Sri Ayu Sipah

Alumni IPB dan Kepala MTs Darul Hikmah Subah di Kankemenag Kabupaten Batang. Belajar dan terus belajar dalam universitas kehidupan untuk berika...

Selengkapnya
Navigasi Web
NIAT BAIK YANG SALAH
Tentang Sri dan Kang Sobri

NIAT BAIK YANG SALAH

Kang Bomin adalah Muadzin dan imam andalan di kampung kami, bukan karena tak ada yang lain, tetapi karena dia satu-satunya yang merupakan lulusan pondok pesantren, sesuatu yang jarang di kampung kami.

Itu pulalah yang membuat emak dan bapak menitipkan Abang Qarni pada kerabat jauh, untuk disekolahkan sambil mondok, agar suatu hari nanti bisa ada yang menggantikan Kang Bomin di kampung kami.

Memang hebat nian Emak Bapakku ini, dan akhirnya nanti takdirlah yang membawa Abang Qarni menjadi Modin kampung.

Kegiatan shalat selalu ramai di waktu maghrib dan isya, banyak anak-anak kecil yang diajak orang tuanya, sekalian dilanjutkan mengaji habis maghrib dengan kan Bomin. Belajar mengaji turutan, artinya nurut saja apa yang Kang Bomin sampaikan, mengikuti.

Kami banyak yang belum bisa baca huruf hijaiyah tetapi hafal diminta baca Al Fatihah, An Naas, dan Al Falaq, karena Kang Bomin selalu mengajarkan kami mengulang-ngulangnya setiap mengaji.

Kami akan berebut menjadi yang pertama untuk antrian mengaji. Berebut berada di sebelah kanan Kang Bomin, dia sering memulai urutan dari sebelah kanan dulu sesuai sunnah Nabi. Tetapi kadang aku kecele, sudah berebut semua ke yang paling kanan. Eeeh, Kang Bomin memulainya dari yang tengah ke kiri, diacak-acak begitu.

Akhirnya kami mulai sadar, Kang Bomin mengajarkan kepada kami artinya ikhlas saat mengaji, tak berebut, musti patuh pada gurunya.

Kang Bomin juga selalu mengajarkan pada kami tentang tata cara wudhu dan shalat yang benar, termasuk sering menyingung rahasia kolong mushalla kemarin, meskipun mengakui aku hebat karena menemukan telur-telur yang selama ini disembunyikan Mbah Kabul, aku juga dijadikan contoh ketidakkhusyu’an dalam shalat.

Harusnya saat shalat, kita tak boleh berfikir apapun keculai shalat yang kita fikirkan, tapi aku malah mengintip celah lantai papan yang berlobang sambil sujud.

Aku dan Darti sering malu jika Kang Bomin cerita ini, Marjokan dan kiso juga akan selalu mengolok-ngolok kami. Jika shalat, “berasalah engkau melihat Allah, jika tak kau rasakan melihat Allah maka rasakanlah seolah-olah Allah melihatmu”, kalimat itu amat indah di telingaku, meskipun aku saat itu juga tak paham maknanya.

Barulah nantinya saat mulai sekolah di rantau aku merasakan betapa menakjubkan kalimat Kang Bomin ini.

Shalat berjama’ah selalu dengan imam yang sama, ngaji dengan guru ngaji yang sama, ternyata tak menjadikan kami bosan, kami malah ingin setiap hari Kang Bomin yang berada di mushalla itu, bukan orang lain. Tak terfikirkanlah oleh kami, “bagaimana nanti saat Kang Bomin pergi?” dan itupun terjadi.

Kang Bomin mendadak sore hari mendapat kabar, mertuanya di desa seberang sakit, maka dia pergi bersama istri dan anaknya menjenguk mertua. Aku dan kawan-kawankupun tak tahu, karena kami menggembala kambing. Emakku yang cerita setelah kejadian maghrib di mushalla.

Saat matahari mulai merangkak Menenggelamkan diri dan hanya menyisakan lazuardi senja di ufuk barat, menandakan waktu maghrib telah masuk, aku dan kawan-kawanku telah bersiap ke mushalla menunggu adzan Kang Bomin.

Lama sekali tak terdengar adzan sampai matahari tenggelam sempurna, orang-orang tua juga pada bertanya, “Kemana Bomin, jadi sepi tak ada yang panggil orang buat shalat, tak mungkinlah anak pesantren macam Bomin tidur saat maghrib tiba”.

