Berti Nurul Khajati

Berti Nurul Khajati dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Desember 1972. Guru SD Negeri Setia Asih 06 Tarumajaya, Bekasi ini gemar membaca sejak ...

Selengkapnya
Navigasi Web
AUMAN HARIMAU DI BUKIT SIGENDOL
Illustrasi: Cahya Ashafat dari puncak Sumbing

AUMAN HARIMAU DI BUKIT SIGENDOL

“Kamu benar-benar ingin tahu tempat Bapak mengajar, Nduk?” Tatapan Bapak seperti menyelidik tepat di bola mata Jati, gadis kecil yang masih duduk di Kelas IV SD. Jati mengangguk mantap. Hatinya penasaran mendengar cerita Mas Tono, kakaknya yang pekan lalu ikut mengantarkan Bapak pindah tempat mengajar di sebuah sekolah yang terletak di atas gunung. Jati tidak diperbolehkan ikut. Hanya anak-anak kelas VI yang fisiknya kuat dan sehat yang dizinkan ikut mengantar kepindahan Bapak ke tempat tugasnya yang baru. “Pemandangan di atas indaaaaah sekali, Dik. Seperti negeri di atas awan.” kata Mas Tono dengan mata menerawang membayangkan keindahan pemandangan di depan matanya.

“Perjalanan ke sana berat, Nduk. Jalannya naik dan melewati hutan,” bujuk Ibu mengelus kepala Jati. Jati bergeming. Keinginannya menyaksikan dengan mata kepala sendiri negeri di atas awan yang diceritakan Mas Tono membuatnya bersikeras, “Pokoknya Jati ingin ikut Bapak!”

Ibu mengalah. Hari Minggu sore Ibu pergi ke rumah Pak Puji, guru Kelas IV dan menceritakan keinginan Jati. Pak Puji tersenyum, ”Silahkan, Bu. Biarlah Jati tidak masuk sekolah satu hari untuk memuaskan jiwa petualangnya.”

Pagi ini Jati sangat senang. Keinginannya melihat negeri di atas awan akan segera terwujud. Ibu sudah menyiapkan bekal minum dan kue-kue agar Jati tidak kehausan dan kelaparan dalam perjalanan. Ibu juga menyiapkan sebotol kecil madu dalam tas punggung kecil milik Jati. Jati berlari kecil dengan riangnya, mengimbangi langkah Bapak yang panjang-panjang. Bapak tersenyum kecil, membayangkan perjalanan ke sekolah kali ini pasti akan lebih lama dibandingkan hari-hari sebelumnya. Bapak sudah berpesan kepada Pak Jidin untuk menjadi Pembina Upacara menggantikan Bapak, karena Bapak akan tiba di sekolah lebih siang.

Sepanjang jalan melewati perkampungan, kaki-kaki kecil Jati dengan lincah melangkah. Bapak sengaja memperlambat laju langkahnya agar Jati dapat mengimbangi dengan langkah kecilnya. Di kiri-kanan jalan kini mulai terlihat kebun-kebun penduduk yang ditanami sayuran. Ada kacang panjang dan ketimun yang menyembul di antara dedaunan berwarna hijau segar.

Semakin lama jalan setapak semakin menyempit, berganti dengan jalan yang perlahan menanjak terjal. Tanaman sayuran di kiri-kanan jalan mulai berubah menjadi pohon-pohon besar. Daun-daun jati yang lebar seperti terowongan yang menaungi kepala mereka dari sinar matahari pagi. Semakin lama suasana semakin sepi dan gelap. Sebenarnya Jati mulai merasa takut tetapi ia tetap tenang karena tangan kecilnya ada dalam genggaman Bapak. Tak ada yang berbicara, Bapak tetap melangkah dengan sangat tenang dan pelan. Bapak tahu Jati merasa takut karena tangan kecil dalam genggamannya terasa dingin. Ditambah lagi tanjakan yang semakin curam membuat Bapak melangkah lebih hati-hati dan memilih pijakan yang dapat terjangkau langkah kecil Jati.

Hutan yang rimbun, jalan yang menanjak dan sangat terjal mengingatkan Jati pada cerita Hansel dan Gretel, yang menceritakan dua kakak beradik yang ditinggalkan di dalam hutan oleh orang tua mereka. Pasti mereka sangat takut, kata Jati dalam hati.

“Aauuuummmmm…”

Langkah Jati seketika terhenti mendengar suara yang didengarnya. “Bapak, aku takut,” bisik Jati sambil memeluk kaki Bapak erat-erat. Bapak menghentikan langkahnya dan memeluk tubuh Jati. “Tidak apa-apa, Nduk. Dia hanya lewat.” Jati melangkah dengan sangat hati-hati.

“Aauuuummmmm…”

Suara itu kembali terdengar. Jaraknya kian dekat dengan tempat mereka berada. Kali ini Jati tidak mau bergeser sejengkalpun dari sisi Bapak. Kelelahan yang tadi mulai terasa kini tiba-tiba lenyap, berganti dengan ketakutan. Bapak berjongkok sambil memeluk erat tubuh Jati yang berkeringat dingin. Segera diraihnya tas punggung mungil milik Jati. Dikeluarkannya bekal minum yang disiapkan Ibu tadi pagi. “Minumlah, Nduk! Agar hatimu lebih tenang.”

“Aauuuummmmm…”

Untuk ketiga kalinya Jati kembali mendengar suara auman. Tetapi jaraknya semakin menjauh. Benar kata Bapak, dia hanya lewat.

Dengan kaki yang masih gemetar karena pengalamannya yang mengerikan, Jati bertanya kepada Bapak, “Kenapa Bapak tidak takut setiap hari lewat hutan ini?” Bapak tersenyum sambil mengelus kepalanya dengan lembut. “Bapak senang, Nduk. Murid-murid di sekolah Bapak yang baru menyambut kedatangan Bapak dengan gembira. Seperti kamu, mereka juga ingin menjadi anak yang pintar. Karena itulah, Bapak juga senang bekerja di sana meskipun harus lewat hutan ini setiap hari. Kaulihat, bukan? Hutan ini masih asli dan tidak pernah dirusak oleh manusia. Makanan untuk binatang yang hidup di sini masih banyak sehingga mereka tidak pernah mengganggu siapapun yang melalui hutan ini. Manusia seperti kita hanya sekedar lewat tanpa membuat penghuni hutan merasa terganggu.”

Sambil kembali melanjutkan perjalanan, Bapak bercerita bahwa tempat ini dijuluki Sigendol. “Kautahu apa artinya Sigendol, Nduk?” Tanpa menunggu jawaban Jati, Bapak menjelaskan, “Bukit ini sangat curam dan ketika kita mendaki, jalannya sangat menanjak sehingga betis kita terasa gendol-gendol. Karena itulah, hampir semua bukit yang keadaannya seperti ini dinamakan Sigendol.”

Sinar matahari mulai menembus di sela-sela dedaunan, pertanda mereka mulai keluar dari kawasan hutan. Kebun-kebun penduduk kembali tampak di antara gelombang naik-turun tanah perbukitan. Kadang-kadang mereka berpapasan dengan Pak Tani yang memanggul pacul atau Bu Tani yang menggendong tenggok untuk menampung sayuran yang akan dipetik. Sebagai orang desa yang ramah, mereka selalu menganggukkan kepala sambil menyapa, “Selamat pagi, Pak Guru.” Dan dibalas Bapak dengan ucapan “Selamat pagi,” sambil tersenyum melambaikan tangan.

Melewati jalan desa sesudah belokan tajam, tampaklah sebuah bangunan sekolah sederhana yang terbuat dari papan. Di depan pintu pagar terpampang papan nama “Sekolah Dasar Negeri Kalipuring”. Berdiri di puncak bukit, sekolah ini tampak sangat teduh dengan pepohonan yang mengelilinginya.

Setiba di sekolah, upacara bendera sudah usai dan anak-anak mulai masuk ke dalam kelas untuk belajar. Melihat kedatangan Bapak, mereka lari berhamburan ke pintu pagar sambil memberi salam, “Selamat pagi, Pak Guru.” Satu-persatu mereka menyalami tangan Bapak dan berkenalan dengan Jati. Mereka tidak menyangka guru baru mereka datang terlambat karena membawa anaknya. Pak Jidin menyambut di depan pintu kantor, tersenyum dan mengelus kepala Jati.

Hari ini Jati merasa sangat gembira. Negeri di atas awan yang diceritakan oleh Mas Tono kini disaksikan di depan matanya. Mata Jati hampir tak berkedip melayangkan pandangannya ke segala arah, seakan awan-awan di langit terasa begitu dekat. Di bawah sana tampak hamparan hijau menyejukkan mata.

Di halaman sekolah murid-murid Bapak berlarian dengan kaki telanjang pada jam istirahat. Murid-murid yang sudah besar menghampiri Jati, membawakan buah-buahan yang dipetik dari halaman rumah mereka. Jati mendapatkan teman baru yang baik, membuatnya lupa pada ketakutannya terhadap auman harimau di Bukit Sigendol.

Bekasi, 30 Juni 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post