Sri Ayu Sipah

Alumni IPB dan Kepala MTs Darul Hikmah Subah di Kankemenag Kabupaten Batang. Belajar dan terus belajar dalam universitas kehidupan untuk berika...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sri...Gembala Muda Berkepang Dua

Aku tumbuh bersama riuh celoteh burung pipit di tengah sawah dan dibuai oleh semilir angin hutan jati yang mengelilingi desa kami. Aku merasakan betapa damainya hidup, mandi di kali, sholat di mushola, mengaji pada kang Bomin dan bermain di bawah purnama dengan teman-teman.

Ada Widarti, Janah, Marjokan dan kiso yang jadi sahabat dekat. Kehidupan Emak dan Bapak tak beranjak membaik, bahkan Bapak mulai sakit-sakitan karena beban kerja yang berlebihan.

Usiaku menginjak 6 tahun dan seharusnya aku beserta kelima sahabatku bisa sekolah tapi sayang saat tes menyentuh telinga kanan dengan tangan kiri melingkar di atas kepala, kami tak sampai.

Sehingga naaslah nasib kami tak bisa masuk sekolah SD seperti siswa yang lain, padahal sudah begitu ingin kami sekolah, dengan bangga berseragam merah putih serta memakai sepatu hitam dari karet.

Emakku tahu tahu sedih tak bisa sekolah dan menasehatiku bahwa semua ada waktunya dan pasti Gusti Allah punya tujuan baik untuk menundaku masuk SD.

Meski aku tak tahu apa makna nasehat Emak, aku manggut-mangut saja menurut apa kata Emak, toh fikirku justru aku masih bisa main lebih banyak dengan teman-temanku dan menemani emak di ladang.

Di desa kami dekat pula dengan perkebunan karet milik Pemerintah, semakin menambah sejuk udara desa kami, dan banyak pula warga desa yang menjadi buruh pada perkebunan karet tersebut.

Sebagian besar warga juga memanfaatkan kebun karet untuk menggembala ternak kambing dan kerbau.

Sama halnya dengan Bapakku, juga merawat 5 ekor kambing gibas1) berwarna putih milik Haji Malik yang dititipkan, nanti kalo beranak maka anaknya dibagi dua.

Selama ini kambing tak digembalakan tetapi diletakkan di dalam rumah, dekat dapur dan diberikan rumput setiap hari. Bapak yang mencari rumput sambil kerja di ladang.

Sakit bapak setiap hari kian bertambah, tak lagi memungkinkan Bapak untuk kerja di ladang dan mencari rumput, Emakpun tak lagi bisa menggendong beban berat rumput untuk lima ekor kambing Haji Malik.

Sampai akhirnya pada suatu malam, setelah sholat isya di mushola sambil memijit kaki Bapak, emak berkata padaku “Sri, anak Emak yang pintar, maukah membantu Emak dan Bapak?” Aku langsung jawab dengan sigap“Mau Emak”, aku sudah janji untuk menghapus duka dan lelah Bapak dan Emak.

“Apa yang harus Sri lakukan Mak ?”. Emak mengelus rambutku “Sri, mulai besok gembala kambing ke hutan karet utara desa mau ?” Aku terlonjak kaget kegirangan, mimpi itu akhirnya terwujud. “Sri mau mak ..mau gembala kambing ke hutan karet”,

Emak dan Bapak bingung dan heran, Aku memeluk emak dengan erat dan lari bak terbang keluar halaman mencari ke lima sahabatku untuk sampaikan petualangan kita akan di mulai di hutan karet besok, akulah penggembala muda berkepang dua.

Menjelang tidur di dipan sederhana bersama Emak, aku membayangkan terkait tugas menggembala esok hari. Teringatlah aku pada cerita kang Bomin yang mengharu biru dan menghipnotis semua anak-anak di mushola.

Dengan intonasi kata yang tepat dan diselingi gerakan tangan, tubuh yang menjiwai, yang saat di bangku SMP aku baru tahu itulah gestur kata pak Yono guru bahasa Indonesia.

Kang Bomin ceritakan tentang masa kecil Rasulullah yang menggembala kambing bersama teman-temanya, tentang datangnya malaikat yang membersihkan hatinya dari rasa iri, dengki dan penyakit hati lainnya. Kami terkesima, mulia sekali jadi penggembala kambing bahkan malaikatpun sampai turun ke bumi tuk bersihkan hatinya.

Itu yang muncul dalam benak kami, jadi kami bangga membantu orang tua menggembala kambing karena kami mencontoh Rasulullah, pintar sekali Kang Bomin memotivasi kami para anak-anak kecil menjadi penggembala kambing.

Aku tak kuasa pejamkan mata, tak sabar rasanya nantikan esok hari, lama-lama mataku terpejam dan dalam mimpiku di tengah hutan karet datanglah dari kejauhan dua orang malaikat mendekatiku, aku terkesiap...”inikah malaikat itu?”. Saat mereka mulai dekat dan semakin dekat, aku terlonjak “eeeh ternyata mereka adalah Mandor Boden dan Mandor Kantong” dan akupun terjaga dari tidurku, ku tengok jam tua di dinding kamar, ah masih jam 2 malam... lambat kali kau berjalan waktu”.

Kutarik selimut kumal dan kupeluk erat Emakku dari samping, melanjutkan mimpi dikejar mandor Boden dan Mandor kanthong karena mematahkan dahan karet buat ayunan.

Ba’da dhuhur aku sudah tak sabar ingin segera melesat bersama lima kambingku dan lima sahabatku ke tengah hutan karet. Setelah tunaikan sholat di Mushola dengan tingkat khusyuk hanya separuh, aku semangat membuka kandang kambing dan berkata “hayo para jago jagooan, hari ini kalian akan menikmati indahnya hutan karet dan hijaunya rerumputan secara langsung”, mereka saling mengembik tak tahu maksud ucapanku.

Aku bergegas ganti baju, kukenakan celana panjang bekas Abang Qarni, kupakaikan kaos lengan panjang dan kuikatkan selendang pada pinggangku. Aku berkaca bak peragawati, “duh, kayaknya ada yang kurang”, maka ku kepang rambutku jadi dua agar nyaman aku berlari-lari nanti.

Tak lupa sebelum aku pakai ransel kumal Bapak yang biasa buat dibawa saat membersihkan pekuburan desa, ku jinjing arit dan tongkat, dua senjata yang harus dipegang oleh penggembala.

Aku seperti serdadu muda yang akan bertempur di medan laga. Dengan gagah aku buka pintu kandang kambing, dan sambil membungkuk, kupersilahkan mereka keluar kandang. Kambing-kambing itu girang bukan kepalang, selama ini mereka pengap berdesakan dalam kandang di dalam rumah sebelah dapur dan hari ini mereka bisa jalan bebas seperti angin.

Di luar Jannah mulai memanggil “Sri ...Sri ...Sri Gering02) cepat, mau berangkat angon 3)tidak ?”. Aku sebenarnya tak suka dengan panggilan Sri Gering tapi apa mau dikata, mereka dan warga sudah sepakat memanggiku begitu, karena postur tubuhku yang kurus kering, menjadikan aku dipanggil Sri Gering.

Emakku suka teriak marah kalo ada orang yang memanggilku Sri Gering, Emakku akan berkata lantang “dia bukan Sri Gering, dia hanya Sri.., yang akan jadi orang hebat kelak”, para tetangga tergelak dan mencibir sinis ..”darimana kau bisa jadikan anakmu orang hebat, buat makan aja kau susah Daimah”.

Daimah itulah nama Emakku. Yang masih percaya betul bahwa aku adalah Sri yang dia bayangkan saat 6 tahun lalu aku berlumur abu dapur.

Pengalamanku angon pertama kali di dalam hutan karet sangat susah, kambingku-kambingku seperti nara pidana yang baru bebas dari penjara, tak mau berdiam di satu titik, meski rumput hijau luas terbentang, mereka asyik jala-jalan kesana kemari menjauh dan menjauh ke dalam hutan karet.

Seperti ingin mengukur seberapa luas hutan karet itu. Bayanganku akan nikmatnya jadi penggembala kambing pudar di hari pertama, aku kelelahan mengikuti dan mengawal kambing-kambingku agar tak terlau jauh masuk hutan karet.

Mereka belum mau bergabung dengan kambing-kambing yang lain dan aku pontang panting mengikuti mereka. Para sahabatku tertawa saja menyaksikan aku yang kerepotan menangani kambing-kambingku ini, toh nantinya aku akan terbiasa setelah beberapa hari, memang segalanya butuh waktu.

Hari ke duaku jadi penggembala kambing mulai menemukan kenikmatan, aku terpana pada saat sedang berkumpul dengan penggembala yang lain, aku melihat segerombolan kerbau melintas, di paling akhir terlihat penggembala tersebut, “wow” decak kagumku.

Seorang wanita dengan topi capingnya nampak gagah di atas punggung kerbau, dengan memegang pecut pendek, laksana patih Gajah Mada sedang mengawal para pasukan kerajaan mataram.

Aku mencolek Kiso “siapa dia ?”, kiso menjawab “dia Yu Wasriah, satu-satunya penggembala kerbau perempuan di desa ini, sangat disegani karena keahliannya mengendalikan kerbau”.

Aku mengangguk-angguk, berkelebat dalam fikiranku “jangan-jangan namanya Sri Wasriah?” karena dia begitu hebat. Nantilah Yu Wasriah itu pula yang menjadi salah satu inspirasiku mengggapai bintang.

Hari-hari berikutnya menjadi penggembala kambing begitu menyenangkan, kambing-kambingku sudah mulai tenang dan jinak bergaul dengan para kambing lain, sehingga aku dan para penggembala lain bisa bermain dengan senang hati, berlarian di antara pohon karet.

Salah satu permainan yang sangat menyenangkan adalah main bola karet, untuk main bola tendang dan kasti, meskipun untuk ini, kami harus main kucing-kucingan dengan mandor Kanthong dan mandor Boden.

Kami para penggembala kecil ini dianggap sesuatu yang tak nyaman bagi Mandor Boden, sering matanya tajam mengawasi kami, seolah kami adalah pencuri-pencuri kecil yang akan mengambil seluruh getah karet di kebun itu.

Hari itu aku, widarti, Janah, Marjokan dan kiso mencari getah-getah kering yang menenpel pada alur sadapan pohon karet, di tempat kami dinamakan dengan istilah “skrap”, sangat tipis tetapi kuat dan panjang seperti ular sawah.

Kami mencari sebanyak-banyaknya dan berkejaran dengan waktu sebelum Mandor Boden datang, bisa kena semprot kami dan pastinya skrap ini akan di sitanya. Selain bisa untuk membuat bola, skrap ini juga sangat manfaat membantu Emakku saat menyalakan api di dapur.

Marjokan berjongkok di bawah berapa pohon karet, menyibakkan beberapa daun-daun kering di bawahnya, “apa pula yang dia cari, fikirku”, ternyata Marjokan mengambil bongkahan hitam getah karet yang telah mengeras, dibentuklah menyerupai bola besar, kemudian diberikanlah pada kiso “ikat memutar dengan skrap ya sekencang mungkin dan rapat” perintah Marjokan pada Kiso.

Melihat Marjokan aku seperti melihat sosok tentara yang memberi perintah pada anak buahnya, seperti yang sering kulihat pada TV hitam putih di Rumah Pak Kadus karena itu satun-satunya orang yang memiliki TV dan diesel di kampung kami dan menyalapun sesuai dengan kehendaknya.

Marjokan beranjak pada pohon karet berikutnya, dengan gerakan tangannya dia meminta aku dan Janah mendekat.

Marjokan ambil getah karet lain yang di bawah pohon yang masih berwarna agak putih “alamak baunya” membuatku ingin muntah. Marjokan ambil sekepalan orang dewasa, kemudian dia berikan pada Janah, “ikat kencang dengan skrap”.

Untuk yang kedua kalinya aku terkesima melihat cara Marjokan, dan di ke depannya nanti tak salah rasanya jika Allah takdirkan Marjokan menjadi suami Janah, meskipun aku tahu Marjokan menyukaiku.

Tapi garis takdirku tak berhenti di kampung ini, karena Emakku yakin aku Sri akan jadi orang hebat meski terbang dengan kepak burung pipit, yang artinya aku harus pergi dari kampung ini suatu hari nanti.

Aku membantu Janah mengikatkan skrap hingga terbentuklah sebuah bola bundar yaitu bola kasti, di ujung sana Kiso masih tampak sibuk membuat bola tendang yang cukup besar, tampak seperrti seorang serdadu yang menyiapkan peralatan perangnya.

Di saat kami asyik dengan kesibukan membuat bola, tiba-tiba terdengar teriakan lantang “hai bajing-bajing kecil, kalian mencuri skrap lagi ya, awas kalian”, suara Mandor Boden menggelegar di tengah hutan karet.

Kami langsung lari lintang pukang menyelamatkan diri, aku dan Janah berlari ke arah lembah sedangkan Kiso ke arah selatan dan Marjokan ke arah utara.

Kami menyebar bak pasukan Jenderal sudirman mengecoh para serdadu belanda. Hari itu Widarti tak ikut menggembala karena sedang pergi dengan emaknnya ke kota kecamatan beli mukena baru.

Dari balik gerumulan semak belukar, aku lihat Mandor Boden bersungut-sungut “ dasar bajing cilik, lari kemana kalian, akan aku adukan kalian pada Emak dan Bapak kalian, biar dihajar nantinya kalian di rumah”. Aku tersenyum mendengarnya, karena sudah beberapa kali Mandor Boden mengadukan para gembala kecil pada Emak dan Bapak di rumah, tapi hanya ditanggapi dingin oleh para orang tua.

