Bagus Sasmito Edi Wahono

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, Pegiat Literasi dan Ketua Dewan Kesenian Gresik...

Selengkapnya
Navigasi Web
MUTIARA TERINDAH (1)

MUTIARA TERINDAH (1)

Kakiku kini berpijak dibumiyang sampai sekarang masih selalu menjadi kebanggaanku. Bumi tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, tempat aku merajut sebuah kisah dan tempat aku menyusun semua mimpi. Ku hirup udara segar yang selalu membuatku rindu. Senja menemani langkahku menikmati pemandangan sekitar yang dipenuhi pohon rindang. Aku menyusuri gangkecil untuk tiba di rumahku dengan menenteng tas rangsel berwarna hitam yang setia menemaniku pulangke kampung ini. Suasana sebetulnya sudah tidak begitu panas sebab waktu sudah lepas asyar, tapi tidak seperti biasanya saat aku menyusuri jalan ini terlihat begitu sepi.

"Assalamualaikum."

Aku mengetuk pintu rumah yang sangat sederhana di ujung jalan yang ku lewati tadi.

"Waalaikumsalam."

Terdengar suara jawaban dari dalam. Tak lama setelah itu pintu terbuka dan tampak seorang wanita paruh baya yang raut wajahnya hampir mirip denganku. Dia adalah ibu ku. Wanita kuat yang selalu berusaha untuk membuat hidupku bahagia hingga aku dapat menggapai mimpiku. Aku pun menyalaminya dan memeluknya erat. Aku sangat rindu dengannya karena hampir empat bulanberpisah dengannya.

"Kenapa kamu tidak bilang kalau akan pulang?"tanya ibuku yang telah melepaskan pelukannya tetapi masih memegang tangaku erat.

"Hanya ingin membuat ibu terkejut" jawabku sambil tersenyum.

"Ahh, kamu ini. Kalau kamu bilang kan ibu bisa masak makanan kesukaan mu." ujar ibu sambil beranjak meninggalkan ruang tamu, mungkin akan segera menyiapkan teh hangat untukku.

"Kenapa kampung ini sepi sekali ya, Bu?" tanyaku dengan suara agak sedikit kukeraskan.

"Perasaan kamu saja mungkin.”Ibu membalas sambil mengaduk teh hangat di dapur yang bersebelahan dengan meja makan.

Aroma khas dari rumah ini membuatku betah, tatanan dan dekorasi ruangannya pun masih sama seperti terakhir kali aku berada disini. Ingin rasanya selalu berada disini. Tapi karena tugasku sebagai mahasiswa belum selesai jadi itu tak mungkin bagiku. Aku duduk di kursi tamu yang tak begitu empuk tapi nyaman.

Sesaat aku melihat-lihat foto yang terpajang di dinding ruang tamu. Masih tetap seperti dulu, terpampang fotohitam-putih dalam pigora yang tidak terlalu besar. Foto lelaki berperawakan tinggi sedikit kurus berkacamata.Ya.., dia adalah Bapak, lelaki yang pernah menjadi pelindungku, pelindung keluargaku. Bapakadalah lelaki yang pernah menjadi tulang punggung keluargaku. Awalnya bapak seorang guru dan di akhir masa kerjanya pindah tugas menjadi pegawai kantor di dinas pendidikan. Hingga akhir hayatnya bapak paling tidak bisa melihat ibuku sedih apalagi tersakiti. Aku ingat, suatu saat aku pernah benar-benar membuat ibuku sedih, membujuk-bujukku sambil setengah menangis, meminta maaf kepadaku karena seragam sekolahku tercuci dan belum kering aku ngotot tidak mau sekolah. Waktu itu ayah bukannya menyalahkan ibu, tapi justru memarahiku karena aku tidak menyiapkan perlengkapan sekolah sore kemarin. Waktu itu aku jadi bingung, yang membasahkan bajuku ibu kok malah aku yang disalahkan?

Bapak dan aku memiliki hobi yang sama yaitu membaca. Jika kami sudah melakukan itu maka kami akan melupakan segalanya. Lama-lama ibuku juga ketularan mencintai buku juga. Itu sebabnya sampai sekarang masih belum berubah sedikitpun letak tatanan buku-buku di rak yang ada di sudut ruang tengah yang tidak begitu luas.

“Gus, kamu mandi dulu setelah itu makan.”Ibu berkata sambil meletakkan teh hangat di meja dekat rak buku.

"Ya bu." ujarku lalu menyusupkan kembali buku yang barusan kuambil dari deretan rak buku.

Aku tiba di salah satu kamar yang pintunya sudah dari tadi terbuka.

