Bagus Sasmito Edi Wahono

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, Pegiat Literasi dan Ketua Dewan Kesenian Gresik...

Selengkapnya
Navigasi Web
BUNGA YANG TAK PERNAH LAYU (1)

BUNGA YANG TAK PERNAH LAYU (1)

Ia berlari dengan tergesa-gesa sambil melambai-lambaikan tangannya.

“Heiii...Bagus, tunggu!”

Ia tak peduli meskipun lorong penghubung ruangkuliah yang ia lalui sedang ramai oleh mahasiswa yang berlalu lalang untuk segera pulang menuju rumah masing masing.

“Bagus! Tunggu! kamu masih punya janji denganku. Hei!” ia tetap berlari hingga ia menggapai punggungku yang sejak tadi ia kejar.

Aku menoleh dan mendapatinya terengah-engah sambil memegang ujung hemku. Sejujurnya aku bingung. Siapa dia? Tiba-tiba saja dia ada dan duduk di kursi depanku saat di perpustakaan tadi. Dia sok akrab dan sok tahu tentang aku. Gadis berambut panjang dengan deretan gigi yang khas yang suka memainkan alisnya yang tebal. Wajahnya mirip sekali dengan seseorang yang telah lama terkubur.

“Apa lagi sih? Kan aku sudah bilang tadi, aku tidak mau ikut. Jangan memaksa aku!” aku menepis tangan gadis tersebut dari punggungku.

“Tapi ini event besar Gus. Kamutidak boleh membuang kesempatan ini. Kalau kau lolos kau bisa mendapat peluang mendapat beasiswa.” Setengah berteriak dia membujukku sambil sesekali memainkan alisnya.

Lagi-lagi ia berusaha membujukku agar mau mengikuti LombaMenulis Cerpen yang diadakan fakultas.Buru-buru ia mengeluarkan poster berukuran A3 dan menunjukkannya di depan mukaku.  Aku menurunkan poster yang dipegang olehnya. Aku menatap matanya, alisnya yang tebal, deretan gigi-giginya dan berusaha menolaknya dengan cara yang sehalus mungkin.

“Tidak! Aku sama sekali tidak tertarik, lagipula kenapa kamu tidak mencobasendiri?Kenapa harus memaksa aku.”

“Kamu kenapa sih Gus? Aku sering baca tulisan-tulisanmu, bahkan beberapa tulisanmu, aku punya foto kopinya. Dari beberapatulisanmu itu aku merasa yakin kamu memang berbakat. Aku tidak mau kamu menyia-nyiakan bakatmu itu hanya karena menuruti omongan orang-orang itu. Hanya karena kamu gagal dalam beberapa kompetisi bukan berarti kamu tidak berbakat Gus.”

Dia menatapku dengan pandangan kecewa. Ia bingung dengan jalan pikiranku yang hanya mengikuti omongan orang lain.

Aku menghela nafas panjang. Lagi-lagi aku menemukan kemiripan dia dengannya.

“Sudahlah, aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Percuma!aku sama sekali tidak mengenalmu. Kau ini siapa? Tiba-tiba saja kau hadir. aku ini orang yang selalu gagal. Lagipula aku tidak berminat bukan karena omongan orang-orang itu.”

Ia yang mendengar jawaban dariku makin membuat dirinya tersulut amarah .

“Dengar ya Gus! Cuma gara-gara kamu gagal terus kamu bilang itu bukan jalan kamu gitu? Lalu gimana kamu bisa maju Gus?”

Dia berbicara dengan nada yang tinggi. Hingga beberapa anak yang berlalu lalang di sekitar lorong kampus, menolehkan pandangan mereka hanya untuk melihat asal suara yang mereka dengar.

Dia menarik tanganku menuju ruang UKM Jurnalistik. Ruangan itu kosong karena hari ini semua kegiatan UKM diliburkan. Ia mengambil sebuah buku berisikan cepen-cerpen terbaik. Ia membuka lembar per lembar halaman dengan emosi. Matanya menjelajah meneliti setiap tulisan yang ada. Hingga akhirnya ia menemukan yang ia cari. Ia berhenti pada halaman yang merupakan karyaku.

“Lihat Gus! Ini karya kamu kan! itu kamu kan? Kamu itu berbakat Gus.” Lagi-lagi ia berusaha meyakinkankubahwa aku memang terlahir untuk dunia ini, dunia kepenulisan.

“Sebenarnya mau kamu ini apa sih? Kamu belum tahu aku. Kamu tiba-tiba datang lalu sok tahu, sok dekat padaku dan tiba-tiba memaksa aku untuk ikut lomba penulis cerpen. “Aku tidak tertarik..sama sekali tidak. Sudah selesai.”

Aku berteriak frustasi. Sesekali ku lihat alisnya, matanya, rambut dan pipi, semuanya mirip dia. Sepintas kulihat mukanya memerah, , entah karena kecewa atau apa. Aku mengacak-acak rambutku sendiri kemudian terduduk di sebuah kursi kosong di dekat rak buku. Aku melihat beberapa novel serta antologi cerpen dan puisitermasuk beberapa karyaku. Sejujurnya ada rasa rindu yang merambat masuk ke dalam relung hatiku. Aku rindu ketika kutuangkan imajinasi dalam bentuk kata-kata yang indah. Merangkai kata demi kata menjadi sebuah tulisan. Namun, tak berselang lama akukembali teringat kegagalanku waktu itu. Aku kalah dalam lomba menulis cerpen yang diselenggarakan fakultas, karyaku dikritik habis-habisan oleh juri di depan seluruh penonton dan penulis.

Ketika hari penilaian karyaku,sebetulnya akucukup percaya diri. Akutelah siap untuk mendengar pujian pujian dari para juri. Bahkan aku juga tega meninggalkan “dia”, gadis manis berambut panjang dengan deretan gigi yang khas yang suka memainkan alisnya yang sedang operasi di rumah sakit sehabis kecelakaandemi hari penilaian itu. Ya.. dia adalah orang istimewa bagiku. Dia selalu memberiku dorongan untuk keberhasilanku, selalu memberi motivasi dan semangat untuk terus berkarya, Dia orang yang tingkah lakunya sangat kukagumi, orang yang halus tutur katanya meskipun dia bukan siapa-siapaku.. Di setiap lomba yang kuikuti dia selalu hadir menemaniku. Memberiku support dan dukungan yang sangat luar biasa. Dan hari itu, disaat penilaian karyaku dia tengah berbaring di ruang operasi. Suasana hari penilaian benar-benar kurasakan hambar, Dia tidak di sampingku dan sama sekali tak kudengar pujian dari para juri. Hanya ada kritik tajam dan seruan mengejek dari semua juri dan penonton.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post