Perjuangan Laki-laki
Pagi itu Sabtu 24 Februari 2018, udara terasa sangat sejuk merasuki sampai ke relung-relung sendi tubuhku. Suara suling kapal terdengar sayup-sayup dari pelabuhan Martapura Banjarmasin memecahkan keheningan pagi yang dingin, menandakan kapal telah sandar. Kutarik selimut untuk meneruskan tidur selepas menunaikan salat subuh, namun tiba-tiba teriakkan bapakku mengagetkan dan memaksaku bangkit dari tempat tidur. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WITA. Aktifitas keseharian kami sebagai buruh bongkar muat pelabuhan terpanggil dan menyadarkanku untuk segera mempersiapkan diri. Upah yang kami terima, berdasar atas pekerjaan harian yang telah diselesaikan. Kami bukan termasuk kaum gaji, yang menerima gajian setiap bulannya.
Penulis saat ini sebagai Investigator di Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), mencoba mengangkat kisah yang telah terjadi, semoga dapat menjadi pembelajaran, dan untuk menghindari kejadian yang sama pada waktu yang akan datang. . Segala bentuk kekurangan, tentu datangnya dari penulis, dan mohon saran dari pembaca untuk perbaikan. Nama-nama yang penulis tulis, bukan nama yang sebenarnya. Namun alur cerita, diambil dari kejadian yang penulis ambil saat investigasi kecelakaan kerja pada kapal Sumiei di Pelabuhan Martapura, Banjarmasin.
Sebut saja namaku Badra, aku adalah anak pertama dan saat ini mengikuti jejak bapak sebagai buruh pelabuhan. Usiaku hampir dua puluh enam tahun pada Juni nanti, aku rencana menikahi Nia kekasihku yang anak guru ngajiku di kampung, setelah lebaran haji nanti. Sedangkan bapakku biasa disapa Bang Jay, telah dipercaya sebagai mandor buruh pelabuhan lebih dari sepuluh tahun. Beliau terlihat sangat gagah, menginspirasiku untuk dapat menjadi seperti dirinya. Pagi itu kulihat bapakku berdiri tegak lengkap dengan pakaian kerja, helm, dan sarung tangan yang terselip di saku celananya serta handuk kecil melilit dilehernya. Ibuku selalu menyediakan secangkir kopi panas dan sepiring goreng pisang untuknya, lalu akupun segera menghampiri jatah sarapan pagi sambil mempersiapkan kelengkapan pakaian kerja, kemudian kamipun bersiap-siap untuk menuju ke kapal.
Kami bergegas menuju pelabuhan, kubonceng bapakku, kupacu tali gas sepeda motor kesayanganku dan kamipun tiba sekitar pukul 07.50. Security pelabuhan telah begitu akrab dengan bapakku, ucapan selamat pagi cukup membuat pintu pelabuhan terbuka bagi kami. Begitu nampak bapakku, segera teman-teman berdatangan menghampirinya. Agen dari pemilik muatan dan perwakilan dari PT Pelabuhan Indonesia yang biasa disingkat Pelindo pun hadir. Kamipun segera mendiskusikan tentang rencana yang akan dilaksanakan.
Penambahan muatan kapal barang MV Sumiei, dengan muatan biji kelapa sawit sebanyak kurang lebih lima ratus ton, akan kami lakukan. Itulah hal utama yang aku dengar dari percakapan bapakku, kamipun segera menyesuaikan diri berada di samping kapal yang telah sandar sejak dini hari tadi. Bapakku telah sepakat dengan timnya untuk malaksanakan kegiatan memuat biji kapala sawit, jam telah menunjukkan pukul 08.00, sesuai perjanjian dan pembicaraan tadi harusnya kegiatan telah dimulai.
Sumiei terlihat begitu anggun, sandar lambung kiri di Pelabuhan Martapura dengan membawa muatan biji kelapa sawit dari Pelabuhan Tanah Merah Grogot Kalimantan Timur, rencananya akan membawa muatan tersebut ke Jambi, Sumatera Tengah. Kapal ini berangkat dari Tanah Merah pada 15 Februari 2018 yang tiba di luar Pelabuhan Martapura pada 17 Februari 2018, setibanya di ambang luar pelabuhan, kapal berlabuh jangkar menunggu perintah untuk sandar di Pelabuhan. Pada 24 Februari 2018 sekitar pukul 02.00 WITA, Sumiei komplit sandar di pelabuhan. Muatan biji kelapa sawit yang dalam bahasa inggris disebut palm kernel oil, disimpan dalam ruang muatan yang disebut palka kapal. Palka tersebut tertutup rapat dan juga dilapisi dengan terpal plastik, agar tidak kemasukan air saat kapal sedang berlayar serta untuk menghindari masuknya air hujan.
Sumiei termasuk kapal barang berukuran sedang yang terbuat dari baja, dibangun di Jepang pada tahun 1987. Sumiei memiliki panjang keseluruhan 84,43 meter, lebar 14,5 meter, berat kotor 2.003 ton, berat bersih 1.388 ton. Didatangkan ke Indonesia pada sekitar tahun 2003, dilengkapi dengan dua ruang muat yang lajim disebut palka, pada setiap palka dilengkapi dengan alat bongkar muat sendiri yang biasa disebut crane, yang digunakan untuk mengangkat muatan dari atau ke kapal.
Tepat pukul 08.00, terlihat Kapten kapal keluar dari akomodasi dan berdiri gagah menuruni tangga kapal menuju ke dermaga. Pada saat yang sama, perwira jaga ditemani oleh mandor kapal, dan awak lainnya nampak sibuk membuka tali crane untuk memulai pemuatan. Bang Jay, selamat pagi. Itu sapa Kapten kapal kepada bapakku, yang disambutnya dengan jabat tangan kencang menandakan bahwa mereka sudah saling kenal diantara keduanya. Merekapun tampak asyik bercerita tentang perjalanan, termasuk informasi kegiatan yang akan dikerjakan sambil berdiri di samping kapal, sambil sesekali mengawasi keadaan sekeliling. Kamipun tak sabar untuk segera memulai kegiatan, tetap menunggu berkerumun di samping Sumiei.
Tiga puluh menit telah berlalu, namun crane kapal masih nampak terlentang dan belum bergerak dari kedudukannya. Aku, Joni yang merupakan teman akrabku saat di Sekolah Menengah Pertama, Septo kawan sepermainanku di kampung juga teman saat Sekolah Dasar, Jamal yang merupakan anak pamanku, juga teman-teman yang lainnya dengan sabar menunggu sambil duduk-duduk di dermaga. Namun dikarenakan sinar matahari mulai terasa menyengat, maka kamipun bergeser ke halaman gudang pelabuhan untuk berteduh, sambil bercerita tentang masa-masa sekolah dulu. Hai Badra, kapan kau menikahi Nia? Tanya Joni, insyaa Allah setelah lebaran haji, jawabku. Kau kapan? Tanyaku, ya nanti menyusul... jawabnya singkat sambil tersenyum.
Sinar matahari terasa mulai terik, tiba-tiba terdengar pekikkan Septo; Bang Jay jam berapa ini? Dengan mantaf bapakku berteriak, ‘setengah sebelas’ sambil memperlihatkan jam di tangannya. Kamipun bertanya-tanya apa gerangan yang membuat pemuatan blom dimulai, padahal mobil truk yang membawa biji kelapa sawit dalam karungpun telah berbaris disamping kapal. Dor (panggilan untuk mandor), tanyain coba kenapa? Teriak Mang Engkim yang merupakan buruh rantau dari tanah Jawa dan paling senior pada grup kami. Pak Kapten, minta tolong apakah sudah bisa dimulai? Pinta bapakku lirih. Akhirnya Kapten kapal menuju ke kapalnya dan sekitar sepuluh menit kemudian mengatakan permintaan maaf, kegiatan belum bisa dimulai karena ada perbaikan pada kedua crane kapal. Uuuuuh, suara gemuruh dari teman-temanku.
Terdengar suara adzan dari musholla pelabuhan, menunjukkan telah masuknya waktu dzuhur. Teman-temanku satu persatu meninggalkan kerumunan, ada yang menuju musholla, ada juga yang asyik membuka bungkusan bekal makan siang yang dibawanya dari rumah, dan tidak sedikit pula yang masih bercengkrama di kedai kopi. Aku dan Joni mendahulukan ke mushola, sebelum menyantap bekal makan siang yang dicantolkan di motor oleh ibuku.