Bahkan Bapaknya Marjokan menjawab dengan ketus “Sudahlah Boden, janganlah kau berlagak seperti milik kaulah kebun karet itu, anak-anak hanya ambil sedikit buat mainan, tak akanlah sampai membuat Pabrik karet di sana bangkrut”,

Mandor Boden bersungut-sungut pergi, karena usahanya tak mempan, sehingga waktu yang paing dinantikanya adalah bisa menangkap kami di hutan karet kemudian aka dijewernya telinga kami agar kami jera tak ambil skrap lagi.

Hari itu kami tak jadi main bola dan kami simpan di tempat rahasia agar esok hari bisa kami gunakan buat main. Jelang senja kami giring kambing pulang dan lekas mandi ke mushola untuk sholat dan mengaji bersama kang Bomin, muadzin handal dikampung kami yang suaranya tak kalah merdu dengan Tommy J Pisa, penyanyi lagu sendu kesukaaan Bapakku.

Hari yang dinantikanpun tiba, bola yang telah kami buat siap untuk dimainkan. Marjokan memanggil para gembala laki-laki lain untuk main bola tendang, mereka main di tengah kebun karet, gawangnyapun menggunakn dua pohon karet yang berdekatan, tak jarang tendangan bolanya selalu mengena pada pohon karet saat akan dioper.

Teriakan riuh rendah para pemain bola gembala kecil terasa asyik sekali, aku seperti melihat pertandingan bola tingkat dunia di tengah kebun karet itu. Ada Pele di sana yaitu Marjokan yang selalu jadi magnet dalam setiap permainan bola di kampung kami saat dia dewasa nanti.

Sebenarnya aku ingin ikut main bola bersama anak- anak laki –laki tetapi Marjokan tak ijinkan, “tak boleh anak perempuan main bola, kau mainlah permainan anak perempuan, main bola kasti dengan Janah dan Widarti”.

“Huuff... aku bersungut kesal, apa enaknya main kasti hanya bertiga, tak ada ramainya sama sekali”. Di saat aku terpekur memegang bola kasti, sedangkan Janah dan widarti asyik menggambar di tanah menggunakan ranting karet, melintaslah kembali Yu Wasriah beserta kerbaunya dengan 3 anak prempuan kecil di belakangnya.

Aku kegirangan, aku akan ajak mereka untuk main kasti bersama. Aku berlari mendekat ke rombongan kerbau itu dan bilang “Yu Wasriah, bolehkah aku ajak main kasti adik-adik Yu Wasriah ini”, Yu Wasriah diam, dari atas punggung kerbau dia menatapku tajam, barulah aku lihat secara langsung wajahnya.

Masih remaja tetapi wajahnya penuh dengan kulit bergemabir hitam, itulah mungkin yang membuat dia menjadi penggembala kerbau, habiskan waktunya di kebun karet sambil asuh adik-adiknya sebagai salah satu pelarian atas takrir Allah pada wajahnya.

Suatu hari nanti ada garis takdir lain untuk Yu Wasriah melakukan operasi membuang gelambir hitam pada wajahnya. Yu wasriah bertanya dingin “ hai kamu gembala berkepang dua, siapa namamu, siapa orang tuamu?”

Aku jawablah “aku Sri, Emakku Daimah dan Bapakku Qosim”. Yu wasri melompat turun dan mendekat memelukku, kemudian menyuruh adik-adiknya ikut main kasti bersamaku.

Setelah puluhan tahun berlalu, barulah aku tahu kenapa Yu Wasri memelukku, ternyata dikampung ini hanyaah Emak dan Bapakku yang menyayangi dan selalu membela Yu wasri saat dia kecil di olok-olok oleh teman-temannya atas apa yang terjadi pada wajahnya.

Permainan lain yang sangat kami gemari di hutan karet adalah permainan kelereng menggunakan biji karet, biji karet yang kulitnya telah tua berwarna coklat bergaris kehitaman.

Tak hanya sebagai alat permainan, tapi juga lauk bumbu lauk untuk sebagian besar warga kami, di dalam biji karet ada berwarna putih yang harus di rebus dan di peram berhari-hari untuk hilangkan racunnya, barulah kemudian di jemur dan jadi pengganti kemiri untuk campuran buat sambal.

