budi harsono

budi harsono, guru smpn 2 ngunut tulungagung penulis pemula, pecinta lingkungan, pecinta sejarah saat ini berjuang untuk menghidupkan gerakan literasi sekolah...

Selengkapnya
Navigasi Web

AKU PAMIT

“Pak Budi, saya pamit ya. Tugas saya sudah selesai!” katanya terbata-bata. Sorot matanya tidak bergairah. Biasanya, dia selalu ceria, semangat, lincah. Apalagi kalau melihat jajan kesukaannya ada di meja.

“Tugas?” saya tidak habis mengerti.

“Ya, tugas saya untuk menghibur keluarga ini sudah selesai. Saatnya saya pamit,” nadanya makin pelan, tampak juga kesedihan di wajahnya.

Pertama kali dia datang, hanya rasa kasihan yang terlintas di benak istri saya. Kelihatan tidak terurus, badannya kecil kurus. Malu-malu dia ingin menyapa. Ada rasa takut jika tidak diterima di rumah ini.

“Masuklah. Kalau kau mau. Ikut saya nggak apa-apa,” sapa istri saya dengan rasa iba. Entahlah, biasanya tidak pernah ada rasa seperti itu. Namun kali ini berbeda. Ada rasa trenyuh melihat kedatangannya. Ada ikatan batin untuk menyapanya. Ada semangat untuk menjadikan dia sebagai anggota keluarga.

“Mana si kecil?” sapa kakung setiap pagi,.. Belum lengkap hari-hari kakung jika belum menggendong si kecil. Jika bertemu, digendongnya si kecil, ditimang dan diajak bercanda. Penuh kasih sayang.

“Selamat datang uti!” sapaan rutin setiap melihat ibuk pulang dari mushola. Disapanya dari balik pintu, sangat girang menyambut kedatangan uti. Dia tahu, uti pulang dariu mengaji.

“Terimakasih ya, kamu selalu menyambut kedatanganku,” jawab uti penuh gembira. Uti masuk rumah, kecil pun mengikuti sampai ke dapur.

“Saya nggak punya jajan kesukaanmu. Gimana ya?” uti berusaha menghibur si kecil. Melihat uti tidak punya makanan, kecil pun berbalik arah, keluar dari dapur, duduk di kursi ruang tamu, tempat yang biasa digunakan kakung duduk sambil minum kopi. Di sini kakung kembali bercanda dengan si kecil, tertawa-tawa.

“Cil, saya berangkat ya,” selalu saya ucapkan kalimat itu ketika saya berangkat ke sekolah. Kecil pun memandang sampai saya berangkat. Kadang-kadang dia mengantar sampai di teras depan untuk sekedar melihat saya berangkat.

“Yah. Kecil mati!” kata istri saya tergopoh-gopoh membangunkan saya. Saya lihat jam dinding di kamar. Pukul empat lewat lima belas. Saya terlambat bangun, karena jam dua pagi belum tidur, merawat si kecil yang lemah kesakitan. Padahal jam sepuluh tadi malam dia masih bugar, menemani saya bercengkerama dengan tamu.

“Ya, tadi malam dia sudah pamit. Katanya tugasnya sudah selesai,” jawab saya sambil mendekati kucing kesyanganku yang meringkuk kaku di sangkarnya,

“Kamu pamit beneran Cil. Terima kasih ya!” saya pegang tubuhnya telah dingin, badannya kaku.

“Lima anakku yang masih berumur dua minggu akan menghibur keluarga ini, Pak Budi,” si kecil kubungkus dengan pakaian bekas, minta dikuburkan di timur rumah.

Air mata ini tetap mengiringmu dalam doa untuk si kecil. Kucing yang menghibur semua keluarga. Terima kasih kecilku sayang

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post