SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI
**Judul: "Surat yang Tak Pernah Sampai"**
Di sebuah desa kecil yang sunyi, hidup seorang perempuan bernama Laras. Setiap pagi, ia duduk di beranda rumahnya, menatap jalan setapak yang membentang ke arah bukit. Matanya selalu tertuju ke ujung jalan, seolah menunggu sesuatu—atau seseorang. Penduduk desa sudah hafal dengan kebiasaannya. Mereka tahu, Laras sedang menunggu kabar dari kekasihnya, Arman, yang pergi merantau lima tahun silam.
Sebelum Arman pergi, ia berjanji akan kembali setelah sukses. "Aku akan membangun rumah untuk kita, Laras. Tunggu aku," ujarnya sambil memegang erat tangan Laras. Sebagai tanda cinta, Arman memberikan sebuah kalung berbentuk bulan sabit, yang selalu Laras kenakan hingga saat ini.
Hari demi hari, Laras menulis surat untuk Arman. Ia menceritakan tentang kehidupan di desa, tentang bunga-bunga yang mekar di kebun belakang rumah, tentang langit senja yang selalu ia nikmati sendirian. Namun, tak pernah ada balasan. Surat-surat itu seolah hilang ditelan angin, tak pernah sampai ke tangan Arman.
Tahun berganti tahun, Laras tetap setia menunggu. Ia menolak lamaran dari pemuda-pemuda desa yang tertarik padanya. "Aku sudah berjanji pada Arman," katanya dengan tegas. Tapi, di dalam hatinya, ada keraguan yang mulai menggerogoti. Apakah Arman masih mengingatnya? Apakah ia masih hidup?
Suatu hari, seorang pengembara datang ke desa. Ia membawa kabar tentang Arman. Laras segera mendatanginya, jantungnya berdebar kencang. "Apakah kau pernah bertemu Arman?" tanyanya penuh harap.
Pengembara itu mengangguk. "Aku bertemu dengannya di kota besar. Ia sudah menikah dan memiliki anak. Ia bilang, ia tak bisa kembali ke sini."
Laras terdiam. Rasanya dunia berputar kencang. Air matanya menetes perlahan, membasahi pipinya yang pucat. Ia tak bisa percaya. Selama ini, ia menunggu dengan setia, tapi ternyata Arman sudah melupakannya.
Malam itu, Laras duduk di beranda rumahnya seperti biasa. Tapi kali ini, ia tak lagi menatap jalan setapak. Matanya kosong, hatinya hancur. Ia melepas kalung bulan sabit yang selama ini ia anggap sebagai simbol cinta mereka. Perlahan, ia meletakkannya di atas meja, lalu masuk ke dalam rumah.
Keesokan harinya, penduduk desa menemukan Laras sudah pergi. Ia meninggalkan desa tanpa pesan, tanpa jejak. Surat-surat yang ia tulis selama ini terbakar hangus di perapian. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kalung bulan sabit, yang kini tergeletak sunyi, menjadi saksi bisu penantian yang tertinggal.
Dan di ujung jalan setapak, angin berhembus membawa kabar tentang Laras yang tak pernah lagi menunggu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar