Edan Eling
Maaf cintaku, aku tinggalkan dikau lagi di akhir pekan ini. Bukan aku tak ingin bersamamu menghabiskan bekal nasi goreng khas buatanmu, walau hanya nasi dan telur saja. Kita bayangkan menikmatinya ditepi Cisadane.
Dikau telah kupinang meski dengan bermodal dengkul dan kegetiran hidupku. Hingga saat ini dikau masih setia menemani langkahku. Tidak tahu kenapa, akhir-akhir ini aku gelisah. Bagaimana tidak teman-temanku yang berasal dari jurusan yang sama satu persatu berpisah dengan keilmuannya. Lihatlah betapa mereka mengejar materi hingga memalingkan dari sejarah yang seharusnya mereka kemas. Mereka mulai lelah dengan penerimaan masyarakatnya. Mungkin aku juga kelak begitu.
Lingkungan kerjaku juga demikian, mereka tidak ubahnya seakan tahu hanya untuk tahu dan bahkan tahu seolah tahu. Padahal untuk menulis sejarah perlu metode yang menjelimet. Disini aku juga paham, memang orang-orang sekarang lebih suka yang pendek-pendek saja, suka yang bergambar saja. Aku mungkin sudah saatnya banting kemudi. Tidak perlu rasanya menulis lagi dengan aturan keilmiahan yang selalu aku gaung-gaungkan dulu padamu saat kita berjuang mengejar ijazah.
Aku putuskan sekarang untuk menyajikan karyaku yang penuh makna kesejarahan tapi ingin tetap mengasyikan. Entah sebagai buku cerita ataupun buku bergambar. Atau setidaknya hari ini kubawakan dikau sekotak nasi yang akan kita nikmati di tepian Cisadane. Tidak perlu kita bicarakan yang berat-berat semacam ini. Kita anggap saja ini hanya episode yang diciptakan untuk kita lakoni, bangun pagi untuk kerja pulang sore untuk dikau.
Tetapi terkadang akal berontakku muncul. Ingin rasanya aku meneriakkan dalam tulisanku kelak segala opiniku, segala keresahanku, segala persepsiku dan yang terpenting segala keedan-elinganku. Persetan apa kata orang yang saya tahu saya menulis itu saja. Entah kelak jika sudah berbaris kata pendek dan bergambar tetap tidak laku dibaca mungkin akan kubuat kumpulan gambar tanpa teks. Mungkin itu akan menjadi bahan bacaan tuan semua. Atau jika perlu kucetak bertebal-tebal lembaran karya yang isinya hanya kertas-kertas kosong. Jika itu memang yang bisa membuat tuan-tuan semua senang.
Istriku, jangan mengharapkan bumbu-bumbu di dapur itu akan terbeli oleh hasil ocehanku. Aku hanya bisa jamin aku cintai dikau meski kelak aku kirimkan surat cintaku dari balik keremangan sudut peradaban karena loncatan kata-kataku telah menelanjangi keanehan disekitarku. Aku kadang selalu geram mengapa orang bisa dengan mudah mendapatkan uang. Ah iya aku lupa, aku tidak butuh uang untuk membahagiakanmu. Aku selalu ingat apa katamu dimalam pengantun itu. “Sayang tak harus kau kasih uang itu jika nanti mengurangi rasa cintamu, cintamu yang kau kasih juga tidak harus besar, yang aku butuhkan kecil tetapi terus-menerus”. Rasanya aku ingin meberikan yang terus menerus dan besar. Apalah daya, maafkan aku cantik.
Istriku akhirnya aku katakan padamu aku sayang dikau, pakai banget. Tapi dikau harus rela berbagi dengan cintaku yaing lain. ia anak didikku, ia semua hobiku, menulis, membaca, menjelajah. Terutama cintaku akan sejarah. Hal itu berbeda tapi aku yakin dikau adalah aku. Jadi tidak perlu cinta-cintaan lagi. Karena hakikatnya kita kan sama. Sudah dulu isirahatlah pikiranmu biarkan aku mengoceh sendiri denganku, Dan kelak aku dapati tetap ada dikau yang selalu menyertai keedan elinganku.
Pernahkah dikau ingat saat dengan gelak tawa kuceritakan padamu betapa susahnya aku mendapat kata sepakat atas apa yang telah aku tulis. Kadang aku ingin menulis saja tanpa pasang kuping, tapi aku harus dengar. Kadang aku ingin menulis dengan menutup mata, karena semua kata sudah sejak lama ada dikepala busukku ini. Tapi aku pada akhirnya terpaksa membuka mata juga, atau tepatnya dipaksa untuk mataku yang titipan ini melihat kenyataan. Aroma tinta dari tulisanku kurasa wangi saja entah ini wangi apa, tapi akhirnya kau sadarkan aku aroma tintaku berbau busuk, “kapan dikau eling sayang ?”, katamu. Aku jawab nanti juga eling kan edan eling. Lalu kau bertanya lagi “kenapa harus edan eling ?” daripada edan saja. Kau pukul aku dengan cintamu hangat.
Keedananku, karena aku mengharapkannya begitupun ke-elinganku, jangan salahkan dirimu ya. dikau ya dikau, Aku ya aku, Tapi sekarang telah menjadi kita, ya harusnya tetap menjadi kita. Ini ikatan sederhana yang rumit. Dimana saat ini aku hanya duduk malas memijit-mijit tombol keyboard, setidaknya tinta dari tulisanku tidak akan berbau busuk lagi. Edan ku tetap akan menjadi edan dan elingku akan selalu datang saat edanku hadir.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar