Sepotong Senja dari Pantai Panjang yang Perawan
Andai ada musim semi di Indonesia maka akan ada bunga yang bermekaran di bulan Mei. Ketika itu 2014 merupakan tahun politik, bukan bunga yang bermekran, tetapi situasi politik. Loh kok ke politik, pokoknya di tengah pemansan suhu tahun politik kala itu saya sibuk-sibuknya sebaagai mahasiswa. Adalah Perkemahan Wirakarya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang disingkat PWPTAIN di Bengkulu. Sebuah kegiatan perkemahan bakti kepada masyarakat yang dilaksankan para Pramuka dari seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) se-Indonesia baik dati STAIN, IAIN maupun UIN. Inilah kegiatan yang membuat adem situasi politik di 2014. Tidak pandang asal-usul kami bergotong royong di pelosok-pelosok desa Bengkulu. Rasanya ingin kembali kesana.
Kegiatan utama pada waktu itu adalah gotong royong di tengah-tengah masyarakat. Ada hal yang menarik yang akan saya tuliskan disini, bukan tentang kegiatan bakti masyarakatnya. Saat itu kita baru selesai membersihkan gorong-gorong jalan desa dan saya mendapatkan kabar dari masyarakat bahwa ada pantai yang sangat indah di pesisir kampung. kontan saja saya ajak teman satu homestay (rumah singgah) Bli Amak Kesek dari Lombok dan Abang Mail dari Palu untuk mengunjungi pantai yang jaraknya dekat, sekedar melepas penat. Kami setuju dan berencana untuk berkunjung.
Ingin sekali rasanya langsung berangkat saja, Abang Mail yang paling bijak dari kami berpendapat untuk izin terlebih dahulu kepada panitia. "Ah, kita cuma main sebentar saja" kataku. singkat saja akhirnya kita sepakat untuk menelpon dan akhirnya ditolak. mereka terlalu sayang dengan kami, mereka takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Bukan Amak Kesek namanya apabila ia menyerah, Ia sudah berat sekali menahan rindu kepada kampung halamannya di Lombok. Ia rindu aroma asin dari pantai. Ia nekat pinjam saja motor punya bapak RT tempat kita menginap, Pak Nurdin. Aku hanya berusha terus menerus menelpon berusaha meyakinkan dari lemah lembut hingga keluar urat leher. Bukan kepalang paniknya Abang Mail saat itu, dia takut kita akan dapat masalah. Mukanya seperti kepiting rebus, akibat menahan amarah. Dia walau seram dan tegas tapo berhati lembut, jangankan marah sura tinggi saja dia tidak akan mampu. Sebuah paradok memeng.
Motor sudah ada saya dan amak kesek sudah siap berangkat, Sebuah motor kelahiran 2002 telah dipanaskan. Kami berdua, saya dan amak kesek sudah nangkring saja diatas bebek besi ini. kami berat rasanya meninggalkan abang dari Palu ini, betapa dia jarang sekali melihat pantai. detik-detik akhir dia melompat keatas bebek besi ini, dia justru ambil alih kemudi. "Kalian tidak akan bisa membawa bebek ini tanpa aku" katanya sambil oper gigi dan tancap gas. Wuih, jalannya mantap sekali. batunya jalannya masih luar biasa kaya raya, cocok untuk pondasi rumah. aspal jalannya saja seperti gurun sahara. kami membayang andai ini musim penghujan pastilah ini akan menjadi medan lumpur hidup.
Tidak ada waktu untuk menyesali, kami hirup aroma garam. "amboi, ini masih perawan bli" ucak amak kesek "Kenapa tidak kau nikahi saja ini pantai" kataku. Bang Mail hanya mesem-mesem saja, terperangah dia melihat bahwa inilah pantai. Tidak ambil waktu lama, waktu juga sudah menjelang seja matahari hendak terbenam. Ah segera saja kita abadikan sepotong senja ini dengan ber-swapoto. Klik, inilah sepotong seja dari perawannya Bengkulu. Pantainya masih banyak alang-alang, pasirnya basah terkena buih pantai, sepanjang mata memandang tidak ada karang didalamya. Kami cengar-cengir saja melihat tingkah kita, "Dasar tiga serangkai berkepala batu" Bang Mail menanggapi hasil jepretan itu.
Tidak ingin kemagriban di jalan, kami segera saja pulang. sejauh ini tidak ada kendala. sampai pada akhirnya kami dipanggil Panitia dan harus menerima hukuman bertugas ronda malam ini. ronda bukan sembarang ronda, kami harus berpatroli di kampung yang rumahnya jarang-jaraang, selebihnya adalah belantara. Pegal gotong royong siang, perjalaan menuju pantai yang luar biasa, malam yang mencekam hilang sudah yang ada adalah rasa bahagia untuk masing-masing orang. Bang Mail akhirnya melihat pantai juga, Amak Kesek terlampiaskan rindunya pada Lombok, Sedangkan aku, aku hanya ingin mengabadikan sepotong senja untuk pacarku ala-ala Seno Gumira Ajidarma. Bedanya aku tidak sempat mengirimkan lewat kartu pos, hanya melalui buku yang memiliki muka alias facebook.
Pantai Perawan itu telah kembali kurindukan lagi aroma garamnya, terlebih senjanya. Keramahan penduduknya, serta tentunya tiga sekawan berkepala batu. Ah, kapan ke Lombok dan Palu. Mungkin kelak bersama mimpi-mimpiku akan kubuatkan lagi sepotong senja yang lain.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar