Bima Yudha Pranata

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Tak Perlu Rangking Satu

Guntur kesal karena lagi-lagi Putri mendapat nilai tertinggi pada ulangan matematika. Padahal matematika adalah pelajaran favoritnya. Ia juga sudah belajar semalam. Guntur takut posisi rangking satunya akan direbut oleh Putri di akhir semester nanti. Sepulang sekolah Guntur membanting tubuhnya pada kasurnya yang empuk tanpa memerdulikan sahutan Ibunya yang sedari tadi memanggilnya. Ia masih tak habis pikir bagaimana bisa akhir-akhir ini nilai Putri kian meningkat. Putri tidak mungkin les karena orang tuanya hanyalah seorang penjual kue keliling, tentu saja Putri tak mempunyai uang lebih untuk membayar biaya les.

“Guntur kok tidak mendengar panggilan Ibu?” ujar Ibu saat membuka pintu kamar Guntur. Kaget mendengar suara Ibu ia bergegas bangun dan membetulkan posisi duduknya.

“Maaf Bu,” jawab Guntur.

“Putri lagi?” tanya Ibu seolah-olah tahu apa yang ada di pikiran Guntur. Guntur mengangguk.

“Sudahlah sayang, mungkin saat kamu mengerjakan soal kamu tidak teliti dan terburu-buru mengumpulkannya. Bukan sepenuhnya salah Putri, kan?”.

“Ibu kok membela Putri?” Guntur makin cemberut.

“Sudah, ikhlaskan saja apa yang telah terjadi. Sekarang, ganti seragammu, cuci tangan dan kaki, salat Dhuhur lalu makan siang,” perintah Ibu.

***

Keesokan paginya Guntur melangkah gontai menuju sekolah. Ditariknya nafas dalam-dalam saat ia tiba di ambang gerbang sekolah. Berikan aku kemudahan untuk menjalani hari ini Ya Allah, ujarnya dalam hati.

“Pagi Tur,” sapa Putri saat bertemu di lapangan.

“Aku duluan ya, mau nitip kue ke ibu kantin,” lanjutnya tanpa balasan sepatah kata pun dari mulut Guntur. Ia memang sudah melupakan dan mengikhlaskan kejadian kemarin, lagipula tak ada gunanya menyesali sesuatu hal yang sudah terjadi tapi ia masih heran bagaimana bisa Putri masih bersikap baik padanya padahal ia sudah menunjukkan sikap kesal padanya kemarin.

TEEETT!!! TEEETT!!! TEEETT!!!

Bel berbunyi tiga kali pertanda jam pertama dimulai. Seluruh siswa kelas 5 telah selesai berdoa sebelum Bu Dona, guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelasnya masuk ke dalam kelas. Tak lama Bu Dona pun tiba.

“Assalamu’alaikum. Selamat pagi anak-anak,” sapa Bu Dona ramah.

“Wa’alaikumsalam. Pagi, Bu,” jawab murid-murid serempak.

“Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, ada yang ingin Ibu sampaikan. Kalian pasti sudah tahu kalau minggu depan ujian akhir sekolah untuk kelas 6 dan tentunya kalian diberi kesempatan untuk belajar di rumah. Oleh karena itu, ada tugas kelompok yang ingin Ibu berikan kepada kalian. Satu kelompok berisi dua orang, nanti Ibu pilihkan siapa saja kelompoknya. Selama kalian belajar di rumah, kalian harus melakukan sesuatu hal positif bersama teman satu kelompok kalian. Mungkin bisa dengan belajar bersama, membantu ibu membuat kue, dan lain-lain. Nah, nanti kegiatan kalian itu kalian ceritakan pada selembar kertas membentuk sebuah karangan. Paham?” terang Bu Dona. Semua murid dengan kompak mengangguk tanda mengerti.

“Oh ya, kalau kalian ingin karangannya lebih dari satu halaman boleh kok, malah lebih bagus. Baik, sekarang Ibu akan bagi kelompoknya,” lanjut Bu Dona.

“Bunga dengan Tera, Aldo dengan Kinan, Citra dengan Rizqi, Guntur dengan Putri...” Sontak, Guntur kaget mendengar namanya yang satu kelompok dengan Putri. Mengapa harus dia? batinnya. Dilihatnya wajah Putri yang tampak biasa saja bahkan saat Putri tersadar ada yang melihatnya ia mengulumkan sebuah senyuman tulus pada Guntur. Apa yang harus aku bicarakan dengannya? Apa yang harus kami lakukan untuk memenuhi tugas ini? Bekerja sama dengannya dalam satu kelompok rasanya seperti mimpi buruk, pertanyaan itu terus berkecamuk di benak Guntur.

Saat bel istirahat berbunyi, Putri menghampiri Guntur yang hendak membuka kotak bekalnya. Ia ingin membahas tentang kegiatan apa yang akan mereka lakukan. Putri mengusulkan untuk mengerjakan tugas ini di rumahnya. Awalnya Guntur tak setuju, namun Guntur tak punya usul lain. Mau tak mau ia harus memenuhi usulan Putri.

***

Sang mentari telah memendarkan sinar jingga kemerahannya di ufuk timur. Kokok ayam jantan dan kicauan burung kutilang yang terdengar sahut-sahutan memaksa Guntur untuk membuka matanya. Pagi ini, Guntur akan pergi ke rumah Putri untuk mengerjakan tugas yang diberikan Bu Dona. Duh, semoga saja tidak ada hal buruk yang menimpaku hari ini, ujar Guntur dalam hati.

Setelah mandi dan sarapan, Guntur bergegas menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya.

“Buku, alat tulis, makanan ringan,” Guntur memeriksa barang bawaannya.

“Oh, pocket untuk dokumentasi jangan lupa. Barangkali berguna,” lanjutnya.

“Sudah mau berangkat?” tanya Ibu yang tiba-tiba ada di belakang Guntur.

“Eh, ibu mengagetkan saja. Iya Bu, doain lancar ya Bu,” kata Guntur.

“Amin. Pastinya Ibu doain. Yang akur ya sama Putri. Oh ya, Ibu titip ini untuk Putri dan keluarganya. Mumpung kita lagi panen banyak,” Ibu menyerahkan satu kantung plastik hitam berisi buah mangga.

“Ya sudah Bu, Guntur berangkat dulu. Assalamu’alaikum,” pamitnya.

“Wa’alaikumsalam.”

Setelah mengendarai sepedanya cukup jauh dan bertanya pada tetangga sekitar, Guntur pun tiba di depan rumah Putri. Sebuah rumah sederhana bercat biru dengan halaman depan rumah yang tak begitu luas. Guntur bergegas memarkirkan sepedanya dekat pagar kayu yang tingginya hanya sepinggang.

“Assalamu’alaikum,” ujar Guntur saat berdiri di depan pintu rumah Putri yang terbuka.

“Waalaikumsalam. Temannya Putri ya? Silakan masuk, Ibu panggil Putri dulu,” kata Ibu Putri.

“Iya Bu, terima kasih, oh ya ini ada sedikit bingkisan dari Ibu. Mumpung di rumah lagi panen,” jawab Guntur dengan sopan dan menyerahkan bungkusan yang dibawanya.

“Terima kasih banyak, duh jadi merepotkan. Ya sudah, mari masuk.” Ia pun melepas sandalnya dan duduk di ruang tamu. Tak lama Putri pun keluar.

“Maaf Gun, sudah menunggu lama ya. Karena rumahku sempit dan ya kamu lihat sendiri jadi aku tak akan mengajakmu untuk mengerjakan di sini. Ayo ikut aku,” ajak Putri.

“Eh bentar Put, kita mau ke mana?” tanya Guntur yang tengah kebingungan.

“Sudah ikut saja. Bawa semua barang-barangmu.” Guntur pun langsung mengekori Putri tanpa bertanya apapun lagi. Namun Guntur bingung saat Putri tiba-tiba berhenti di sebuah toko kelontong.

“Mau ngapain Put?” tanya Guntur bingung.

“Aku mau beli roti sebentar ya,” jawab Putri.

“Aku bawa makanan ringan kok Put.” Namun, jawaban Guntur tidak digubris oleh Putri. Setelah membeli roti di toko kelontong tersebut, mereka pun melanjutkan perjalanan hingga tiba di sebuah pondok kecil. Ada sehelai kain bertuliskan ‘PONDOK ALIT’ yang tertempel di dinding.

“Kak Putri datang,” teriak sebuah suara anak kecil dari dalam pondok itu. Tak lama berbondong-bondong anak kecil ke luar dari pondok dan menyambut Putri.

“Kak, ini ya teman kakak yang kemarin kakak ceritain?” tanya anak kecil yang mempunyai lesung di pipinya. Putri hanya tersenyum dan mengangguk.

“Yuk, masuk. Kak Putri punya kejutan untuk kalian,” ajak Putri pada anak-anak kecil.