Sangat luar biasa nikmatnya. Meskipun kadang bertaruh nyawa saat memakan biji karet ini, Bapaknya Janah pernah keracunan karena Emaknya tak memeram dengan benar, sehingga racunnya masih terasa, untunglah ada banyak pohon kelapa di kampung kami sebagai penawar racun biji karet.

Ada lagi permainan yang tak kalah seru melibatkan seluruh penggembala baik laki-laki maupun perempuan, yaitu permainan Benthik.

Menggunakan dua ranting kayu seukuran 50 cm, yang kan dilontarkan ke depan sejauh mungkin, siapapun yang bisa melempar benthik yang terlontar mengenai kembali pelontarnya maka dia akan digendong oleh pelontarnya.

Saat-saat ini yang sangat ditunggu oleh teman-teman, merasakan senangnya digendong teman, ada yang berlagak seperti naik kuda saat dalam gendongan, ada yang berlagak seperti naik motor juga saat di gendong.

Kiso adalah sosok yang paling ditakuti dalam permaina Benthik, tubuhnya yang besar dan bongsor menjadikan beban bagi siapapun yang kalah bermain dengannya.

Darwanto selalu terengah-engah kepayahan setiap kali menggendong Kiso menang Benthik dan itu menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan .Memang masa kecil adalah masa penuh imajinasi dan kreativitas yang semestinya bisa terus berkembang saat dewasa, tapi malah terkadang terkubur oleh himpitan kehidupan.

Satu lagi permainan kebun karet kami yang hanya dimainkan oleh anak perempuan gembala berkepang dua sepertiku, yaitu mengunakan pucuk-pucuk daun karet yang diikat jadi satu, seperti kumpulan rangkaian rafia warna warni yang digunakan oleh pemandu sorak.

Pucuk-pucuk daun karet itu dilontarkan berulang-ulang menggunakan sisi terluar kaki sebelah kanan berkali-kali, siapa yang mampu bertahan lama dengan tidak menjatuhkannya maka dialah pemenangnya,

Aku termasuk yang selalu kalah karena kau tak ahli dalam bidang ini, kata Emakku aku adalah Sri, yang akan ahli dalam bidang lain nantinya.

Hari-hari kami gembala kecil di kebun karet penuh dengan gelak tawa dan canda, tak ada duka, tak ada curiga, tak ada harapan juga, sampai suatu hari aku melihat sesosok anak laki-laki bersegaram biru putih berjalan lambat-lambat sepulang sekolah SMP, aku mulai berfikir mungkin ini yang emak maksudkan.

Aku harus seperti dia berseragam sekolah agar kelak orang mengenalku Sri. Suatu hari nanti anak laki-laki itu yang kan menjadi Sinder kebun karet, memjadi atasan Mandor Boden yang pongah

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

insya Allah Ibu,...ini adalah rangkaian dwilogi 1 "Namaku Sri" (kelahiran nan menakjubkan, Gembala Muda berkepang dua, Tragedi Buah Sukun, Rahasia Kolong Mushola, Niat baik yang salah, Telunjuk berjelaga, kolang kaling merah dan jarum jahit Emak). Dwi logi 2 "Namaku Sri " (Asa di kota Hujan, Cahaya yang terbuang dan tarzan Salah Arah). Sebuah kehormatan bisa bersilaturahim dengan Ibu Raihana Rasyid dan Bapak/Ibu Penulis di sini ..mohon bimbingannya nggih selamat datang di Dunia literasi, dunia baca tulis kunci gerbang peradaban zaman, dunia buku tempat ilmu bertumpu

02 Nov
Balas

Njeh Ibu, Terimakasih, matursembahsuwun sangat berkenan. insya Allah akan Ayu dilakukan saran Ibu Raihana Rasyid. mohon maaf Ibu, berkenankah untuk Ayu meminta nomor kontak ..pangapunten

02 Nov
Balas

Bisa bu guru 0813 7076 3090 , barakallah.

03 Nov

Masyaa Allah, cerita yang bagus. Kelak Sri bisa seperti anak laki-laki berseragam putih biru yang dilihatnya. Ditunggu lanjutannya ya bu guru. Salam literasi. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, bu guru.

02 Nov
Balas

Wow....ternyata bu guru penulis luar biasa sudah ada Dwiloginya. Maaf beribu maaf ibu, untuk tulisan di blog sebaiknya ndak usah terlalu panjang. Contohnya, tulisan ini bisa bu guru buat dua kali posting. Maaf , bu guru . Semoga berkenan. Barakallah.

02 Nov

Cerita yang asyik dibacs. Sukses selalu dan barakallah

02 Nov
Balas

Terimakasih Ibu .., selalu sukses kagem Ibu Siti Ropiah

03 Nov



search

New Post