Kenapa Malu Sekolah?
Setelah satu minggu tidak hadir ke sekolah karena amandel, saya khawatir jika siswa ini benar-benar sedang dalam keadaan kepayahan karena sakit. Sebagai wali kelas saya merasa wajib kunjung untuk mengetahui kondisi kesehatannya. Terlalu lama tidak sekolah, menimbulkan banyak hiasan pada absen, agenda, dan catatan guru pengajar. Hiasan tersebut menjadi tidak indah ketika seolah semua pernak pernik ketidakhadiran harus bisa dijelaskan oleh wali kelas dan (lagi) wali kelas harus bisa memuaskan pencarian kenapa dari guru-guru pengajar lain.
Setelah bertemu dengan siswa dan orangtuanya, diperolehlah keterangan yang memunculkan pertanyaan baru. Orangtuanya mengatakan bahwa anaknya telah lama tidak sekolah karena sakit dan malu jika hadir lagi ke sekolah.
Saya bolak balik mencerna pernyataan orangtua tadi: sakit, malu kembali ke sekolah.
Dalam benak saya menegaskan bahwa seseorang sakit bukan karena keinginannya, bukan rencananya, bukan pula impiannya. Kenapa harus malu kembali ke sekolah karena absen akibat sakit.
Saya menanyai diri sendiri 'seandainya tidak dapat hadir pada sebuah kegiatan karena sakit, apakah itu mempermalukan diri sendiri?'
Setelah sakit kemudian melanjutkan tidak hadir ke sekolah karena malu, bagi saya, itu memperpanjang masalah. Sakit, yang semula bagian dari kondisi kesehatan seseorang dan diterima sebagai sebuah kewajaran oleh orang lain. Jika setelah sakit diikuti tidak mau sekolah karena malu, tentu tidak bisa diterima sebagai sebuah kewajaran lanjutan efek sakit.
Kita lihat bahwa sakit adalah hal normal. Seorang siswa sakit selama seminggu, ada surat yang menjelaskannya, guru dapat menerima itu. Namun, ketika siswa, kemudian, memilih tidak hadir karena malu akibat sakit, keputusan ini lebih banyak merugikan siswa itu sendiri. Saya tulisan di bawah ini beberapa kerugian jika menambah angka tidak hadir.
Pertama, semakin banyak tidak hadir, semakin banyak tertinggal pelajaran. Seminggu tidak hadir, katakan misalnya ada 14 mata pelajaran dalam seminggu. Artinya sama dengan tertinggal 14 bahasan berbeda yang harus dikuasai sendiri tanpa bantuan guru. Guru, belum tentu bersedia mengulang mengajar hanya demi satu siswa yang tidak hadir. Jika ketidakhadirannya diperpanjang, maka semakin panjang pula urusan ketertinggalan pelajarannya.
Kedua, beberapa hari tidak hadir sudah ketahuan berapa banyak tugas dan latihan yang harus dikerjakan. Misalnya tidak hadir 3 hari. Per hari ada 4 pelajaran. Artinya ada 12 tugas yang harus dikerjakan sendiri. Belum lagi, ada guru yang meminta bahwa tugas tidak boleh ada yang kosong. Jika dari 12 pertemuan tadi ada 6 saja yang disertai tugas. Maka ketika siswa lain dengan ringannya masuk ke pelajaran selanjutnya, siswa yang tidak hadir harua bekerja ekstra sendiri. Dia harus mengerjakan tugas yang harus disusulkan tepat waktu.
Ketiga, semakin banyak tidak hadir semakin sulit untuk kembali ke rutinitas sekolah. Sekolah memiliki aturan yang bisa saja dipandang ribet. Masuk harus jam sekian, bajunya harus begini, istirahat sesuai jatah, selama di sekolah todak boleh begini, dan sederetan hal lain yang mungkin dianggap menyebalkan. Sekolah melatih disiplin dan pembiasaan yang positif, seperti taat pada aturan, menghormati keputusan yabg ditetapkan sekolah. Jika tidak sekolah, tentu aturan sekolah tidak akan dipakai. Tubuh membuat gelombang baru. Semakin lama tubuh kita menggunakan gelombang baru yang dianggap sebagai ekspresi kemerdekaan (karena tidak ada aturan-aturan seperti pada saat sekolah) semakin lama, tubuh kita mengalami kesulitan besar pada saat gelombang hidupnya diubah. Gelombang baru, misalnya bangun pukul 7 dan itu menyenangkan. Ketika harus sekolah, bangun paling lambat setengah 6, pukul 6.30 sudah harus duduk manis di kelas. Secara alamiah tubuh mengajak pada yang enak-enak, yakni bangun pukul 7, makan pukul 8, nonton tivi, tiduran, main gim. Meluruskan perintah pada otak agar bangun awal, duduk manis di kelas, jadi perang batin baru ketika kelamaan enak tidak sekolah.
Keempat, kalau tidak sekolah artinya beberapa peluang hilang dengan sendirinya. Misalnya, siswa yang tidak hadir berkata begini, 'sudahlah tidak usah sekolah lagi, kadung malu audah banyak tidak hadir.'
Kalau terus-terusan tidak hadir, peluang diterima kembali oleh sekolah menjadi mengecil kesempatannya. Sekolah biasanya enggan menerima siswa yang lembek dalam urusan kehadiran. Ketidakhadiran mencapai 10%, sudah jadi bahan pertimbangan apakah siswa ini akan terus dibina atau dikembalikan pada orangtua. Sering tidak hadir diindikasikan sebagai 'tidak minat' bersekolah. Bagaimanapun sekolah bisa memaksa orang yang tidak minat sekolah untuk bersekolah.
Sekolah melihat gejala. Jika gejalanya menunjukkan tidak minat sekolah, sekolah akan menanyakan pastinya. Jika pastinya tidak mau sekolah, maka sekolah akan mengembalikan pada orangtua, sesederhana itu. Selesai. Tinggal si siswa yang buntu. Peluang masuk sekolah lain tertutup karena statusnya 'dikembalikan pada orang tua.' Peluang memperpanjang masa remaja juga hilang. Ketika siswa sudah dikembalikan pada orang tua, status pelajarnya hilang, jadi berststus penganggur. Penganggur biasanya dianggap negatif: malas, beban orangtua, tidak bisa bekerja makan jalan terus, merepotkan. Agar urusan tidak tambah ruwet, bagi si penganggur berjenis kelamin perempuan, bisa saja dinikahkan dengan segera.
Kalau menikah, ya punya anak. Siapkah, pada saat papasan dengan teman seSMA yang masih berseragam dirinya digelantungi bayi.
Kalau dia anak lelaki, bukan tidak mungkin disuruh bekerja. Tapi kerja apa, ijazah SMA saja tidak punya.
Tidak usah malu karena tidak dapat hadir di sekolah. Datang saja. Berpikir positif. Para guru akan menanyakan kemana saja. Jawab saja dengan jujur. Teman-teman ngorek-ngorek nanya ngapain saja, jawab saja. Jawaban apapun yang diberikan, jadi solusi. Jangan takut pada sesuatu yang hanya menari dalam benak sendiri. Datangi sekolah dan lihat tarian apa yang sedang dimainkan.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar