Badriah

Badriah mengajar di SD sebagai sukarelawan, 10 tahun menjadi guru SMP, dan sekarang mengajar di SMA....

Selengkapnya
Navigasi Web

Aku masih mencari guruku

Aku masih mencari guruku

Anak-anak bergerombol, bersitatap. Gosip, gosip, gosip. Itu yang muncul dalam pikiranku ketika melihat mulut mereka buka tutup, mimik mereka berganti-ganti, sesekali terdengar suara ngikik tertawa tertahan kesadaran bahwa mereka punya etika untuk tidak melepaskan tawa dengan terbahak-bahak di sekitar lingkungan sekolah. Sesekali mereka saling tepuk bahu dengan temannya. Kondisi ini justru membuat saya bertanya-tanya, mengapa mereka menahan tawa, adakah hal sakral dalam lingkup obrolan mereka yang melarang tawa merdeka lepas berbaur berhaha-haha dengan oksigen?

“Ini Ms, kami menertawakan kesialan anak kelas lain yang disebut √€πȶɭúĻĻ ʞʘʘʁʁɝʞ ʉʉɣɨ sama guru,” mereka merelakan kesakralan berita yang dianggap memalukan itu sampai pada telinga guru yang menurut mereka ‘aman’ untuk mendapatkan kisah pengoyak harga diri siswa.

Saya merasa kaget, pada saat bagaimana dan kondisi apa guru melabeli siswa dengan nama benda yang mungkin tidak disukai siswa yang dianugerahi label tersebut. Saya anggap itu terjadi karena guru sedang bergurau dan mencoba akrab dengan siswanya. Kekagetan ini terlontar menjadi pertanyaan,’ Emang bagaimana kejadiannya? Setahu Ms, guru itu selektif dalam memilih kata pada saat mengajar, apalagi pada saat mengaitkan langsung dengan siswa secara personal.’

Gian yang dari tadi terlihat menyimak perkataan saya segera berujar, ‘Ga semua guru begitu Ms. Saya mencari guru yang benar-benar guru. Bukan sekadar guru yang memiliki legalitas mengajar dengan selembar kertas. Bagi saya, guru bisa saja usianya lebih muda dari saya. Maksud saya, guru yang mewariskan ilmu, dia bisa siapa saja selama mereka tidak pelit ilmu. Di SMA, ada beberapa guru yang pelit ilmu, maksud saya, bukan ilmu yang dikelas, tapi ilmu yang membuat kita bisa mengenal hidup di luar kelas, bisa melawan rintangan hidup, menjadi seseorang dalam hidup orang lain, bisa memaafkan orang lain, dan lain-lain.”

Saya mencoba mencerna perjelasan Gian yang melihat guru bukan dari kertas, namun dari kepiawainnya menjadikan dirinya orang yang bisa hidup di luar sekolah. Diam-diam saya merasa kagum, namun kekaguman itu untuk sementara disimpan dulu, siapa tahu ada kagum lainnya yang lebih menggetarkan kalbu keguruan saya.

“Intinya, guru saya banyak. Dan, saya adalah murid banyak guru.’ Gian menyambung penjelasannya. Dhuar!!! Kali ini saya harus mengeluarkan rasa kagum versi orisinil atas cara pikir Gian. Andai ada kertas, saya sudah bikin Quote dan ditempel di dinding kelas agar para siswa ngeuh bahwa siapa pun dapat menjadi guru, termasuk mereka yang selalu menganggap dirinya bukan siapa-siapa. (Saya teringat Qobus yang saya walikelasi, bagi saya, dia adalah guru silat yang hebat yang mengajarkan bagaimana cara menendang, memukul, mengelak tanpa mencederai diri sendiri).

Gian berbeda dengan pendapat anak-anak umumnya yang melontarkan bahwa guru yang mereka cari itu yang friendly, yang tidak kikir angka tinggi, yang seru, yang perhatian, yang ngobrolnya enak, yang jarang ngasih tugas, yang gak emosian, yang gaul, yang muda yang bisa dijadiin kakak, yang nyaman, yang bisa curhat, yang care banget.

Saya terhenyak, perkataan Gian benar. Saya adalah murid banyak guru. Jika sekarang diakui sebagai guru (itupun hanya untuk Bahasa Inggris saja) karena kertas.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post