Aziza yusuf

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
KUGADAIKAN NYAWA ANAKKU DEMI SEGEPOK UANG

KUGADAIKAN NYAWA ANAKKU DEMI SEGEPOK UANG

KUGADAIKAN NYAWA ANAKKU DEMI SEGEPOK UANG

Namaku Missiyanti, orang memanggilku Yanti. Aku dilahirkan dari keluarga mapan, ayahku Suhartono seorang direktur perusahaan ternama di kotaku, ibuku Ratna pengusaha katering yang cukup terkenal. Sebagai anak semata wayang, limpahan kasih sayang kudapatkan dari mereka berdua.

Tanpa kusadari Badai datang menimpa keluarga kami, masih hangat dalam ingatanku, saat itu aku masih duduk di kelas 3 SD. Sepulang sekolah kudapati ibu siap meninggalkan rumah dengan menjinjing tas pakaian, waktu kutanya mau kemana, ibu mengatakan akan menghadiri lokakarya pengusaha catering di Surabaya. Akupun percaya saja dengan jawaban ibu. karena memang ibu sering bepergian untuk lokakarya dan semacamnya.

Ternyata itu adalah pertemuanku terakhir dengan ibu. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan ternyata ibu tak kunjung pulang. Akupun mulai menanyakan hal itu pada ayah. Namun dia hanya diam seribu bahasa. Kutanya pada nenek, pun pula tak kudapatkan jawabannya. Semua sibuk dengan rutinitas masing-masing, seolah sengaja mencipkatan suasana agar aku melupakan ibu untuk selamanya

Yanti kecil ini mulai sering menangis, rasa rindupun mendera hatiku, dengan sejuta tanya yang tak terjawab. Kemana ibu ??? Mengapa ibu harus pergi ???, Dimana ibu sekarang ???. Kapan ibu pulang ???..

Enam bulan berlalu, kabar tentang ibu tak jua kudapatkan. Badanku mulai panas, semakin hari semakin panas. Dokter mengatakan aku terkena Typus. Nenek bilang aku sakit karena rindu ibu. Hampir sebulan aku tergeletak di rumah sakit, Tapi ibuku tak kunjung datang.

Apakah ibu sudah tak sayang lagi padaku ??, entahlah, Yanti kecil ini semakin bingung, kehilangan, dan sendirian. Sementara ayahku yang dulu hangat dan sangat mencintaikupun kini tak lagi sehangat dulu. Jangankan membelikan mainan, senyuman dan belaian sayang saja tak pernah aku dapatkan darinya. Masih ku ingat selama sebulan di rumah sakit, ayah hanya berkunjung dua kali, itupun dengan terburu-buru dan menampakkan wajah sinis, tanpa senyum sama sekali. selebihnya aku hanya ditemani nenek.

Sepulang dari rumah sakit, kudapati dirumah ada sosok perempuan cantik, ayah memperkenalkannya sebagai ibuku yang baru. Namanya Ardianty. Dengan ramah dia mencoba menyapaku, namun aku menolak membalas sapaannya, TIDAAAAK …….. aku berteriak keras sambil berlari masuk ke kamar. ayah dan nenek bergegas mengikutiku. Tapi betapa terkejutnya saat kudapati kamarku dalam keadaan kosong, ternyata semua barang-barangku sudah dipindahkan di rumah nenek. Kupeluk erat nenekku sambil menangis, kulihat nenek juga menangis dan segera memapahku meninggalkan rumah ayah.

Jadilah mulai saat itu juga aku tinggal dirumah nenek, rumah kecil bisa dibilang agak reyot sangat bertolak belakang dengan rumah ayah yang tepat berada di depannya.

Mulai hari itu rumah ayah tertutup untukku. Semua kebutuhan hidupku dipenuhi oleh nenekku yang seorang janda miskin, yang menggantungkan kebutuhan hidupnya denga berjualan kue dititipkan ke warung-warung. Akupun ikut membantu membawa kue untuk kujual ke teman-teman di sekolah, lumayan untuk tambahan biaya sekolah. Aku tidak malu melakukannya bahkan bahagia hidup dengan nenek sangat menyayangiku.

