BANU ATMOKO , S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI KOTA SURABAYA

“ PERMASALAHAN MITRA WARGA DAN JUMLAH ROMBEL DI KOTA SURABAYA “

A. HISTORY

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki keterampilan hidup sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan tersebut, Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Ikhtiar pemerintah dalam pemerataan akses pendidikan melalui berbagai kebijakan seperti wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada dasarnya berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, dimana pendidikan (tingkat partisipasi sekolah) merupakan sesuatu yang urgen, pada masa Orde baru upaya untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan terus dilakukan, pada tahun 1984 dicanangkan Wajar 6 tahun, sepuluh tahun kemudian dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang dimulai sejak tahun 1994, dan belakangan ini wajar dikdas telah menjadi komitmen bangsa dengan payung hukum tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Wajib belajar menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah pusat adalah kebijakan yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi daerah pada umumnya sangat beragam. Sebagai pelaksanaan otonomi daerah, maka pendidikan tidak hanya menjadi urusan pemerintah pusat, akan tetapi pemerintah daerah

juga turut membantu dalam menyelenggarakan pendidikan. Salah satu daerah yang menjalankan wajib belajar adalah pemerintah kota Surabaya. Wajib belajar 12 tahun di kota Surabaya merupakan kewajiban bagi warga kota Surabaya yang telah tamat SMP atau sederajat dengan batas usia 16-18 tahun untuk mengikuti pendidikan sekolah menengah atas atau sederajat sampai tamat. Program ini tertuang dalam peraturan daerah kota Surabaya nomor 6 tahun 2011 tentang penyelenggaraan perlindungan anak. Tujuan pelaksanaan wajib belajar 12 tahun di Surabaya, selain untuk mengurangi anak putus sekolah, juga diharapkan meningkatkan pendidikan anak Surabaya hingga tingkat di kota Surbaya telah dibahas secara rinci pada tahun 2010 sebagai sebuah perhatian kota Surabaya

menjadi barometer pendidikan nasional dan ikhtiar pemkot Surabaya dalam pemerataan akses pendidikan bagi warga Surabaya. Dan pada tahun 2011 telah ditetapkan sebuah peraturan daerah sebagai dasar dalam pelaksanaan kebijakan wajib belajar. Pada tahun 2018 pemerintah kota telah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Murni (APM) dari tahun sebelumnya, APM SD/MI menjadi 95.2 % dibandingkan pada tahun 2017 yang sebesar91.71 %. APM SMP/MTs juga mengalami peningkatan pada tahun 2018 menjadi 95.03 % dibandingkan tahun 2017 yang hanya sebesar86.20 %. Hal tersebut juga sama dengan capaian APM SMA/MA/SMK yang pada tahun 2018 meningkat menjadi 92.55 % dibandingkan tahun 2017 yang sebesar70.74 % ( BPS Tahun 2018 ) Pemerintah kota Surabaya menyelenggarakan kebijakan wajib belajar 12 tahun dengan berbagai program, di antaranya adalah mengadakan program mitra warga, yaitu program penerimaan peserta didik baru dari keluarga miskin dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah, di sekolah swasta maupun negeri, di sekolah nasional maupun di Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) dengan kuota 5% di setiap angkatan. Selain menerima BOS dan BOPDA, peserta didik dari keluarga miskin dalam program mitra warga juga mendapatkan beasiswa gratis mengenyam dan penunjang belajar sekolah serta mendapatkan seragam dan lain sebagainya yang dibiayi sepenuhnya oleh pemerintah kota di sekolah swasta (non-SPK) dan negeri, sedangkan di SPK semua biaya untuk siswa miskin dalam hal ini program mitra warga dianggarkan

oleh pihak sekolah dengan menerapkan subsidi silang sesuai peraturan daerah kota Surabaya nomor 16 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan. Program mitra warga inilah yang dirasa dan dianggap sebagai program prioritas, program utama, program unggulan, dan program khusus yang dijalankan oleh stakeholder pendidikan Surabaya sebagai program pemutus mata rantai paling dasar kemiskinan warga kota Surabaya, apresiasi warga miskin untuk tetap mendapatkan haknya bersekolah dan mengenyam pendidikan. Pemerintah kota Surabaya dalam hal ini adalah dinas pendidikan telah melaksanakan program mitra warga, sebagai pihak eksekutor, dinas pendidikan seyognyanya bekerja sama dengan beberapa pihak dalam sosialisasi, pelaksanaan, koordinasi program mitra warga, agar

berjalan optimal, mengingat sumber daya manusia pelaksana dari dinas pendidikan terbatas.

Dengan adanya program mitra warga, diharapkan masyarakat kurang mampu atau pra sejahtera Surabaya bisa mengakses dan menjangkau pendidikan sampai jenjang pendidikan menengah, sebagai bentuk apresiasi pemerintah kota Surabaya dan bentuk tanggung jawabnya melaksanakan serta memberikan aksesibilitas layanan pendidikan. Selain itu, program mitra warga diharapkan menjadi jawaban atas persoalan sulitnya dan mahalnya pendidikan bagi kelurga kurang mampu atau pra sejahtera serta menghapus angka putus sekolah selama ini yang terjadidi kota Surabaya. Namun fakta empiris yang ditemukan di lapangan sangat berbeda dengan tujuan program mitra warga, yaitu adalah adanya laporan ke Ombudsman Jawa Timur tentang penolakan sekolah untuk menerima siswa dari keluarga miskin Surabaya, serta perbedaan keterangan gambaran umum program mitra warga dari

Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya, Dinas Pendidikan kota Surabaya dan Ombudsman Jawa Timur, selain itu adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada bagian pengelolaan pendidikan menengah dan kejuruan merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi tahun 2017, itu artinya pemerintah kota Surabaya tidak berwenang lagi dalam pengelolaan Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan, sehingga pemerintah kota harus berinisiasi dengan pemerintah provinsi Jawa Timur terkait wajib belajar 12 tahun di Surabaya, khususnya program mitra warga yang sudah berjalan pada tahun 2011. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menguak dan meneliti program mitra warga sebagai implementasi kebijakan wajib belajar 12 tahun untuk dikaji lebih lanjut Distorsi atau perubahan program mitra warga yang dimulai sejak tahun 2011 adalah isi kebijakan. Sesuai dengan pendapat Henry (Grindle, 1980) yang menyatakan bahwa analisis dari sudut hubungan

keterlibatan elit atau massa, untuk menjawab pertanyaan: siapa sebenarnya yang lebih berperan dalam pembuatan kebijakan dan juga perubahan kebijakan, apakah elit kebijakan atau massa. Kemudian dinas pendidikan membuat kebijakan

baru. Kendala eksternal mulai dari penduduk non Surabaya yang ingin mendaftar program mitra warga dan beberapa calon penerima program mitra warga yang mengaku menjadi keluarga tidak mampu untuk memaksa dinas pendidikan memasukkan namanya menjadi program mitra warga dan kendala internal adalah klasifikasi keluarga miskin yang masih menjadi bahan pembahasan dinas pendidikan sebagai ukuran prioritas penerima program mitra warga. Sesuai apa yang dinyatakan Edwards III (1984) yang mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan?. Dinas pendidikan telah melakukan sosialisasi ke tingkat lapisan masyarakat dan bekerja sama dengan lembaga lain. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Van Horn (Grindle, 1980) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang

memungkinkan tujuan kebijakan public direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan stakeholder. Pemerintah kota masih berkeinginan dan

berusaha untuk bisa membiayai warganya yang ada di SMA atau SMK se-Surabaya meskipun adanya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Menurut Hood dan Gunn (1984) untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu, salah satunya adalah The circumtances external to the implementing agency do not impose cripling constraints. Untuk mengatasi kendala tersebut pendidikan menengah dikelola pemerintah provinsi lebih tepat, sesuai dengan amanah UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. Solusi pada implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah kota Surabaya memberikan subsidi kepada warganya yang bersekolah di Surabaya. Sesuai pernyataan Abdul Wahab (2004) bahwa keberhasilan suatu kebijakan publik pada akhirnya akan sangat bergantung pada kesediaan dan kemampuan berbagai kelompok yang berpengaruh. Adanya subsidi uang dari pemerintah kota

sebagai harapan target group. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Grindle (1980) tentang perubahan yang diinginkan sebagai salah satu isi kebijakan yang mempengaruhi implementasi. Masih dengan pernyataan Gindle di atas bahwa dinas

pendidikan memperluas akses kawasan antara tempat tinggal penerima program mitra warga dengan sekola

B. LANDASAN YURIDIS

1. Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 28 C Dan 28 F

2. Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 31

3. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 54 Tentang Peran Masyarakat

4. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 62-63 Tentang Pendirian Satuan Pendidikan

5. Peraturan Walikota Surabaya Nomor 47 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Di Kota Surabaya Khususnya Pasal 76

6. Peraturan Walikota Surabaya Nomor 47 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Di Kota Surabaya Khususnya Pasal 68 – 73 Tentang Pembukaan Satuan Pendidikan Di Kota Surabaya

7. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 17 Tahun 2017 Pasal 24 – 26 Tentang Rombongan Belajar di Satuan Pendidikan

8. Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun 2018 / 2019

C. Permasalahan

Sejak Di berlakukan Mitra Warga Di Kota Surabaya , Permasalahan Pendidikan Di Kota Surabaya semakin rumit , Seperti yang terjadi di Tahun Pelajaran 2018 / 2019 SMP Swasta Kota Surabaya tidak kebagian Siswa Mitra Warga , Dimana Siswa Mitra Warga tersebut di arahkan untuk masuk SMP Negeri di Kota Surabaya , Di tambah lagi parahnya permasalahan Pendidikan di Kota Surabaya yaitu banyak berdiri SMP Negeri baru di Kota Surabaya , dimana Pemerintah dalam mendirikan Sekolah harus memperhatikan IPM Di daerah tersebut dan aturan – aturan tentang pendirian Sekolah tersebut , dimana seharusnya jika suatu daerah tersebut sudah ada SMP yang sangat banyak ( Seperti di Wilayah Utara , Maka Pemerintah tidak perlu mendirikan SMP Negeri baru di wilayah itu yaitu SMP Negeri 58 dan 60 Padahal SMP Negeri di Wilayah Surabaya Utara sudah sangat banyak , sehingga dampak yang terjadi adalah Penurunan Jumlah Peserta Didik SMP Swasta di Wilayah tersebut . Apalagi Permasalahan di tambahnya Jumlah Pagu dan Rombel Tiap SMP Negeri di Kota Surabaya padahal Pemerintah sudah menetapkan aturan untuk Jumlah Pagu dan Rombel tersebut sesuai Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Jumlah Rombel di setiap satuan Pendidikan. Sekolah Swasta di Kota Surabaya sangat taar aturan Permendikbud tengang Jumlah Rombel tersebut untuk Proses Pengisian DAPODIK Dan Proses Pencairan Tunjangan Profesi Guru

Saat Ini Tahun 2018 / 2019 SMP Swasta Kota Surabaya sangat prihatin tentang kebijakan Pendidikan di Kota Surabaya , yang dampaknya sampai 1 Minggu sebelum pelaksanaan Layanan Orientasi Siswa ( LOS ) Banyak Sekolah yang belum mendapatkan Peserta Didik Baru , Dimana dampak terbesar dan terburuk dari ini semu adalah Pendidik di SMP Swasta Kota Surabaya adalah akan kehilangan Tunjangan Profesi Pendidik , Mengingat Jumlah Siswa dan Jumlah Rombel yang mengalami penurunan yang sangat drastic, Padahal Undang – Undang Guru Dan Dosen mengamanatkan Guru harus sejahtera , tetapi kenyataan di Kota Surabaya Pendidikan Carut Marut dengan bertambahnya SMP Negeri bertambahnya Pagu Siswa dan Rombel di SMP Negeri di Kota Surabaya yang dengan mudahnya Pemerintah mendirikan SMP Negeri baru di Kota Surabaya padahal jika Swata yang berdiri sangat sulit dan sangat rumit dengan dimintai berkas – berkas dan Data , Padahal Swasta sama sama ingin mencerdaskan kehidupan bangsa dan swasta adalah Mitra dari pemerintah yang harusnya bersama sama mencerdaskan anak bangsa di Kota Surabaya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post