Input
Sejak 3 (tiga) bulan yang lalu sekolah-sekolah swasta jenjang SLTP dan SLTA mulai menebar pesonanya. Mereka sedang menjaring calon-calon siswa yang akan masuk.
Sekolah-sekolah tersebut mulai dari sekolah rendah, sedang, atas, atas sekali dan super atas. Dari yang berakreditasi A atau B, status diakui atau bahkan statusnya baru terdengar atau nyaris tak terdengar.
Sebenarnya peng-cluster-an sekolah itu tidak perlu ada. Pengclusteran (baca: cluster, artinya kelompok) terjadi karena desas-desus, penyambung lidah dari mulut ke mulut atau memang melalui kajian mendalam dengan observasi. Namun bisa juga diukur dari output (keluaran) dan input (masukan).
Sekolah negeri pun sama. Main klasteran juga. Makanya pada masa lampau UN dengan biaya 500-an miliar perak doang, nilai UN main gede-gedean. Nilai siswa di jenjang sekolah dasar dan SLTP banyak yang besar-besar. Agar bisa masuk ke klaster-klaster di atasnya. Yang SLTA bagaimana? Sama saja! Bahkan sering terpajang spanduk begini: “Sekolah kami mendapat peringkat pertama dengan jumlah kelulusan terbanyak dan 100%”
Tapi tak tahulah setelah masuk ke tingkat di atasnya. Belajar? Belum tentu! Mau bisa kek, nggak kek, ora urus! Yang penting dianggap wah. Hebbbbbattttt! (menggambarkan sangking hebatnya, hurufnya sampai dobel). Katanya bagus, bisa masuk ke sekolah unggulan atau pavourite. Asal bukan kaporit. Berarti dihitung atau dianggap pintar. Meskipun IQ-nya?
Orang selalu bicara IQ (Intelligence Quotient) untuk mengukur otak manusia. Meskipun kita tidak boleh menyangkal adanya hal lain selain IQ untuk mengukur kompetensi seseorang. Sebut saja SQ (Spiritual Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan quotien-quotient lainnya. Namun kita juga tidak boleh menafikan IQ.
Mana ada guru atau sekolah yang berani mengirim siswa ke OSN (Olimpiade Siswa Nasional) adalah siswa yang biasa-biasa saja? Apa mungkin ada? Jawabnya ada! Tapi itu harus dilatih oleh guru sekaliber Profesor Yohannes Surya. Itu pun butuh biaya yang tidak kecil (untuk menyebut persamaan dari biaya yang besar).
Bagaimana dengan level guru seperti kita? Apalagi dengan dana alakadarnya atau nyaris tak berdana. Kembali lagi kepada IQ siswa. Jadi apa? Bermimpilah untuk menghasilkan output yang bagus bila inputnya tak bagus. Bermimpilah juga bila tanpa adanya dana dapat membangun citra sekolah yang baik atau mentereng.
Maka dari itu adanya klaster-klaster itu memang sudah ada 3 hal yang mendukungnya. Yaitu: Pertama (1) siswa/peserta didik yang di situ inputnya sudah pilihan. Yang kedua (2) sekolah klaster tersebut punya biaya lumayan besar. Dan ketiga (3) diiyakan dengan adanya orang tua/wali siswa yang terdiri atas golongan ekonomi sekelas direktur, pengusaha, kepala dinas, menteri atau anggota dewan.
Kota Tangerang, 10 Juni 2017. Pukul 22.08 malam waktu WIB PM.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kalau berpikir out of the box. Buat OSN tandingan aja pak. Jadi gak kejebak dengan pola IQ adalah raja.
Pengetahuannya buat OSN Pak Azis, ketrampilan dan sikap untuk pendukungnya dan buat masa depan mereka.
Sebenarnya kita guru salah persepsi, menanamkan karakter benar harus dilakukan, mengembangkan ketrampilan juga harus dilakukan, tapi peningkatan penguasaan pengetahuan tidak bisa dilepas begitu saja pada siswa, tetap guru punya peran penting dalam penguatannya.
Nah itu, pak Yudha. Bagaimana supaya siswa yang Saya bawa bisa dapat 3 besar? Selama ini OSN yang dikirim mapelnya belum pernah dapat 3 besar. Apa OSN dihapuskan saja? katanya kan kompetensi itu ada 3. Pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Oke juga sarannya bu Sofia. Tapi. sepertinya paradigna pengajaran sekarang, seolah-olah siswa sudah duanggap punya bekal ilmu yg cukup. Shg ketika guru mengajar hanya
Oke juga sarannya bu Sofia. Tapi. sepertinya paradigna pengajaran sekarang, seolah-olah siswa sudah duanggap punya bekal ilmu yg cukup. Shg ketika guru mengajar hanya perlu memberikan model pembelajaran. Akibatnya guru tidak tahu kemampuan siswa seperti apa?: Namun Sy tetap spt saran bu Sofia. Krn bidang pelajaran Sy IPA. Tdk cukup dgn menyuruh siswa membaca atau diskusi dll. Tapi betul-betul diajarkan materinya . Dan keterampilan dan sikap sy tanamkan ketika nengajar itu atau di lain waktu, bila materinya tdk menguras otak siswa.
Nah itulah, bu. Di masa lampau guru ngajar byk yg asal terutama yg mapelnya ada di UN. Pas giliran UN, nilai siswa dipercayakan kepada tim sukses UN. Jadi kelihatannya kita sukses dlm pengetahuan. Padahal nilai siswa yg besar-besar itu hasil mendongkrak/mengatrol dan sim salabim adakadabra. Sy keberatan nilai siswa dibantu curang. Tapi pemikiran tiap guru berbeda, tdk sependapat dgn Saya. Ada kepentingan subyektif.