak bisa lepas dari bekapan itu. Dia terus menyeretku tanpa memberikan jeda sedikitpun agar aku bisa berteriak. Dari tekstur kulitnya aku mencoba menebak sosok yang berada di balik punggungku. Sepertinya dia seorang perempuan. Aku terus mencoba dan berusaha meronta lebih keras lagi namun sia-sia. Tenaganya lebih kuat dariku.

"Hey! Percuma saja kau terus berontak karena kau tak akan bisa lepas dari cengkeramanku! "bentaknya padaku. Ternyata benar sosok di balik punggungku adalah seorang perempuan."siapa sebenarnya orang ini?" gumamku dalam hati. "Aku tahu kau sedang bingung dan bertanya-tanya siapa aku ini?" tangannya yang kuat menarik rambutku hingga mukaku tepat menengadah ke langit-langit ruangan yang tampak gelap itu. Tidak berapa lama, ia pun melepaskan kain yang membekap mulutku kemudian ia membuka jendela yang sedari tadi tertutup rapat. Cahaya pun masuk menyeruak ke dalam ruangan. Lalu dia berdiri tepat di depanku. Betapa terkejutnya aku saat aku mengetahui parasnya

Seperti di depan cermin. Aku dan dia tidak ada bedanya. "Ka.. Kau, siapakau?"

"Kau terkejut?! Kau tidak tahu siapa aku?" ujarnya sambil memelototiku.

"Ti..dak aku tidak tahu."

"Kau heran bukan, Karena wajah kita sama?"

"Siapa kau sebenarnya?"

"Akulah Joengso!" bentaknya sambil mencengkeram bahuku cukup kuat.

"Jo.. Joengso? Mengapa jadi seperti ini? Aku bingung."

"Tidak perlu berpura-pura, aku yakin kau sangat mengerti dengan situasi ini. Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu melakukan konspirasi ini?" Dia mulai menginterogasiku dan memperlakukanku bak tawanan perang.

"Katakan! Siapa yang mengirimu ke sini!!" bentaknya lebih keras lagi.

"Apa maksudmu? Tidak ada yang menyuruhku. Aku juga tidak tahu-menahu karena satu bulan lalu saat aku siuman dari pingsanku, aku sudah berada di depan gerbang dan pengawal yang membawaku ke sini."

"Bohong! Kau pasti berbohong!!!" Dia membentakku semakin keras. Semua yang kukatakan tidak membuat dia percaya. Akupun semakin bingung dengan apa yang dia katakan bahwa aku adalah bagian dari konspirasi seseorang di dalam istana yang hendak melenyapkannya. Seseorang yang ada di balik hilangnya dia dari istana. Joengso ingin dilenyapkan karena dia telah mengetahui rahasia besar atas kejahatan dari salah satu menteri istana yang paling berpengaruh dalam jajaran dewan menteri salah satu fraksi.

"Rupanya kau masih tidak mau mengaku juga. Baiklah aku akan membuat kau bicara jujur." Dia berjalan menuju meja yang terletak di pojok ruangan kemudian mengambil sesuatu dalam laci. Rupanya dia mengambil sebuah belati kecil.

"Dengan ini kau akan mengaku Joengso palsu!" Dia semakin nekat dan membuatku sangat takut. “Tidak! Aku tidak mau mati sekarang. Ya Tuhan tolong aku.” Dia semakin mendekatkan belati itu pada wajahku. Tubuhku kian gemetar.

"Sekarang aku akan menguliti wajahmu agar aku tahu wajah aslimu!" Perempuan itu semakin mendekatkan mata pisau yang ia pegang. Semakin dekat dan dekat,

"TIDAAAAAAKK!!!!!"

"Hahahahaha...!" terdengar suara riuh tawa yang terarah kepadaku.

"Lagi-lagi kau Silvi, tidur saat pelajaran saya! Dan lagi-lagi kau mimpi drama Korea!" tepat di depanku sudah berdiri Bu Rahma, guru Ipa, salah satu guru yang paling ditakuti anak-anak di sekolahku.

"Anu, anu Bu maaf saya ketiduran," timpalku dengan senyum dan wajah tak berdosa.

"Ketiduran?? Kau itu memang sengaja tidur!" bentak Bu Rahma yang seolah tidak mau mendengar argumenku lagi.

"Hahahaha...!" Teman-temanku menertawakanku lagi. "Silvi semalem lembur Bu, lembur nonton drakor!" celetuk salah satu temanku dan diikuti riuh suara tertawa mereka secara berjamaah. Kali ini suaranya kompak menggema di setiap sudut dinding kelas.

Setelah itu Bu Rahma memberiku sanksi agar aku membuat surat pernyataan untuk tidak mengulanginya lagi. Kali ini tidak tanggung-tanggung, selain meminta tanda tangan dari wali kelasku, aku disuruh meminta tanda tangan dari BK dan kepala sekolah alasannya karena ini sudah kali keempat aku mengulang perbuatan yang sama. Jujur, apa yang diminta Bu Rahma cukup berat karena sudah melibatkan kepala sekolah. Aku bingung bagaimana nanti saat menghadap beliau. Konsekuensi yang kuterima kali ini benar-benar membuat adrenalinku bereaksi. Tetapi tidak apa-apa, ini harus bisa kulakukan karena memang akulah yang salah dan apa yang dilakukan Bu Rahma adalah salah satu cara agar aku lebih disiplin dan tidak meremehkan guru lagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Salam literasi,semangat bu

05 Nov
Balas

Slm literasi n semangat juga Bpk. Slm kenal

05 Nov

Hi...hi..drakor..oh..drakor....saya dulu suka Dongyi..The Crown of Palace ..apa ya ....lupa-lupa ingat....

05 Nov
Balas

Hehe sma bu Dong yi trmsuk favorit. Dputar brulang2 gk bosen. Klo sy smp skrg suka drakor bu cm skrg krna ksbukan gk smpt lg. Apalgi skrg dkejar deadline buku jd puasa dlu drakornya. Hehe Slm kenal nggeh bu. Sukses selalu

05 Nov
Balas



search

New Post