Tak terasa hari semakin terik, berangsur-angsur udara mulai terasa hangat terbawa angin laut. Rupanya adzan kedua pun berkumandang, menandakan waktu ashar telah tiba. Aku terperanjat kaget, rupanya telah tertidur dipelataran mushola selepas makan siang. Kamipun bergegas ambil air wudhu dan bergabung untuk melaksanakan sholat ashar secara berjamah. Sekitar lima belas menit kemudian, tiba-tiba Joni menghampiriku sambil menyodorkan secangkir teh hangat, waaah tumben nih. Sahutku, jangan dihabiskan, teriak Septo yang telah menunggu giliran untuk minum teh. Kamipun saling berbagi, minum teh segelas bertiga sambil dibarengi dengan rebus singkong yang dibawa Septo. Udara mulai terasa dingin, dibarengi hebusan angin pantai. Rupanya rintik-rintik hujanpun membasahi dermaga, sepertinya menghangatkan persahabatan kami, dan kamipun tidak pernah tahu sampai kapan kami akan bekerja dan tertawa bersama.
Bapakku mulai nampak kebingungan, karena semua anak buahnya telah mendapatkan uang makan harian namun pekerjaan belum dapat dimulai. Senyumnya mulai pudar, pandangan matanya sesekali kosong. Letihmya menghadapi terik panas matahari dan keluhan anak buah, jelas tersirat dari kerutan-keritan dahinya. Walaupun demikian, bapakku terkenal bijaksana. Sehingga seluruh anak buahnya, mengikuti apapun yang diperintahkan. Sayup-sayup kumandang adzan maghrib terdengar, membubarkan kerumunan.
Di sudut yang lain, terlihat pak Warso yang agen kapal, pak Candra mewakili pemilik muatan, dan Kapten kapal serta mandor berbincang serius. Bagaimana ini, teriak Bang Jay mengusir keheningan. Wah maaf, crane kapal tidak dapat diperbaiki, sahut Kapten. Jadi, mereka saling berpandangan. Tiba-tiba Pak Warso mendesak Pak Candra, pinjam crane pelabuhan saja katanya sambil memastikan bahwa semua buruh masih menunggu. Pada akhirnya Pak Candra langsung menghubungi PT Pelindo, untuk menggunakan crane darat milik Pelindo.
Sekitar satu jam kemudian, terdengar suara gemuruh mesin crane dari arah kantor pelabuhan, merapat ke samping Sumiei. Horeeee, teriak Mandor. Ayo ayo ayo, teriaknya menyemangati anak buah yang dari tadi mengerumuninya. Sabar, sabar, sabar, tunggu 3 jam lagi yah pinta Kapten kapal kepada seluruh buruh. Tenang Kapt, sahut Mandor, kami sudah biasa memuat dan membongkar muatan ini. Huuuuuh, suara gemuruh dari anak buah mandor, mengusir dingin malam yang mulai merambat. Kesepakatanpun tercapai, kegiatan memuat harus tetap dilaksanakan malam itu juga. Terlanjur basah kapten, tiba-tiba kalimat itu terucap dari mulut Mandor.
Terpal plastik penutup palka nampak tersingkap, namun dikarenakan hujan rintik-rintik terjadi sesekali, sehingga tidak semua terpal dibuka. Mandor bergegas mendekati mulut palka kapal, ponton penutup palka mulai diangkat menggunakan crane dari Pelindo, diletakkan disamping Sumiei. Yeeeeey teriakan buruh, ponton keduapun diangkatnya serta ditumpuk pada ponton pertama. Mobil truk yang mengangkut biji kelapa sawit dalam karung pun segera merapat, mendekati crane pelabuhan.
Angkatan pertama, puluham karung putih dalam rajutan nampak melayang dari bak mobil truk menuju ke mulut palka kapal yang telah terbuka. Dengan penuh semangat, Mandor bergegas menuruni tali crane yang terjuntai, memasuki palka kapal. Maksudnya adalah untuk membuka tali ikatan karung yang berisi biji kelapa sawit, agar bercampur dengan yang telah berada dalam palka. Namun tiba-tiba pandangan kami yang menyaksikan dari mulut palka berubah, hanya beberapa detik berlalu, tubuh mandor tergeletak lunglai. Kakinya seolah tidak sanggup menahan berat tubuhnya, tersungkur di tumpukan biji kelapa sawit. Suasana hening ketika itu, bapak, bapak, bapak... teriak Badra memanggil. Namun tidak ada jawaban.
Kenapa itu Mang Engkim, tanyaku tidak mengerti. Hati-hati nak, jawabnya. Sebagai anak, kau harus tolong bapakmu, kata Mang Engkim, tanpa fikir panjang, kuturuni tali rajutan dan kudekati bapakku. Hai Badra, Badra, Badra... mang Engkim teriak sekuatnya, namun tidak ada jawaban. Tubuh Badra tergeletak dekat tubuh bapaknya. Pilu, hening, bingung, dan sunyi. Tiba-tiba terdengar teriak Septo: panggil mantri kesehatan pelabuhan, pintanya kepada buruh yang ada di dermaga.
Joni yang sedari tadi mengawasi kejadian, tanpa diperintah, langsung menuruni tali crane dan mendekati Badra. Joni, Joni, Joni... teriak Septo, nasibnya sama dengan Mandor dan Badra. Dia tampak lunglai, tubuhnya ambruk diantara tumpukan karung biji kelapa sawit. Tak berselang dari sepuluh menit, sepeda motor yang membonceng pak Hendri mantri pelabuhan datang. Dengan membawa tas perlengkapan kesehatan, pak Hendri tampak begitu berwibawa menaiki tangga dari dermaga menuju ke kapal. Setibanya di mulut palka, dia melihat tiga orang telah tergeletak di dalam palka.
Tolong bantu saya, pinta pak Hendri. Dengan lantang Septo menghampirinya, siap saya Pak jawabnya. Dengan susah payah, pak Hendri ditemani Septo menuruni tali crane mencoba mendekati ketiga tubuh yang tergeletak. Namun apadaya, mereka berduapun terlihat lunglai. Tubuhnya roboh hanya beberapa detik saat berada di dalam palka. Stop, stop, stop, jangan ada yang turun lagi, teriak Kapten yang dari tadi ikut mengawasi dari dermaga.
Ikuti perintah saya, jangan ada yang turun ke dalam palka! Pinta Kapten dengan sangat lantang, semua buruh dan awak kapalpun terdiam. Malam itu tiba-tiba hening, buka semua ponton penutup palka! Teriak Kapten, dan di bukalah semua terpal serta penutup palka oleh perwira kapal. Biarkan udara bebas, terlepas dari dalam palka. Pintanya sambil sesekali melihat tubuh kelima orang di dalam palka.
Sekitar satu jam kemudian, dengan membawa handuk basah, Mang Engkim mendekati Kapten kapal. Izinkan saya turun Kapten, kau yakin Mang! Yakin Kapten, saya ikat handuk basah dijadikan masker, tolong lihat saya dan ikuti perintah, pinta Kapten. Kita harus angkat sesegera mungkin kelima tubuh dari dalam palka, kau panggil ambulance dan lapor security, pinta Kapten kepada perwira kapal bagian dek yang biasa disebit Mualim. Tunggu sampai ambulance datang, pinta Kapten. Siap Kapten, jawab Mang Engkim.
Raungan serine ambulance pelabuhan memecah kesunyian, tidak lama kemudian ambulance dari unsur keamanan dan rumah sakitpun berdatangan mendekati dermaga. Tanpa dikomando, kerumunan orang langsung memenuhi dermaga. Tenang, tenang, tenang, ... jangan ada yang naik ke kapal, pinta Kapten. Ikuti perintah saya, crane siapkan rajut untuk mengangkat tubuh lima orang, pintanya lagi.
Mang Engkim, kamu jangan sendirian, segera siapkan alat bantu pernafasan, turunkan tangga pinta Kapten. Mualim jaga berteriak, siap Kapten, saya bantu Mang Engkim dengan menggunakan alat bantu pernafasan(breathing apparatus). Dengan disaksikan seluruh buruh dan awak kapal, kedua orang tersebut secara perlahan menuruni anak tangga. Bismillah seru Mang Engkim, Allahu Akbar... sahut buruh yang lain. Operator crane sigap mengangkat rajutan, meletakkannya dekat dengan kelima tubuh yang tergeletak. Dengan hati-hati dan seksama, kelima tubuh diangkat oleh Mualim kapal bersama Mang Engkim, dan diletakkan dalam rajutan yang selanjutnya segera diangkat dari dalam palka menuju ke dermaga.
Sesaat kemudian, Mualim kapal yang menggunakan alat bantu pernafasan dan Mang Engkim nampak menaiki anak tangga, keluar dari dalam palka. Satu persatu tubuh kelima orang tadi dipindahkan ke dalam ambulance, kaku, pucat, dan tidak lagi ada respon dari kelimanya. Tangis histeris terdengar pecah dari pojok dermaga, Bu Sinta tenang Bu, pinta pak Chandra kepada istri Mandor yang juga merupakan ibunya Badra. Mobil ambulance satu demi satu meninggalkan dermaga, dengan tujuan ke rumah sakit Doktor Soeharsono dan Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, itu kalimat yang terucap dari petugas medis saat menerima kelima tubuh tersebut, kelimanya dinyatakan telah meninggal dunia.
Atas kejadian tersebut diatas, penulis yang kebetulan terlibat dalam pengumpulan data serta analisa kecelakaan tersebut, mendatangi lokasi kejadian, berkoordinasi dengan berbagai unsur baik akademisi maupun instansi pemerintahan dan swasta, untuk memgungkap penyebab utama kecelakaan dimaksud. Sampel biji kelapa sawit didatangkan dari Pelindo Banjarmasin, dilaksanakan pengujian pada temperatur ruangan, yang disesuaikan pada kejadian tersebut di Labolatorium Kimia Institut Teknologi Bandung.
Hasil analisa kami dapatkan bahwa, biji kelapa sawit (palm kernel oil) telah mengalami kondisi an aerob. Kandungan oksigen didalam palka yang tertutup, telah dihisap oleh palm kernel oil yang mengakibatkan turunnya kadar minimal kebutuhan oksigen sampai dengan dibawah 6%, padahal kebutuhan normal oksigen untuk manusia saat bernafas adalah 19 sampai 20%. Disamping itu, gas monooksida dimungkinkan keluar dari palm kernel oil selama berada di dalam palka. Sifat gas ini tidak berbau dan tidak berwarna. Sehingga mereka dimungkinkan menghisap gas monooksida dan kekurangan oksigen, saat tiba di dalam palka.
Semoga kejadian tersebut menjadi pembelajaran untuk kita semuanya, walaupun harus kita tebus secara pahit atas meninggalnya kelima orang diatas. Jangan sampai kejadian ini terulang kembali di Negara Kesatuan Republik Indonesia, semoga arwah mereka tenang disisi Allah Subhanahu wa taala, dan mendapatkan surga-Nya aamiin.
Tulisan ini ditulis saat penulis menjalani masa karantina di Jakarta dan Luwuk Sulawesi Tengah, ketika akan bergabung di kapal Baruna Jaya IV untuk lanjutan pencarian hilang kontaknya MV Nur Allya di Laut Halmahera, Maluku Utara.
Luwuk, 14 Agustus 2020
Bambang Irawan
Salam literasi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus Pak, ceritanya.. Serasa berada ikut di pelabuhan. Saran saya sama seperti Bu Siti, postingan dibuat bersambung agar lebih keren dan bikin penasaran pembaca. Semangat.
Tulisan yang keren Pak. Saran, seharusnya dibuat bersambung, agar tidak terlalu panjang. Sukses selalu dan barakallahu fiik
Luar biasa Pak. Sarannya sama, dibuat bersambung biar pembaca termotivasi membaca kelanjutannya. Semangat
TUlisan yang menarik Pak Bambang. Semangat berliterasi, sukses selalu.
Ooooh begitu ya Bu, terima kasih atas sarannya. Biasa baru memulai, hahaha. Maksudnya bersambung tuh, gak pake aleniakah?
Terima kasih Pak Edi atas commentnya, smoga bisa memperbaiki tulisan kedepannya dan semangat terus.