Namun jika malam tiba, ada banyak hal yang terus menyiksa pikiran kecilku, pertanyaan demi pertanyaan yang masih belum terjawab, apalagi jika kulihat rumah ayah yang megah dari dalam kegelapan rumah nenekku. Kenapa….??? Kembali tanya itu menyeruak menyiksaku.

Terkadang aku tersenyum sendiri saat melihat ayunan di taman depan rumah ayah, teringat betapa ibu sering menyuapiku disana, dan ayah ikut nimbrung dan minta disuapi juga. Tapi ayunan itu sekarang kosong. Tak ada lagi suara canda tawa ku… tak ada lagi senyuman manis ibu… tak ada lagi suara manja ayah yang ikut-ikutan minta disayang… Aaah.. kuhapus butiran mutiara yang tiba-tiba meleleh dipipiku. Kupeluk erat nenek yang ada disebelahku, sambil berdoa, Tuhan… jangan ambil nenekku… hanya dia satu-satunya yang kumiliki dan menyayangiku…

Tiga tahun berlalu sampai menjelang ujian nasional SD, Bu Lina, guru kelasku mengumumkan besok di sekolah akan melaksanakan doa bersama orang tua (ayah atau ibu), kamipun menerima surat undangan untuk orang tua. Dengan penuh harap, aku menuju rumah ayah, kutunjukan surat itu pada ayah, dengan harapan ayahku mau menemaniku doa bersama.

Tapi harapanku ternyata tidak berbalas. Ayah tidak mau datang, bahkan dengan suara keras ayah mengatakan “Kenapa tidak ke sekolah dengan ibumu yang mbalon dan tak tahu diri itu” Baru pertama kali kudengar kata-kata mbalon, apa maksudnya ?? sungguh kata itu menjadi bahan pertanyaan yang baru dalam benak kecilku. Mbalon … Ibu mbalon… apa maksudnya. Akupun pulang dengan kekecewaan yang mendera dan pertanyaan yang harus segera kutahu artinya.

Sampai di rumah, kuserahkan surat dari bu guru ke nenekku, sambil kuceritakan apa yang terjadi di rumah ayah tadi. Nenek memelukku sambil berkata, “Lain kali kalau ada undangan apapun dari sekolah, berikan ke nenek saja yaa. Mungkin ayahmu sedang sibuk dengan pekerjaannya”. “Tapi nek, ayah bilang ibu mbalon.. Mbalon itu apa nek ?” Selahku dengan penuh rasa ingin tahu. Nenek tersenyum sambil menjawab mbalon itu usaha jual beli balon untuk anak-anak. Percakapan kami dihentikan dengan mengajak nenekku makan siang.

Matahari mulai tinggi, saat acara doa bersama dimulai, teman-temanku datang dengan ayah atau ibu mereka. Aku bergelanyut dilengan tua nenekku yang kurus karena usia. Saat harus membasuh kaki orang tua, kubasuh kaki nenekku dan ku minta doanya, nenek langsung memelukku erat, tangis kamipun pecah dengan sendirinya.

Masa pendidikan di Sekolah Menengah Pertamapun kulalui dengan membawa dagangan kue buatan nenekku, tapi kali ini kutitipkan di koperasi sekolah. Masih kuingat, ketika pertama aku membawa kue dagangan ke kelas, kueku langsung ludes dimakan teman-teman sekelas dikira kuberikan secara cuma-cuma. Aku Cuma meringis melihat itu, hingga tak kusadari teman-temanku sudah pulang, aku masih terdiam dalam kelas, karena takut pulang dan tidak tahu harus berkata apa pada nenek. Lamunanku buyar saat bu Siti Kosidah, wali kelasku berdiri didepan bangku tempatku melamun. “Nak, kenapa belum pulang, ini sudah hampir jam dua siang” begitu sapanya. “Saya takut pulang bu.’ Jawabku pendek. “Kenapa ?” tanya bu guru. Kuceritakan apa yang terjadi, bu Kosidah tersenyum, lalu menanyakan berapa kue yang kubawa dan berapa harga perbijinya. Kemudian beliau mengeluarkan beberapa rupiah dari saku dan diberikan kepadaku. Sambil berpesan agar besok kueku dititipkan ke koperasi sekolah.

