Sambil menunggu waktu berbuka, sore ini saya teringat ide yang kemarin ditulis anakku. Tulisan tentang literasi yang sempat diikutkan lomba, tapi belum bisa lolos. Dalam tulisan itu dapat saya ambil satu keinginan seorang anak akan sebuah model. Model untuk menjadikan dirinya seorang literat. Memang benar, satu pemodelan akan memberi arti daripada seribu instruksi. Seorang guru akan lucu rasanya jika gembar gembor menuntut peserta didiknya untuk selalu membaca buku untuk menjadi seorang literat, tapi dirinya tak menunjukkan kebiasan membaca. Lucu juga jadinya jika orangtua menginginkan anaknya gemar membaca dan menjadi seorang pembaca yang baik kalau dirinya tak pernah melakukan aktivitas membaca dalam kehidupan kesehariannya. Coba bayangkan kalau guru menuntut peserta didiknya baca novel ini dan novel itu, sedangkan dirinya belum membacanya. Bagaimana guru akan tahu seberapa penguasaan peserta didiknya akan buku yang dibacanya jika dirinya belum membacanya? Singkatnya, kita sebagai guru dan orangtua harus mau dan mampu untuk menjadi model bagi anak untuk menjadi seorang literat. Saya jadi malu sendiri, belum banyak melahap buku-buku yang seharusnya dulu-dulu sudah habis dilahap. Saya jadi lebih malu lagi kalau selama ini belum bisa menjadi model yang bisa siap diajak sharing tentang buku yang baru saja dilaunching. Akhirnya, saya mau tidak mau harus mau dan mampu untuk menjadi model untuk menjadikan peserta didik dan anakku menjadi seorang literat. Dengan membaca dan memahami isi buku, anak akan terbentuk karakter baikknya. Dengan karakter baiknya, diharapkan anak akan dapat menjadi generasi emas untuk mampu membawa Indonesia mencapai masa emasnya. Harus berakhir sampai di sini dulu karena kolak saya telah menunggu untuk dibagi-bagi dalam mangkuk yang telah berjajar rapi. Selamat menjemput buka. Selamat untuk memulai membiasakan membuka dan membaca buku. Selamat untuk mengakrabi dan menjadikan buku sebagai sahabat sejati agar kita menjadi model seorang literat sejati.