“Yuk Gun, masuk juga. Nanti aku jelasin,” lanjutnya saat menatap Guntur yang tengah kebingungan.

Guntur menatap sekeliling ruangan pondok itu. Tak luas. Hanya 3 x 3 meter. Ada satu rak kecil berisikan buku-buku. Kebanyakan buku cerita. Dan ada satu papan tulis di sudut ruangan. Sembari menunggu Putri membagikan roti yang dibelinya tadi pada anak-anak, ia mengambil satu buku cerita yang ada di rak. Ia kaget melihat nama yang ada di sampul buku. Putri Anindita. Putri membuat buku cerita bergambar ini untuk anak-anak itu? tanya Guntur dalam hati.

“Kau membacanya,” ujar Putri saat usai membagikan roti.

“Ini kamu sendiri yang membuatnya? Untuk mereka?” tanya Guntur. Putri mengangguk.

“Mengapa?”

“Apakah pertanyaanmu perlu kujawab?”. Guntur mengangguk cepat.

“Sebelumnya, aku ingin menjelaskan tentang ajakanku untuk datang kemari. Kau pasti baca tulisan yang ada di depan. Ya, pondok ini didirikan untuk mereka. Anak-anak itu. Mereka ingin belajar dan sekolah sama halnya dengan teman-teman sebayanya. Namun kondisi ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk bersekolah dengan layak. Kami, warga di sekitar sini sepakat untuk mendirikan pondok Alit ini. Setiap hari mereka diajarkan membaca, menulis, melukis, menyanyi, dan berhitung. Aku menjadi salah satu pengajar di pondok Alit ini. Karena aku ingin mereka mendapatkan pendidikan yang setara dengan teman-temannya yang mampu. Ya, aku sadar aku tak pandai untuk mengajari mereka dalam bidang akademik. Oleh karena itu, buku yang kamu pegang sekarang satu-satunya cara agar aku bisa berkontribusi untuk mereka. Aku mengajari mereka membaca, menulis dan sesekali aku mendongeng untuk mereka dengan cerita buatanku sendiri,” jelas Putri.

“Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya mengapa aku mendapat nilai bagus pada ulangan matematika kemarin. Selama satu bulan ini ada kakak-kakak mahasiswa yang ikut mengajar di sini. Merekalah yang mengajariku matematika. Oh ya Gun, aku senang sekali waktu Bu Dona mengumumkan kalau kita satu kelompok. Aku harap kamu bisa membuat anak-anak itu semakin pandai. Karena Ibuku pernah bilang, tak perlu menjadi rangking satu untuk berbuat kebaikan. Selagi kamu diberi kelebihan tak ada salahnya untuk memberi lebih pula pada sesama,” lanjutnya. Guntur tertegun mendengar penjelasan Putri. Perkataan Putri benar, tak perlu mejadi rangking satu untuk berbuat kebaikan. Ia sadar, selama ini kebaikan apa yang pernah ia bagi pada orang-orang di sekitar. Hampir tidak ada. Guntur tersenyum, ia bergegas bangkit dari duduknya. Kini, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Berbagi kebaikan kepada anak-anak itu. Dengan ramah Guntur mengajak anak-anak untuk duduk melingkar dan mengajarkan apa yang ia bisa. Menulis, berhitung, dan lain-lain. Sementara itu, di sudut ruangan ada sepasang mata yang memerhatikan dengan penuh rasa haru. Karena tak hanya tugas dari Bu Dona yang terselesaikan tapi juga tugas untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan pada sesama.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sukses buat adik ku terus lah berkarya dan berbuat baik kesuksesan akan sllu mengikutimu

05 Apr
Balas

terima kasih kakak Senior yang memberi inspirasi selama ini, yang bwerhasil ngasih zat candu pegang pen dan keybord. sukses selalu buat kakak senior

05 Apr

Wah...ceritanya banyak memberikan teladan bagi pembaca semoga sukses..salam literasi...

05 Apr
Balas

Salam Literasi Bu Enge Rika Lilyana, ini adalah wujud persembahan buat anak didik saya nilai dan presttasi memang keharusan tapi bukan utama, yang utama adalah budi pekerti

05 Apr

Menyenangkan sekali ketika membacanya, ceritanya mengalir... Salam !

05 Apr
Balas

salam santunterima kasih Ibu Susu P. atas apresiasinya semoga menjadi semangat berkarya kedepannya

05 Apr



search

New Post