Begitulah sejak saat itu kue nenek kutitipkan di koperasi sekolah. Bahkan aku diminta membantu menjaga koperasi sekolah, dengan diberikan imbalan yang cukup untuk kugunakan membantu nenek membeli keperluan sekolahku.

Mendung kelam bergelanyut di langit kehidupanku, saat memasuki tahun kedua di SMP. Sang fajar baru mengintip dari ufuk timur, aku dikejutkan dengan keadaan nenek yang tiba-tiba bibirnya miring kekanan, tangannya dan kakinya terasa tidak bisa digerakkan, spontan aku berlari meminta tolong ke rumah ayah. Tapi rupanya kembali harapanku kandas dengan mendapat penolakan dari ayahku, kali ini kata-kata ayah sangat menusuk hatiku. Dia mengatakan kalau semua yang nenek alami adalah akibat dari perbuatannya sendiri, sudah tua masih nekad kerja menghidupi anak kecil masih sekolah lagi,coba dulu menuruti anjuran ayah untuk menyerahkanku ke panti asuhan, semua tidak akan merepotkan.

Seperti tersambar petir disiang hari mendengar pengakuan ayahku. Dengan perasaan hancur aku keluar dari rumah ayah, bergegas aku meminta tolong pada tetangga samping rumah. Wargapun menolong dengan membawa nenek ke rumah sakit terdekat.

Untuk biaya rumah sakit, kami terpaksa menjual barang-barang yang ada di rumah, selebihnya kami mendapat bantuan dari iuran tetangga. Yang mengherankan adalah ayahku, sedikitpun dia tidak menampakkan batang hidungnya. Sementara dengan izin dari Tuhan, nenekku perlahan sembuh dan kembali seperti semula. Bisik-bisik tetanggapun mulai terdengar atas perlakuan ayahku kepada ibu kandungnya itu.

Bagiku kejadian itu justru memacu semangatku untuk segera lulus sekolah lalu bekerja, menghasilkan uang yang banyak, menjadi orang yang kaya raya melebihi kekayaannya. Ingin kutunjukkan pada ayahku bahwa aku bisa menjadi orang berharta.

Tiga tahun masa pendidikanku di SMP berjalan dengan mulus, tanpa campur tangan ayah sama sekali. Setelah kukantongi Ijazah SMP, kubilang pada nenek, aku mau mendaftar kerja menjaga toko di kota. Tapi nenek menolak keputusanku, beliau minta aku melanjutkan ke SMA.

Dengan nilai ujian yang tinggi, akupun berhasil mendapat bea siswa bebas biaya belajar di SMA Favorit kotaku. Masa SMA, kudapatkan ilmu berdagang yang baru, selain tetap menitipkan kue ke koperasi sekolah seperti waktu SMP dulu, aku juga membantu bu Ratih, (ibu temanku Rina), memasarkan busana muslim dagangan ibunya. Hasilnya bisa untuk membantu nenek mencukupi kebutuhan hidup.

Banyak orang mengatakan kalau masa SMA adalah masa berkasih-kasihan, atau masa pacaran. Tapi bagiku masa SMA adalah masa mencari pengalaman untuk berdagang. Begitu banyak ilmu yang kudapat dari Bu Ratih, mulai dari dimana grosir tempat kulakan, bagaimana cara mengelolah keuangan, cara menangani pembeli yang nakal bahkan. Bahkan aku diajak dan dikenalkan dengan pemilik grosiran.

Dengan ijazah SMA, aku mendaftar ke perusahaan dikotaku. Akupun diterima dan ditempatkan dibagian produksi. Masya Allah, ternyata menjadi buruh pabrik tidak seindah yang kubayangkan. Apalagi di bagian produksi. Selama jam kerja harus berdiri, hanya istirahat waktu istirahat, makan dan sholat. Lalu dilanjut berdiri lagi di tempat. Gaji yang kuperolehpun tak sebanding dengan kebutuhan.