Mushalla sudah mulai ramai tapi tak ada juga yang berani adzan ke depan, akhirnya orang tua tunjuklah salah satu anak yang biasa mengaji pada kang Bomin, tentulah pilihannya pada anak putra.

Semua anak putra pada berlarian keluar, mereka tak mau ditawari untuk adzan, melihat mikrofon pengeras suara saja sudah seperti melihat pisau sunat dari mantri pusksemas.

Waktu maghrib berjalan terus, dan belum ada juga yang mau adzan. Di saat nan genting seperti itu tampillah sosok yang selalu aku ceritakan sejak awal, kawanku yang diam-diam aku kagumi, Marjokan.

Dengan gaya khasnya, dia melangkah maju, memegang mikrofon dan mengumandangkan adzan. Merdu nian suaranya meski tak sesyahdu Tomy J Pisa. orang-orang kampung juga mendengarnya, apa kata mereka “ah, sudah ada pengganti adzan di mushalla selain Bomin”,

Sejak itu pula setiap Kang Bomin tak ada, maka Marjokanlah yang akan menjadi muadzin cadangan.

Adzan selesai tapi masalah tak selesai, siapa yang jadi imam shalat ini, hanya ada Mbah Kabul, Kang Sobri, Marjokan dan kiso, serta bapak-bapak tua yang tak paham mengaji.

Kami bertatapan bingung, tak mungkinlah Marjokan jadi imam, dia masih kecil dan surat yang dia hafal cuma empat surat pendek. Akhirnya karena dorongan waktu maghrib yang mau habis, maka Kang Sobri maju untuk menjadi imam shalat maghrib.

Aku serasa tak percaya melihat Kang sobri jadi imam. Karena aku tak pernah melihatnya shalat berjama’ah di mushalla ini, dan aku tahu pula kang Sobri seperti Bapakku yang tak paham pula mengaji.

Janah tampak tak suka Kang Sobri jadi imam, dia ingat betul kalo orang tak paham mengaji, tak bolehlah jadi imam. di antara kami Janahlah anak yang paling pintar mengajinya, hafalan surat-surat pendeknya lebih banyak dari kami. 'Sri, macam mana kang Bomin jadi imam, tak bisalah dia mengaji" kata Janah sambil bersungut-sungut. Aku hanya tersenyum kecut bersama Darti.

Kang Bomin sering bilang “kalo mau latihan jadi imam maka jadilah imam shalat dhuhur atau ashar yang bacaannya tak dikeraskan, jangan pula latihan jadi imam di shalat subuh, meski shalatnya pendek dua rakaat, tetapi ada doa qunut nan panjang, surat pendek saja tak hafal apalagi doa qunutnya”.

Rakaat pertama berlalu dengan aman. Kang Sobri membaca Al Fatihah dan surat kulhu dengan terbata-bata, surat Al Ikhlas biasa disebut surat kulhu di kampung kami.

Aku sudah hampir menahan tawa mendengar Kang Sobri membaca surat kulhu, tapi aku ingat juga kang Bomin sering bilang, “kalo orang yang baca Qur’an susah maka pahalanya dilipatgandakan”, aku jadi mencoba khusyu’.

Rakaat kedua, kembali Kang Sobri membaca Al Fatihah dengan surat kulhu, aku sudah mulai merasa “tak beres ini”, bisa jadi hanya dua surat itu yang Kang Sobri hafal.

Sampailah pada akhir rakaat ke tiga setelah sujud, mustinya kami duduk tasyahud akhir, tapi Kang Sobri berdiri lagi dan membaca Al Fatihah, refleks jama’ah pada bingung,

Berdengung macam suara kumbang di bagian emak-emak. Aku dan Janah sudah coba tepuk tangan untuk ingatkan bahwa Kang Sobri salah seperti yang diajarkan kang Bomin, tapi sepertinya tak terdengar.

Aku juga sudah dengar suara Marjokan ucapkan “Subhanallah” tuk ingatkan Kang Sobri tapi sepertinya Kang Sobri juga tak tahu. Akhirnya tanpa dinyana terdengar keras suara Kiso “Kang Sobri, kau salah, kau kelebihan satu rakaat”, langsunglah geeerrr gelak tawa memecah keheningan shalat maghrib itu.

Kang Sobri langsung menghentikan shalatnya, dengan muka merah padam menahan malu, dia langsung keluar mushalla tak lanjutkan jadi imam shalat maghrib. Itulah hari pertama dan terakhir kang Sobri shalat di mushalla kami.

