Berti Nurul Khajati

Berti Nurul Khajati dilahirkan di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Desember 1972. Guru SD Negeri Setia Asih 06 Tarumajaya, Bekasi ini gemar membaca sejak ...

Selengkapnya
Navigasi Web
PESONA BRUNO
Cover Buku "Tualang dan Perlawatan"

PESONA BRUNO

PESONA BRUNO

(Arsip Kenangan tentang Tanah Kelahiran)

Bruno adalah nama sebuah wilayah kecamatan di kabupaten Purworejo yang berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten Wonosobo. Sebagai tanah kelahiran, Bruno memiliki daya pikat tersendiri bagi saya pribadi, terutama setiap kali menikmati perjalanan “pulang kampung”, seperti yang saya lakukan bersama keluarga saat liburan semester bulan Desember 2016 silam.

Dengan menumpang bus dari Bekasi sekitar pukul 16.00, kami memasuki wilayah Kutoarjo sekitar pukul enam pagi. Dari Kutoarjo kami melanjutkan perjalanan menuju Bruno dengan Primkoppol, angkutan pedesaan berwarna cokelat dengan kapasitas 12 penumpang, namun sering diisi hingga 20 orang ketika jumlah angkutan sedikit dan jumlah penumpang melampaui kapasitas.

Perjalanan sejauh kira-kira 25 km ditempuh dalam waktu 45 menit hingga 1 jam, tergantung dari jumlah penumpang yang naik ataupun turun sepanjang perjalanan. Pemandangan yang indah di kiri kanan jalan propinsi ini membuat perjalanan terasa asyik dan tidak membosankan. Jalur yang kami lalui merupakan jalan raya propinsi yang sudah ada semenjak zaman perang kemerdekaan. Bahkan jalur ini merupakan jalur gerilya Pangeran Diponegoro yang bersembunyi di wilayah Bruno pada masa perlawanannya terhadap Kompeni Belanda. Persembunyian Pangeran Diponegoro di wilayah ini tidak pernah ditemukan oleh pasukan Belanda. Itulah asal muasal wilayah ini dinamakan Bruno, yakni akronim “diburu ora ono” yang berarti dikejar-kejar namun tidak ada atau tidak ditemukan.

Memasuki perbatasan wilayah kecamatan Kemiri menuju Bruno, udara dingin mulai menyapa kulit. Suhu rata-rata di wilayah ini berkisar antara 15 derajat Celcius pada suhu terdingin hingga 27 derajat Celcius untuk suhu tertinggi. Relief Pangeran Diponegoro yang mengendarai kuda dan sepasang harimau di perbatasan adalah “sapaan” lain yang selalu saya nantikan, sebagai tanda sudah dekatnya kami dengan kampung halaman. Semakin mendekati tempat kelahiran, udara terasa semakin sejuk meskipun matahari bersinar cerah. Di sebelah kanan jalan yang curam dan ada sungai mengalir, sedangkan sebelah kiri adalah bukit dan lahan milik negara yang semula adalah hutan jati.

Kenangan mengenai hutan jati selalu melekat di benak saya. Dulu, ketika saya masih berusia belasan tahun dan bersekolah di pusat kota kabupaten Purworejo, selalu ada sensasi tersendiri saat memasuki wilayah Bruno, yakni “melalui terowongan hutan jati” dengan daun-daunnya rimbun seperti kanopi menutupi sepanjang jalur jalan raya propinsi. Sayangnya, seiring adanya pembalakan liar dan penebangan pohon jati besar-besaran pada era reformasi, sensasi “terowongan hutan jati” hanya tinggal kenangan.

Perjalanan “pulang kampung” bagi keluarga kami adalah sebuah perjalanan wisata istimewa. Memasuki area rumah orang tua saya di wilayah desa Brunorejo, pemandangan indah selalu tersaji di depan rumah. Hamparan sawah, sungai dan gunung merupakan “wisata harian gratis” yang selalu kami nikmati dan kami syukuri adanya. Ketika saya masih tinggal di Bruno dan anak pertama masih balita, bapak selalu mengajak cucunya berjalan menyusuri pematang sawah di depan rumah setiap pagi.

Puas menikmati sarapan dan berwisata mata di depan rumah, saya dan anak-anak bersiap menikmati bentuk wisata lain, yakni naik “dokar”. Dokar adalah alat transportasi tradisional yang masih ada di wilayah kecamatan Bruno yang beroperasi khusus pada hari “pasaran” Jawa di pasar tradisional desa Brunorejo yakni Wage, Legi dan Pahing. Sambil menikmati suara kaki kuda, tak jarang anak-anak menyanyikan lagu “Naik Delman” dengan riangnya, sampai “kusir dokar”pun ikut tertawa. Suasana semakin seru ketika kuda yang menarik “dokar” buang air besar sembarangan karena tidak memakai “celana”. Anak-anak yang memilih duduk di depan di samping kusir berteriak kencang lantaran wajahnya “disapu” geraian ekor kuda yang tengah buang kotoran. Sebagai catatan, untuk mendukung program kebersihan pihak pemerintah kecamatan setempat perlu memberikan peraturan pemakaian “celana kuda” agar para pengguna jalan raya tidak terganggu oleh kotoran kuda yang berserakan.

Turun dari “dokar”, anak-anak mulai “beroperasi” di pasar tradisional. Sambil menonton dagangan yang tak jarang terhampar begitu saja di lantai pasar yang masih tanah, mereka sibuk mencari “jajan pasar” favorit. Jenis jajanan tradisional yang ada sangat beraneka dan semuanya nikmat seperti dawet, cenil, lupis, jenang, wajik, ketan, ataupun thiwul. Bahannyapun bervariasi seperti tepung ganyong, tepung beras, singkong sampai ketan. Di antara sekian banyak jenis jajanan tradisional, anak-anak lebih memilih jajanan kering yang gurih dan berwarna kuning, yakni “geblek kuning”. Geblek kuning adalah makanan “lanthing” yang terbuat dari singkong bercita rasa renyah dan gurih dengan pewarna alami kunyit untuk menghasilkan warna kuning. Proses produksinya masih sangat sederhana, yakni singkong dikupas dan diparut, lalu dibubuhi bumbu dan air perasan kunyit sebagai pewarna alami. Adonan “digelintir” kecil-kecil lalu dibentuk ellips dan digoreng hingga kering. Rasanya renyah gurih dengan sedikit cita rasa kunyit.

Pasar tradisional desa Brunorejo terletak di dekat perbatasan desa Gowong, di mana saya menghabiskan masa kecil sebelum orang tua pindah ke desa Brunorejo. Di desa Gowong inilah saya mempunyai kenangan khusus menonton “Gambus Gowong” yang kini sudah punah karena pendiri sekaligus dukunnya sudah lama meninggal dunia. Gambus Gowong merupakan budaya asli yang hanya ada di desa Gowong, sebenarnya adalah tarian silat sederhana dengan iringan alat musik tradisional berirama sederhana pula. Alat musik gong yang dipukul secara monoton menghasilkan irama apik yang terdengar “pong ding pong dheng” secara ritmis dan berulang di telinga, menimbulkan kesan magis seiring kepulan asap dupa sang dukun. Diiringi lagu khas “Ence La Ence” para penari terhipnotis memainkan gerakan-gerakan silat secara berpasangan. Semakin malam suasana akan semakin mencekam seiring rasa dingin yang kian menusuk tulang. Tak jarang, sang penari akan mengalami “kesurupan” dan untuk “menyembuhkan” maka sang dukun turun tangan “menyuwuk” penari yang kesurupan. Sayang sekali, budaya khas yang hanya dimiliki oleh desa masa kecil saya sekarang sudah punah seiring kemajuan zaman.

Puas berkeliling naik “dokar”, kami melanjutkan “petualangan” berjalan-jalan ke sawah dan sungai di dekat lokasi rumah orang tua. Anak-anak kami biarkan berlarian melalui jembatan kecil yang menyeberangi sungai. Di sungai ada beberapa anak yang sedang mandi dan bermain air. Melihat keberadaan kami, mereka berteriak minta difoto meskipun tampak sedikit malu-malu karena telanjang. Menyusuri pematang sawah sambil menyibak bulir-bulir padi bunting yang tengah menguning adalah keasyikan tersendiri bagi saya. Hal ini mengingatkan masa kecil saya yang akrab dengan sawah. Ketika musim panen tiba, saya dan teman-teman kecil sering bermain “gubug-gubugan” di dekat para orang tua yang sedang “nyabetke” yakni melepas bulir-bulir padi dari batangnya. Tumpukan jerami yang empuk sering kumpulkan untuk dijadikan kasur di gubug kecil kami. Kamipun sering membuat seruling dari batang padi, lalu berlomba memainkannya seolah-olah kami peniup seruling ulung.

Saat hari beranjak sore, kami kembali ke rumah. Langit yang semakin redup tak mengurangi keindahan alam yang kami nikmati. Langit merah lembayung di sebelah barat menyajikan lukisan indah yang memanjakan mata. Tak putus rasa syukur di hati kami dapat kembali menikmati keindahan alam tanah kelahiran, meski tak setiap saat bisa terlaksana karena kesibukan kerja di rantau. Perjalanan wisata gratis kami berakhir saat malam tiba, diiringi suara jengkerik dan binatang malam mengiringi tubuh-tubuh letih yang “kelayapan” seharian untuk memuaskan hasrat bertualang, meski hanya terbatas di wilayah yang dekat dengan rumah.

“Wisata keluarga” bersama anak-anak biasanya tak pernah terlalu jauh dari tempat tinggal orang tua. Hampir sepanjang jalan yang kami lalui adalah “wisata alam di depan mata”. Wilayah desa Brunorejo tempat kami tinggal adalah semacam “cekungan dasar mangkuk” yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan, sehingga ke arah manapun mata memandang akan selalu “terbentur dinding” pemandangan indah. Saya dan anak-anak seringkali mengabadikan pemandangan indah yang kami lihat di manapun dalam bentuk foto alam.

Intinya bagi kami sekeluarga, rumah dan kampung halaman kami adalah “tujuan wisata” kami yang tak pernah membosankan kami nikmati sepanjang hari. Meskipun hanya sebuah wilayah kecil, kampung halaman kami pernah menorehkan sejarah perjuangan panjang putra-putri Indonesia tercinta ini. Selain Pangeran Diponegoro, ada sebuah desa kecil tak jauh dari desa kami yang bahkan pernah menjadi Ibukota Darurat Jawa Tengah saat Semarang dikuasai penjajah Belanda pada tahun 1948. Pada saat itu Gubernur Jawa Tengah KRT Wongso Nagoro beserta stafnya mengungsi ke wilayah Bruno.

Catatan: artikel ini dimuat di buku "Tualang dan Perlawatan" bersama ASEAN Women Writers Association

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa....paparan yang lengkap tentang pesona Bruno yang inspiratif. Seeasa ingin segera ke sana Bu...salam kenal

16 Apr
Balas

Salam kenal ibu Noor Saodah. Semoga suatu saat Allah mengizinkan untuk Ibu berkunjung ke Bruno.

16 Apr



search

New Post