Tapi aku tak kehabisan akal, saat istirahat kupergunakan untuk menawarkan dagangan ke teman-teman se-blok, dengan pembayaran diangsur sampai lima kali. Untuk menghindari molornya pembayaran, aku bekerjasama dengan bendahara gaji.

Begitulah, dengan tanpa mengenal lelah aku terus bekerja dan bekerja, yang ada diotakku hanya uang dan uang. Usahaku membuahkan hasil, bahkan pelangganku merambah ke beberapa blok yang lain.

Tiga tahun bekerja, aku mendapat promosi kenaikan jabatan, dari bagian produksi ke pengawas (mandor produksi). Seiring dengan itu semua, bisnis kredit barangku juga semakin maju, serupiah demi serupiah mengalir ke rekeningku. Selain kugunakan memenuhi keperluan keluarga, merenovasi rumah nenek, membeli motor untuk bekerja dan menggaji seorang asisten rumah tangga untuk merawat nenek yang sudah rentah.

Hingga suatu ketika, aku berkenalan dengan seorang pria yang ramah, ganteng dan tajir. Namanya Herman, semua yang ada padanya sesuai dengan idamanku. Sepengetahuanku dia anak pemilik perusahaan sebelah. Singkatnya tanpa masa berpacaran yang panjang, dia mengajakku melenggang ke pelaminan. Dengan pertimbangan kekayaan dan wajah ganteng yang dia miliki, akupun menyetujuinya.

Pernikahan kami gelar dengan sederhana, keluarga Mas Herman banyak yang hadir menyaksikan pernikahan kami. Mereka memang nampak dari keluarga yang mapan. Ayahnya berpenampilan perlente, masih terlihat gagah walaupun rambutnya sudah memutih, ibunya nampak sangat bersahaja. Kakak laki-lakinya (Rusdiyanto) Puiih lebih ganteng dan berwibawa. Yang lebih menarik perhatianku adalah kakak perempuannya yang bernama Sunarni, parasnya cantik, kulitnya kuning langsat, perawakannya tinggi semampai seperti artis India, disebelahnya ada seorang laki-laki menggendong anak laki-laki yang lucu, montok, mereka diikuti dengan beberapa pengiring lain yang penampilan dan pakaian mereka sangat bertolak belakang dengan keluarga inti tadi.

Setelah sebulan pernikahan kami, pengantin baru ini berkunjung kekota asal mas Herman. Betapa terkejutnya ketika kutahu bahwa kondisi Mas Herman, tak setajir yang kubayangkan, Penampilan orang tua Mas Herman memang selalu rapi dan ramah dalam keseharian, tapi mereka masih tinggal dirumah kontrakan, Kakak laki-lakinya belum menikah, sedangkan kakak perempuannya seorang pegawai pemerintah yang tinggal di daerah lain. Sedangkan pengiring yang lain adalah nenek, paman dan bibi dari mas Herman.Lebih mengejutkan lagi, ternyata mas Herman bekerja sebagai buruh kontrak di perusahaan milik saudara misannya.

Nasi sudah menjadi bubur, Untuk sementara kukesampingkan mimpiku untuk menjadi cepat kaya dengan pernikahan ini, yang jelas aku mendapatkan seorang suami yang ganteng dan mencintaiku.

Namun kehidupan ku tidak jauh beda dengan sebelum menikah. Sering kudengar sindiran dari ibu tiriku, seolah mentertawakan kesalahanku memilih suami. Begitu pula dengan pandangan rendah dari ayahku, bahkan pernah suatu ketika ayah m,enyuruhku minta cerai dari mas Herman, yang kukira dari keluarga berada.

Setahun setelah pernikahan, aku mengandung buah cinta kami. Bersamaan dengan itu, aku mendapat tawaran bisnis besar dari Big Bos baruku (Mr. Jhon) yang warga Korea. Sebuah penawaran pinjaman lunak dalam jumlah ratusan juta, dengan persyaratan yang cukup ringan. Dia hanya meminta anak yang ku kandung. Dalam perjanjian kami, dia mengatakan kalau anak itu akan diambil jika usianya sudah mencapai 13 tahun. Sebenarnya aku juga tidak paham apa yang dimaksud dengan diambil, apakah diadopsi atau diambil dalam tanda kutip. Yang ada dalam benakku hanya tambahan modal ratusan juta, tanpa bunga dan dengan pembayaran yang lunak. Tentu akan mempercepat langkahku menjadi kaya raya. Dengan begitu aku bisa menunjukkan pada ayah dan ibu tiriku, kalau aku dan suamiku bisa menjadi orang yang lebih kaya dari mereka. Lagipula kami pasangan muda, bila si sulung nanti diambil Mr Jhon, masih banyak kesempatan untuk memiliki anak lagi, begitu yang ada dalam pikiranku.

Tanpa pikir panjang, dan tanpa bicara dengan suami, akupun menyetujui persyaratan itu. Modal awal yang kuterima masih sejumlah puluhan juta. Langsung kuputar dalam modal dagangku yang sudah berjalan. Pelangganku semakin banyak, karena order yang bisa kulayani sudah merambah ke barang-barang elektronik.

Ditengah kesibukan, anakku yang pertama lahir dengan selamat, normal dan ganteng. Wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan ayahnya. Kami beri nama dia Jonathan Yudha Pratama.

Semenjak kehadiran Yudha, kondisi ekonomi keluarga kami mulai bersinar. Tentu saja hal ini sangat tidak menyenangkan bagiku, karena setiap memandang wajah Yudha aku ingat dengan perjanjian yang ku buat dengan Mr Jhon. Kutahu kemajuan perdaganganku ini karena modal yang disuntikkan olehnya.

Sementara Yudha kecil, tumbuh menjadi anak yang lincah dan cerdas. Tapi aku tak pernah memperhatikannya. Aku takut mencintainya dan takut menderita saat Mr. Jhon mengambilnya. Untuk menghindarinya aku selalu menyibukkan diri dengan rutinitas kerja, dan berupaya maksimal untuk segera memiliki anak lagi.

Benar saja saat usia Yudha dua tahun, aku mengandung lagi. Putri kedua kami lahir dengan normal, dan cantik. Selama dua bulan pertama sejak kelahiran Sarah begitu nama yang kami berikan padanya, ibu mertua menemani dan merawatku di rumah kami.

Kehadiran Sarah menyita semua perhatian dan kasih sayangku, hingga nyaris melupakan kakaknya.Yudha yang waktu itu masih tiga tahun, menjadi lengket dan dengan persetujuan kami, ibu mertuaku membawa Yudha untuk tinggal dengannya diluar kota.

Aku menjadi lebih tenang dan nyaman ketika tahu kalau Yudha dan ibu mertuaku tinggal dengan mbak Narni, di kota Surabaya. Karena kutahu suami dan anak-anak Mbak Narni sejak dulu sangat menyayangi Yudha.

Setahun berlalu tanpa Yudha dalam kehidupanku, dari foto-foto yang dishare lewat Whats App dan Face Book Mbaak Narni, kulihat Yudha sangat bahagia. Seolah Yudha telah menjadi bagian dari keluarga Mbak Narni.

Memasuki tahun ketiga, kami sekeluarga berkunjung ke rumah Mbak Narni, betapa terkejutnya ketika kutahu, Yudhaku telah menjadi seorang anak yang sangat istimewa, saai ini dia sedang duduk di kelas 1 SD. Dengan manja dia menunjukkan pada kami, map filenya yang telah dipenuhi dengan piagam-piagam penghargaan, mulai dari ijazah TK, Juara menggambar, Juara membaca dongeng, juara puisi, juara catur, pemenang lomba anak sholeh dan lebih heboh lagi Yudhaku sudah mengantongi ijazah TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an).

GILAA … begitu istimewanya anak ini dalam keluarga kakak iparku, aku tak bisa membayangkan jika tiba saatnya Mr. Jhoni menjemputnya, bagaimana dengan keluarga ini. AH.. MASA BODOH. Bagaimanapun Yudhakan anakku, aku lebih berhak atas dirinya daripada orang lain. Walaupun dia orang yang sudah merawatnya sekian lama. Mau ku kemanakan itu urusanku. Begitu yang ada dalam egoku.

Tahun-tahun berikutnya ku kunjungi Yudha setiap tiga bulan sekali. Bila ada libur sekolah sengaja kujemput dia untuk berlibur bersama kami di Malang. Kupengaruhi hatinya agar tidak terlalu menyayangi Mbak Narni yang selama ini telah merawatnya, kulimpahi dia dengan segudang kenikmatan duniawi. Sambil kubisikkan ketelinganya agar nanti selepas SD, dia melanjutkan ke SMP dan mau tinggal dengan ku di Malang.

Bulan Mei ini usia Yudha memasuki tahun ke 13, setelah menjalani ujian akhir di sekolahnya, seperti biasa kubawa dia berlibur di rumah kami. Beda dengan liburan-liburan sebelumnya, kali ini kulihat Yudha semakin nampak dewasa, sikap dan perhatiannya pada Sarah sangat luar biasa.

Pernah suatu hari kudengar mereka sedang bercakap-cakap berdua, “Sar.. jangan terlalu manja ke mama dan papa. Nanti kalau mas Yudha pergi jaga mereka yaa..” begitu katanya, “Memang mas Yudha mau kemana ??” Tanya adiknya penasaran. Yudha cuma tersenyum penuh makna.

Aku jadi tak habis pikir, kenapa Yudha berkata begitu, ataukah dia sudah merasakan kalau akan pergi jauh.

Pada akhir masa liburan, kuantar kembali Yudha ke rumah Mbak Narni, menurutnya besok senin ada acara perpisahan di sekolahnya. Sebenarnya Yudha sangat ingin kami yang menemaninya di acara tersebut, tapi seperti biasa, kesibukan kami membuat kami tak bisa melakukannya.

Sang surya mulai meletakkan sayapnya diperaduan, hatiku mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada Yudha di esok hari, bukankanh besok tepat 13 tahun usianya.

Semakin malam, kegelisahan makin memburu, kuingat tadi dipabrik Mr. Jhoni memberiku sinyal bahwa lusa danaku akan cair seberar 600 juta. Aku jadi meragukan hati nuraniku sendiri. Tentang apa sebenarnya yang membuatku gelisah malam ini. Adakah gelisah karena akan kehilangan anak ???, atau gelisah memikirkan akan kugunakan untuk apa uang 600 juta yang lusa akan kuterima ???

Dit..dit…dit..dit…dit…dit, Suara hand phone, membangunkanku dari lelap yang baru sekejap kurasakan. Dari seberang kudengar suara Mbak Narni dengan cemas dan terpatah-patah..”Yan.. cepat kesini.. Yudha tiba-tiba sakit..katanya tidak bisa melihat.. Cepat Yan.. sekarang kami di IGD RSU Dr Sutomo” begitu suara Kemudian Hpnya terputus.

Kamipun bergegas berangkat, dalam perjalanan hati kecilku sudah menebak.. Anakku mati… jadi inikah yang dimaksud diambil oleh Mr Jhoni ??. Gila ternyata di Korea juga ada pesugihan… Sejuta tanya berkecamuk memenuhi benakku. Tapi lagi-lagi jawabannya adalah anakku mati. anakku mati.dan anakku mati.

Memasuki kota pahlawan kami langsung meluncur ke RSU Dr Sutomo, tepat didepan IGD, kulihat anak-anak Mbak Narni diruang tunggu dengan mata sembab, Si sulung Roy yang biasanya penuh canda, nampak duduk termenung sambil sesekali memandang ke arah pintu IGD, mulutnya komat kamit, Sedangkan Heru yang memang pendiam, nampak khusuk membaca Al-Qur’an kecil yang memang tak pernah lepas dari tangannya. Mereka seolah tak menyadari kedatanganku, hanya si bungsu Icha yang seusia dengan Yudha langsung berhambur memelukku sambil menangis, dan mulut mungilnya menceritakan kalau tadi subuh, Yudha yang biasanya paling awal bangun untuk membangunkan yang lain Shalat Subuh, tapi tadi pagi tidak demikian. Bahkan waktu dibangunkan mas Roy, dia tetap meringkuk dalam selimutnya. Baru ketika bunda yang masuk kamarnya, Yudha bangun sambil menangis dan mengatakan kalau tidak bisa melihat apa-apa. Padahal kemarin Yudha sehat-sehat saja, malah pagi ini kami sudah siapkan kejutan Ulang tahun buat dia.Melihat itu Bunda jadi panik, dan segera melarikannya ke Klinic dekat rumah, tapi sampai disana Yudha malah kejang. Akhirnya dirujuk ke RSU ini.

Dari luar jendela, kulihat Mbak Narni dan suaminya duduk di samping ranjang Yudha, sementara anakku nampak tidur dengan tenang. Dokter jaga yang merawat penjelasan kalau hasil diagnosa tidak menemukan penyakit yang menyebabkan tidak bisa melihatnya mata Yudha, dengan seijin dokter jaga kami berdua masuk.

Betapa terkejut dan paniknya aku saat melihat anakku tiba-tiba menggeliat kuat bahkan tubuhnya ditarik kebelakang, seperti karet yang dibakar, matanya terbelalak, melotot korneanya keluar semua. Ada apa ini.. kenapa bisa seperti ini.

Dalam kepanikan aku langsung keluar dari IGD, segera ku telpon Mr Jhoni minta penjelasan apa yang menimpa Yudha.Dengan tertawa lebar dia malah balik tanya, kenapa aku masih bertanya, bukankah perjanjian ini sudah kami buat sejak tiga belas tahun yang lalu. Mestinya aku sudah tahu apa yang akan terjadi, bukankah penggantinya sudah kuterima separuh dan besok akan cair keseluruhan.

“Tapi aku tak menyangka akan setragis ini, Bos” begitu selaku. Kembali dia tertawa terbahak sambil menjawab “Enam ratus juta Yan… enam ratus juta… ingat itu.”

“Tak bisakah dipercepat Bos ??” Tanyaku dengan nada menghiba..Kali ini tak ada jawaban yang kudapat darinya.

Tanpa kusadari pembicaraanku dengan Mr Jhoni didengar Mbak Yuni adik ipar mbak Narni. Dia memandangku dengan penuh rasa tidak percaya, kemudian masuk ke IGD melihat keadaan Yudha. Kulihat dengan mulutnya komat kamit berdoa, lalu tangan Mbak Yuni membelai kepala Yudha, aneh anakku kembali tenang, tapi kali ini tenang untuk selamanya. Yudha telah tiada. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji”uun.

Semua yang ada di IGD terdiam sesaat, seolah mempersilahkan nyawa Yudha berangkat meninggalkan raganya. Hanya Mbak Yuni yang terus menatap kearahku.

AH.. PEDULI APA DENGAN MBAK YUNI, biar saja dia terbenam dengan tanda tanya. Siapa suruh mendengar pembicaraan orang. Yang penting besok danaku cair 600 juta. Gumanku sambil tertawa dalam hati. Kalau saja tidak ada mbak Narni dan suami tentu aku sudah tertawa sejak tadi membayangkan enam ratus juta akan segera kuterima....

Jenazah Yudha, kuminta untuk dimakamkan dirumahku di kota dingin Malang, seperti pesan Mr. Jhoni, jadilah hari itu juga dengan mobil jenazah RSU Dr Sutomo, Jenazah Yudha kubawa pulang dan makamkan dikampung halamanku di kota Malang.

Tepat hari ketiga setelah meninggalnya Yudha, Mr Jhoni melayat ke rumahku dengan membawa segepok uang yang jumlahnya sesuai dalam perjanjian.

Enam ratus juta boooook…. Kupandangi gepokan uang ratusan ribu itu.. terima kasih Yudha anakku.. kau telah memenuhi mimpiku untuk menjadi kaya raya melebihi kekayaan ayah dan ibu tiriku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

AstaghfiruLLOH... NaudzubiLLAH...

08 Sep
Balas

Kalau hati sudah tertutup kenikmatan dunia apapun dilakukan naudzubillah

08 Sep
Balas



search

New Post