Akhirnya shalat maghrib dilanjutkan dengan shalat munfarid tak berjama’ah, khawatir akan terulang kembali kesalahan seperti Kang Sobri. Hari itulah aku belajar kehidupan, tak selamanya niat baik akan menghasilkan hal yang baik, jika tak diimbangi kemampuan yang baik.

Esok harinya ramailah orang bercakap terkait insiden tadi malam shalat maghrib, apalagi selanjutnya shalat isya dan subuh tetap dilaksanakan sendiri-sendiri meskipun di dalam mushalla, karena semua yang akan jadi imam khawatir menjadi Kang Sobri ke dua.

Tak kalah ramai orang berbincang terkait kekonyolan Kiso yang mengingatkan Kang Sobri, jadi bahan gelak tawa seisi kampung. Adapun kang Sobri tak berani keluar rumah atas malu yang tak tertahankan. Tetapi ada hikmah di balik kejadain itu, tadinya banyak orang tua yang tak peduli anaknya ikut mengaji atau tidak.

Mulai saat itu, mereka jadi peduli dan meminta anak-anaknya rajin mengaji dan belajar ilmu agama agar tak seperti Sobri. “kasihan sekali, Kang Sobri, suatu hari nanti akan aku ajak dia ke musola lagi” janjiku dalam hati, biar nanti Kang Bomin yang ke rumah Kang Sobri.

Untuk saat ini biarlah Kang Sobri di dalam rumah, nanti waktu yang akan tutupkan rasa malu dan sembuhkan luka.

Sri terus berlari ke tebing tinggi. Tak patah arang meski onak duri menghadang, tak terpantik duka meski hidup dalam ketiadaan. Sri, dalam kolang kaling merah akan buktikan kekuatan sebuah doa. Sri tak terhenti !!

#Dunia Literasi. Dunia Baca Tulis Kunci Gerbang Peradaban Zaman. Dunia Buku Tempat Ilmu Bertumpu

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selalu ada ibroh di balik cerita Sri, ditunggu kisah selanjutnya bunda.

16 Nov
Balas

Terimakasih ibu. Insya Allah Ibu Dyahni. Masihlah Ayu belajar untuk menulis yang baik

16 Nov

Dalam setiap peristiwa pasti ada hikmahnya...

16 Nov
Balas

Terimakasih ibu, insya Allah siap mengambil hikmah dari setiap kejadian, tuk perbaikan diri ke depan.

16 Nov

Tak selamanya niat baik akan menghasilkan hal yang baik, jika tidak diimbangi kemampuan yang baik. Mutiara hikmah luar biasa. Kesalahan kang Shobri membuat para orang tua sadar akan pentingnya menuntut ilmu agama. Jazakillah khoir untuk pesan indah ini,bu guru. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah.

16 Nov
Balas

Terimakasih ibu. Harusnya orang sekampung berterimakasih pada Kang Sobri. Kesalahannya jadi cermin buat orang tua agar peduli ilmu agama pada anak-anaknya. Ditunggu Sri berikutnya, dalam kolang kaling merah.

16 Nov

Luar biasa, cerita mengalir ringan namun sarat pembelajaran. Hanya ada dua revisi, pertama partikel PUN hrs dipisah dlm kata KAWANKUPUN. sepertinya ada typo pd kata Menenggelamkan, harusnya hurup M nya hurup kecil. Sukses selalu dan barakallah

16 Nov
Balas

Terimakasih Ibu. Insya Allah Ayu akan terus belajar agar bisa sajikan tulisan yang sesuai dengan ketentuan, dan layak dianggap sebagai tulisan berkualitas. Tak patah arang dalam menulis. Ayu tunggu masukan berikutnya. Sukses Ibu.

16 Nov

Wah, asyik bu ceritanya penuh edukasi. Suksee barakallah

16 Nov
Balas

Terimakasih Ibu. Insya Allah masih belajar Ibu Sri Widati. Sukses buat Ibu.

16 Nov

Pengalaman berharga belajar dari kesalahan,,itu adalah hal yang wajar,manusia tak ada yang sempurna,yang terpenting jangan putus asa untuk selalu berbuat baik,diterima atau tidaknya amal seseorang ,Allah SWT yang mengetahui..terus berkarya..

16 Nov
Balas

Terimakasih Bapak Abdul Roni, pengalaman berharga dari sebuah kesalahan. Bismillah semoga tetap bisa berkarya.

16 Nov



search

New Post