"Masih sama." celetukku.

"Ibu kadang tidur di kamarmu." ujar Ibusambil meletakkan handuk dan sarung untukku di atas kasur dipan.

"MakasihBu." Aku menghela napas dan merebahkan diri di kasur yang tak begitu besar.

Kamar ku sangat sederhana ukurannya pun tak begitu besar sekitar 3 x 3 meter. Tak ada televisi. Hanya ada rak buku, meja belajar dan lemari baju dari kayu jati. Ada beberapa fotoku dan sebuah lukisan bernuansa alam. Hanya itu,sangat sederhana namun bisa membuatku betah. Kamarku terdapat jendela yang menghadap ke kebun dekat rumahku. Setelah merasa cukup bernostalgia dengan suasana dan isi kamar aku begegas menuju kamar mandi.

Selesai mandi aku kembali menuju ruang tengah, menyalakan televisi, dan duduk di karpet bawah yang sengaja dihantarkan ibu di situ.Kunikmati pisang goreng hangat dan teh bikinan ibu sambil membolak-balik beberapa buku. Hmmm.. rasanya nikmat sekali.

“Ayo makan dulu. Nanti keburu dingin” Ibu berkata sambil menata mukena untuk sholat asyar.

Aku menuju meja makan,kulihat makanan sudah tersedia. Telor dadar kesukaanku dipadukan dengan dadar jagung hangat dan sayur bayam bening ditambah sambal tomat.  Aromanya sangat menggiurkan. Ibu tidak pernah lupa dengan makanan kesukaanku.

"Makan yang banyak. Badanmu agak kurus gitu." kata ibu setelah selesai sholat.

"Bu, gimana kabar Bu dhe?" tanyaku setelah selesai makan.

"Alhamdulillah, beliau sehat-sehat saja, mampirlah ke rumahnya nanti."

Bu dhe adalah tetangga dekatku. Selisih satu rumah sebelah kanan rumahku. Beliau hidup sendirian dan sudah kami anggap seperti saudara sendiri, sering menemani ibu dan tidak jarang tidur di rumah ini. Dulu dia juga yang mengajariku mengaji bersama anak-anak di kampung ini. Bu dhe orangnya sangat ramah dan baik sekali. Aku kangen mendengar suara merdunya yang membuat hati damai saat mengaji.

Lepas maghrib aku duduk di teras rumah, menikmati alunan suara mengaji yang terdengar dari speaker masjid yang tidak jauh dari rumahku. Suaranya lembut mengalun seirama dengan angin malam yang sepoi-sepoi. Bulan yang bulat sempurna menambah penerang jalan menjadikan gang depan rumahku lebih benderang, Bintang pun bertaburan di atas sana. Begitu cantik langit malam ini membuat hatiku semakin sejuk.

Aku berjalan menyusuri gang kecil depan rumahku setelah selesai salat isya di masjid, banyak orang yang tersenyum menyapa dan menanyakan kabarku. Tak sedikit pula yang mengajakku berbincang tentang kehidupanku di kampus. Aku tiba di rumah Bu dhe. Ku lihat seorang wanita yang sedang membaca Al Quran di sana. Aku hampiri diam-diam dan mendengarkan alunan suaranya. Dari dulu hingga sekarang suaranya selalu membuatku tersentuh. Aku menunggu, duduk di bangku bawah pohon jambu di teras rumahnya . Setelah ia selesai membaca al-quran aku baru mengucap salam.

"Assalamualaikum." salamku sambil menyalaminya.

"Waalaikumsalam. Kapan datang?" tanyanya dengan penuh semangat.

"Tadi sore, Bu dhe." jawabku.

"Oooo. Gimana, sehat?" tanyanya basa-basi. Meskipun sudah lumayan tua tapi budhe masih terlihat cukup sehat. Dia tak pernah mengeluh dan selalu tersenyum ramah.

"Alhamdulillah Budhe." jawabku dibalas anggukan olehnya.

Aku menikmati teh hangat dan tempe goreng yang disuguhkan budhe sambil berbincang-bincang tentang masa lalu dan tentang mimpi-mimpiku yang belum bisa kuraih.

“Saya pamit dulu ya Budhe. Tadi belum sempat ngobrol banyak dengan ibu, makasih banyak teh dan tempe gorengnya.” Aku segera beranjak meninggalkan ruang tamu setelah bersalaman dengannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

keren dan cadas cerpennya. konflik terurai sehat selalu pak Bagus Sasmito

20 Sep
Balas

Terimakasih Bapak...

25 Sep



search

New Post