Menyoal Kata 'kerepe' dan 'buto lumpang' (Bahasa Belitong dalam Kajian Empirik)
#Tantanganmenulisgurusiana
#Tantangan hari ke-35
Mungkin judul di atas agak ekstrem. Saya yakin Anda akan terperangah membacanya dan mengatakan bahwa saya menulis hal-hal yang tabu atau porno. Mohon maaf bukan saya berkata kurang senonoh tapi ini semata-mata kajian empirik tentang “bahasa kite, bahase Belitong”. Entah siapa yang memulai memaknai kata “kerepe” dengan dengan istilah negatif. Entah pula kapan orang memulai menyebut istilah “buto lumpang” untuk menyebut “alu”, sebuah alat yang digunakan untuk menumbuk. Yang pasti bagi masyarakat Belitong, kedua kata ini dirasa tidak asing lagi.
Sesuai dengan sifatnya, bahasa itu arbitrer, yaitu manasuka, selalu dinamis mengikuti perkembangan zaman. Perubahan sebuah makna kata terkait secara historis dan sosiologis. Dalam kurun waktu tertentu sebuah kata akan mengalami perubahan makna. Sebagai contoh kata “kerepe”, dulu bermakna “wadah berupa tas yang disandang atau dijinjing yang biasa digunakan untuk membawa sangu ketika bekerja”. Para karyawan atau buruh PT Timah zaman dahulu selalu membawa “kerepe” sebagai sarana membawa makanan dan peralatan lainnya. Kerepe selalu dibawa setiap pergi bekerja. Maka sudah biasa kalau dikatakan “Ayah pegi kerje mawak kerepe.”
Namun ketika kalimat “Ayah pegi kerje mawak kerepe” digunakan dalam situasi kekikinian, tentu akan lain jadinya. Saat ini ada keengganan kita mengucapkan kata itu karena mengandung nilai rasa negatif. Kata “kerepe “ sudah mengalami pergeseran makna yang dalam istilah bahasa dinamakan peyorasi, yaitu makna kata sekarang lebih rendah nilai rasanya dibanding dengan makna dahulu. Maka dari itu saya yakin banyak di antara Anda pembaca yang tercengang ketika saya menuliskan judul di atas, karena saya yakin bahwa Anda akan menghubungkan makna kata itu dengan makna saat ini dan sudah melupakan makna sebelumnya. Itulah bahasa, perbedaan pemaknaan suatu kata terjadi karena kesepakatan yang ada dalam pemakai bahasa itu sudah berubah.
Lantas bagaimana halnya dengan kata “buto lumpang”? Sekalipun kata “buto” mengacu kepada “alat kelamin laki-laki”, namun ketika menjadi sebuah frase dengan menambahkan kata “lumpang”, kata itu justru tidak memilki nilai rasa negatif. Bagi masyarakat Belitung, teutama kalangan tua, kata ini tak mengalami masalah dalam pemaknaannya. Masyarakat pemakai bahasa sepakat bahwa kata “buto lumpang” mengacu pada sebuah refren, yaitu “alu” alat untuk menumbuk. Orang tetap enjoi menggunakan kata ini tanpa ada reaksi apa-apa. Inilah mungkin kekhasan yang terjadi dalam bahasa daerah kita. Lalu bagaimana halnya dengan kata “kelentit bekanjar” untuk menyebut nama bubur yang terbuat dari gandum? Adakah Anda merasa kurang enak dalam mengatakannya? Sehingga harus diubah menjadi bubur ... bekanjar?
Kembali kepada penjelasan di atas, tentu saja nilai rasa yang ada pada sebuah kata berdasarkan kesepakatan para pemakainya. Kata “kerepe” ternoda karena kesepakatan para pemakainya, demikian pula halnya kata “buto lumpang” tak bermasalah, juga karena kesepakatan para pemakainya.
Terlepas dari semua itu, bahasa merupakan produk budaya. Bahasa adalah wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya. Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat.
Sebagai salah satu kekayaan budaya nasional, bahasa Belitong perlu dilestarikan dan dipertahankan karena pesatnya arus informasi dan globalisasi memberi dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan dan perubahan bahasa. Perubahan dan perkembangan pemakaian bahasa itu banyak terjadi di daerah perkotaan. Banyak kata-kata tertentu yang tidak produktif lagi hingga bukan tidak mungkin suatu saat akan hilang ditelan waktu. Di kawasan Tanjungpandan misalnya, kata “suduk” dan “seluar” sudah jarang kita dengar. Kata-kata ini mungkin hanya digunakan di kawasan pedesaan. Oleh karena itu marilah kita lesarikan bahasa daerah Belitong dengan bebagai cara, di antaranya dengan membuat cerita atau puisi berbahasa Belitong.
Diberikannya kesempatan untuk menulis dalam bahasa daerah melalui blog gurusiana pada hari Sabtu dan Minggu merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan untuk melestarikan bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya. Mulailah untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Salam literasi!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantapp pak...sengkelad untuk sebutan permen la dak de sua agik tedengar , Sitok, kelok untuk bagian-bagian rumah...banyak bahase kite yang la mulai ilang
Ye buk
La dak sua pak Bas kamek nyebut seluar kan suduk. Dak ngerti juak anak2
Same la buk..
Anak anak dirumah pakai Bahasa Indonesi kerapnye
Makase Pak ulasannya menambah wawasan dan kosakata bahasa Belitong. Aku baru tahu hari ini ade kata ''Buto Lumpang" ape agik anak2 aku la becampor adok bahasa e.
Ye buk
Bahasa daerah jgn sampai punah, dan hrs dilestarikan, ukan dak mungkin anak cucuk kite kelak dak gik tau kan bhs daerah, mantap pak ulasannye.
Benar buk, trims komen e
Keren. Ikutan belajar bahase Belitong. Buto lumpang Kato wong plembang lumpang yang dak pacak njingok.
Ha ha
Mantap pak
Trims
Kalok kite dak asing dgn kate2 tsb. Tapi kalok anak2 kamek pasti ndak tau dan mereka belum pernah kudengat sekalipun mengatakan kata tersebut
Ye dirik juak kadang dak sua mempoperkan e. Anak kamek jak nggak tau celanak dak tau seluar
Mantap perluadan makna pak, yeh
Bubur kelentit bekanjar alias bubur KB = biji salak...
He he
Keren Pak ulasanx. Kate-kate nok di atas te mmng raga takut makekx, walau arti sebenarx Tau. Muji jaman sekarang la bergeser artinye.
Ye buk