Bagus Sasmito Edi Wahono

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, Pegiat Literasi dan Ketua Dewan Kesenian Gresik...

Selengkapnya
Navigasi Web
AKAN KUBERIKAN YANG TERINDAH (2)

AKAN KUBERIKAN YANG TERINDAH (2)

Sampai waktu menjelang maghrib belum juga sampai di rumahnya,mendung yang sudah menyelimuti sejak siang tadi menambah pekat dan gelapnya suasana. Hampir satu jam lamanya perjalanan telah berlalu. Sepanjang penjalanan dia diam saja. Hanya sesekali membalas ucapanku dengan ya dan tidak. Dan ketika sepeda motorku memasuki sebuah perkampungan penduduk yang suasananya betul-betul sepi mencekam, aku benar-benar merasa asing, rasanya aku belum pernah ke daerah ini. Suara-suara yang kadang aneh ku dengar seperti saling bersahutan di sana-sini. Rumah-rumah berjejer begitu rapi. Tiap-tiap rumah ditumbuhi pohon-pohon yang sangat rimbun tapi tak ada seseorangpun yang melintas. Aku benar-benar merasa asing.

            “Sebelah mana rumahmu?” tanyaku padanya.

            “Itu rumah yang paling besar,” jawabnya sambil menunjuk pada sebuah rumah di sudut jalan.

Tanpa disuruh aku segera memarkir sepeda motorku di teras rumahnya karena kulihat gerimis mulai turun.

            “Rumahnya kok sepi. Kemana orang tuamu,” tanyaku.

            “Mungkin sudah tidur.”

            Sesaat kemudian dia masuk ke dalam rumah mengambil air minum untukku. Dan entah mengapa hatiku serasa tak karuan. Bulu kudukku berdiri. Dingin. Sepi. Kemudian kurapatkan jaketku erat-erat.

            “Apa kamu takut?” tegurnya sambil meletakkan secangkir kopi di meja.

            “Iya……. sedikit,” jawabku terus terang.

            “Silakan diminum.”

            “Terima kasih.”

            Akupun lalu meneguk kopi yang telah disediakan itu. Tetapi aneh, kopi serasa bau kembang yang selama ini cukup banyak terdapat di kuburan….. ya kembang kamboja.

            Tiba-tiba wajah gadis yang duduk dihadapan ku ini berubah semakin pucat, seakan tak berdarah. Pakaian putih yang membungkus tubuhnya tergerai sampai ketanah. Jantungku bertambah hebat getarannya menyaksikan sesosok tubuh yang benar-benar mirip Gita seolah-olah acuh dan kaku. Dia memandangku tajam.

            “Apakah kau sakit,” tanyaku.

            “Iya… sakit…. sakit sekali,” jawabnya terdengar pelan dan parau.

            “Kamu sakit apa.”

            Tatapan matanya menerawang ke atas. Seakan-akan sulit untuk menjawab.

            “Kamukenapa?.”

            “Aku kecewa kepadamu!.”

            “Hah?” Aku?”Kenapa aku?”Apa hubungannya denganmu?”

            “Aku telah kau kecewakan!”

            “Aku ingin mati saja”

            “Hei.. kamu jangan ngawur!”

            “Kamu Gita kan, yang sengaja mengerjaiku?”

            “Ayolah Git! berhenti mempermainkanku. Aku capek. Ayo kita pergi dari sini!”

            Akuberteriak. Hatiku berontak. Tubuhku bersimbah keringat. Aku baru ingat beberapa hari yang lalutelah membuat Gita benar-benar kecewa kepadaku. Aku memang egois, selalu melarangnya berjalan dengan teman-teman laki-lakinya padahal dia sudah menjelaskan berkali-kali bahwa dia tidak melakukan apa-apa. dia hanya menyelesaikan tugas kelompok di kampus dengan beberapa teman laki-lakinya. Tapi aku tetap tak mau tahu. Aku benar-benar tak peduli. Aku benar-benar muak dengan penjelasan-penjelasannya. Aku bosan dengan alasan-alasan yang ia buat dan kemudian ia lakukan lagi.

Malam itu aku meninggalkan rumah kosnya dengan penuh kebencian. Aku tahu dia menangis. Tapi aku tak peduli. Aku tahu sebetulnya dia sangat ingin menjelaskan sesuatukepadaku tapi bingung harus berbuat apa dan dia hanya bisa menangis.

“Hei.. kamu jangan egois, asik dengan kesenanganmu sendiri!” tiba-tiba gadis berbusana putih ini mendekatkan muka pucatnya di hadapanku. Membuyarkan lamunanku.

“Kamu telah melukai hatiku!” Sambungnya sambil terus terisak.

“Aku tahu kau sama sekali tidak memperdulikanku!”

“Kau hanya mementingkan dirimu sendiri!”

“Tapi.. baiklah…baiklah..sebentar lagi aku akan pergi!Pergi untuk selamanya!”

Sambil terisak-isak dia raih botol minuman yang ada di dekat meja ruang tamu, dia pukulkan ujungnya di pojok dinding dan dengan genggaman erat kedua tangannya dia hujamkan berkali-kali ujung botol yang lancip dan tajam, tepat di kiri dadanya. Darah mengucur deras.

Aku tak kuasa meraihnya. Aku menjerit. Tubuhku lunglai. Pandangan mataku gelap.

Beberapa saat kemudian tubuhnya yang bersimbah darah hilang bersama rumah beserta perabotnya. Tak berbekas sedikit pun. Dan kini aku terbaring lemas di sebuah ruang serba putih. Aku tak kuasa menahan kekalutan dan ketakutan yang teramat sangat. Namun kemudian kurasakan sepasang tangan telah menggenggam tanganku. Aku tersentak. Kulihat Gita disampingku dengan senyumnya yang khas.

            “Gus.. Alhamdulillah.. kamu sudah sadar, sepeda motormu tadi menabrak mobil di Jln. Sukarno Hatta” ia tampak khawatir.

            “Kamu sekarang di rumah sakit” kulihat ada butiran mutiara di matanya.

            “Alhamdulillah aku tidak apa-apa, aku tadi kurang hati-hati di jalan.” jawabku sambil berusaha tersenyum.

Dari balik korden putih yang sedikit terbuka, kulihat ada angin yang tengah berbisik kepada helai daun kemuning, kata-katanya indah menawan dan cukup mempesona. “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.Aku ingin mengutipnya untuk kuejakan kepada orang yang saat ini sedang merenda hati di sampingku 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post