Bambang Winaryadi

Lahir di Tanjung Redeb, 16 Desember, saat ini sebagai Tenaga Pengajar di MAN Berau dan Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Tanjung Redeb. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
ENDING PENGORBANAN DIJALAN ALLAH (Hikmah Idhul 'Adha)

ENDING PENGORBANAN DIJALAN ALLAH (Hikmah Idhul 'Adha)

Pengorbanan merupakan bagian mendasar dalam rangka pembentukan karakter masyarakat dan bangsa yang beradab. Seorang pemimpin sejatinya lebih bersemangat dan kuat untuk "berkorban" bagi mereka yang berada dilingkungannya daripada mengedapankan ke-aku-annya disebabkan semata memikirkan kepentingan diri sendiri.

Untuk kemaslahatan kita, pemimpin rela mengorbankan egonya jika diperlukan. Demikian halnya dengan negarawan, "menempatkan akunya dalam ke kitaan". Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw, sebagai sosok pemimpin yang datang dari kita ”min anfusikum”, penuh perhatian pada kita ”azizun ’alaihi ma ’anittum”, selalu konsen kepada kepentingan kita ”harishun ’alaikum”, dan secara adil/proporsional memberi kasih sayangnya kepada semua ”bil mukminina raufurrahim”.

Namun apa yang kita saksikan dewasa ini. "Jiwa pengorbanan" telah bergeser oleh semangat atau nafsu mengorbankan orang lain. Dan kadang terjadilah "perang terbuka"... hal ini tentu membuat kita prihatin dan bahkan bingung. Kasus besar yang di-blow up, menggelinding makin ruwet bagai gulungan benang kusut. Analisis secara yuridis dan sosiologis tidak mampu membawa peta masalah makin terang benderang.

Hanya satu pisau analisis yang mampu memosisikan dan memahami masalah yang ada secara mendasar dan tepat. Yaitu analisis mental dan moral manusia. Secara mental ada kerusakan yang serius, yaitu hilangnya kejujuran ”al shidqu”, dan diputusnya ketertautan antara apa yang diperbuat di dunia ini dengan kesadaran terhadap negeri akhirat. Dengan absennya kejujuran maka yang menggantikannya adalah kedustaan ”al kadzibu”. Bermula dari "egoisme personal" kemudian berkembang menjadi "egoisme publik" bahkan bisa merambah jadi "kelemahan institusional". Kalau sudah begitu, tidak ada lagi orang yang mau mengakui kesalahan malah justeru menyalahkan pihak lain, dan ujung-ujungnya mengorbankan pihak lain demi membela egoisme personal atau egoisme lembaga. Pada alur ini cara-cara rekayasa, penjebakan, pengerdilan dan boleh jadi kriminalisasi menjadi pilihan yang dijalani.

Egoisme bermula dari ketidak pedulian terhadap sesama, kemudian demi untuk memenangkan diri atau paling banter kolega chemistrinya maka orang menjadi tidak ragu untuk melakukan perbuatan yang dapat merugikan/menzhalimi orang lain.

Contoh Egoisme yang parah, akan sanggup melupakan jasa seorang isteri yang berbilang tahun telah memberikan kesetiaannya secara ikhlas, begitu pun sebaliknya. Prahaha rumah tangga hanya buah dari keakuan yang diperturutkan oleh seorang suami atau isteri.

Gara-gara egoisme sektoral maka sinergi antar lembaga sosial atau pemerintah akan berantakan, perundingan akan dead lock, yang menjadi konsen masing-masing pihak adalah mencari titik lemah dan melemahkan pihak yang lain.

Egoisme personal atau sektoral jika dikembangkan akan mengemuka dalam empat sikap yang destruktif, sebagaimana disebutkan dalam Atsar Umar bin Khatthab. Yaitu:

1. syukhkhun mutha’un sikap pelit yang menggerus rasa empati terhadap sesama;

2. ”hawan muttaba’un yakni hawa nafsu selera rendah yang diikuti sehingga makin jauh dari idealisme bahkan kewajaran sekalipun;

3. dunyan mu’tsaratunyaitu kepentingan duniawi yang terus dikejar.

4. i’jabu dzirra’yi bira’yihiyaitu kepongahan orang dalam mempertahankan / membela pendapatnya sendiri.

Faktor-faktor itu oleh sahabat Umar disebut ”al muhlikat” yakni faktor-faktor penghancur dalam kehidupan masyarakat. Kalau satu dari empat penyakit mental dan moral tersebut sudah merusak, bagaimana jika keempat-empatnya sekaligus telah menimpa kalangan masyarakat kita. Di bawah selimut awan pekat egoisme dan pelbagai bentuk rekayasa dan pesimisme, maka di tengah-tengah masyarakat akan terlontar tanda tanya: masih adakah harapan akan sebuah masa depan yang lebih baik?

Semoga Idhul 'Adha 1441 H / 2020 M menjadi sarana introspeksi diri sehingga mampu menekan egoisme personal dan egoisme lembaga bagi kepentingan umat.

Seseorang menjadi besar karena berjiwa besar. Tidak ada jiwa besar tanpa jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal mujahadah/spirit berbagi, berkorban dan berjuang, ummat ini telah menjadi ummat yang besar, bergensi dan disegani dunia dalam sejarahnya. Mari kita kembalikan kebesaran serta gensi ummat ini dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan mujahadah pada diri dan keluarga kita.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa... Betul sekali Pak. Perselisihan pun timbul akibat egoisme yang tinggi.Salam kenal dan salam literasi. Mohon Maaf lahir dan batin.

30 Jul
Balas

Luar biasa mantab tulisannya Pak. Mengajarkan kepada kita hikmah agar berkarakter yang mulia.

04 Aug
Balas

Terimakasih bunda... Saya juga mengucapkan : Mohon maaf lahir dan bathin

30 Jul
Balas

terima kasih pa @edi sutopo

09 Aug
Balas



search

New Post