ZULKIFLI

Guru Bahasa Arab MAN 3 Solok, Sumatera Barat ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Corona, Bukan Hantu Apalagi Tuhan

Pagi itu suasana di kampung Mak Sutan terlihat cerah sekali. Sang Mentari pun bersinar kuning keemasan. Sinarnya menyeruak di balik dedauanan pohon beringin tua di belakang warung kopi Mak Sutan. Sedangkan hawa dinginnya malam sudah mulai berkurang seiring terbitnya mentari. Embun putih yang biasanya menyelimuti kampung itu pun sudah mulai beranjak ke puncak bukit yang lebih tinggi.

Sementara itu, si Udin nampak serius membolak-balikkan koran terbitan kemarin yang terletak di atas meja kayu itu. Ada pula Mak Ujang yang asyik memelintir pucuk daun nipah yang disulap menjadi pengganti rokok. Tak lupa secuil tembakau pun diselipkan dan digulung bersama daun nipah kering itu. Di sisi lain, tampak pula Etek Biyai yang sedang bersiap-siap pergi mengajar ke sekolahnya tempat mengabdi. Mak Sutan pun tampak sibuk mempersiapkan warung kopinya.

"Hmm... memangnya kamu paham, Udin? Apa yang kamu baca di koran itu?” Mak ujang membuka perbincangannya dengan Udin sambil berusaha menyalakan rokok buatannya.

“Ondeh... Mak Ujang, Walaupun saya hanya tamat SD, tetapi sekedar membaca koran saya juga bisa, Mak!” Jawab Udin sedikit kesal. Maklumlah, dia seorang pemuda putus sekolah yang pantang kalah. Jangankan kalah, draw saja dia tak mau.

“Tapi, bukannya koranmu itu terbalik Udin!” Sahut Mak Sutan pula

“Ha ha ha... Saya membaca yang tersirat dibalik yang tersurat ini, Mak Sutan!” Jawab Udin membela diri. Padahal, sedari tadi dia hanya memperhatikan beberapa gambar yang ada dalam koran itu.

“Ehh... ngomong-ngomong, bukannya sekolah diliburkan, Etek Biyai? Kenapa etek pergi sekolah juga? Jangan-jangan ada udang di balik bakwan, ya?” Udin berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Itulah Udin, sekolah memang sudah diliburkan untuk mencegah penyebaran virus Corona itu. Tapi kami para guru tetap harus datang ke sekolah.” Etek Biyai mencoba menerangkan.

“Apakah guru-guru itu gak takut sama si Corona itu, Tek?” tanya Mak Ujang pula.

“Soalnya, saya lihat di TV orang-orang di kota besar sudah panik mendengar corona itu, Tek. Bahkan mereka memborong bahan makanan dan minuman dalam banyak”

“Corona itu memang sangat berbahaya. Tapi tetap saja dia bukan hantu yang mesti ditakuti sedemikian rupa. Bukan pula dia tuhan yang menentukan hidup dan mati kita.” Tiba-tiba Mak Sutan pun ikut nimbrung pembicaraan mereka.

“Kalau Corona itu hantu, nanti akan saya tangkap dia, Mak Sutan! Saya masukkan ke kebun binatang.” Ucap Udin dengan penuh keyakinan. Walaupun maksudnya bercanda saja.

“Memangnya kamu sudah paham betul siapa Corona itu, Udin? Jangan asbunlah! Sahut Mak Ujang disambut gelak tawa seisi warung.

Kali ini Udin, tak bisa berkelit lagi. Lidahnya seperti terhimpit batu besar. Karena dia sebenarnya belum begitu mengerti tentang virus Corona itu. Mendengarnya saja, baru kali ini.

“Ehem... Ehem... Ehem... Assalamu’alaikum” tiba suara gelak tawa tadi terhenti mendengar salam yang diucapkan Pak Mantari dan Angku kali yang datang bersamaan ke warung kopi Mak Sutan. Pak Mantari merupakan satu-satunya tenaga kesehatan di kampung itu. Baju dinas putih sudah bergelayut rapi di badannya. sedankan sepatu hitam mengkilatnya pun sudah melekat di kaki.

“Silahkan Masuk, Pak Mantari dan Angku Kali!” Sambut Mak Sutan kepada kedua tamu warung kopinya. “Silahkan duduk, Pak, Angku” sambung Etek Biyai pula.

“Jadi, Corona itu adalah sebuah virus yang membawa penyakit. Yang sudah tersebar di saentero dunia ini. Termasuk negara kita. Makanya kita harus tetap waspada. Menjaga kesehatan dan kebersihan diri dan lingkungan. Melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat. Corona itu jelas saja bukanlah hantu yang mesti kita takuti. Tetapi tetap kita waspadai.” Pak Mantari memberikan penjelasannya.

“Begitu juga halnya. Corona itu bukan pula tuhan. Dia adalah makhluk Tuhan juga. Sama seperti kita. Apa bedanya dengan nyamuk yang bisa menyebabkan malaria, demam berdarah dan lain sebagainya.” Sambung Angku Kali.

“Trus, Bagaimana dengan Fatwa Ulama yang melarang salat jumat dan berjemaah itu, Angku? Tanya Udin penasaran.

“Makanya dibaca lengkap-lengkap, Udin! Agar tak salah paham pula!” Mak Ujang menyambar pula.

“Sudah, Sudah... jangan mempermasalahkan yang tidak masalah pula. Fatwa itu kan hasil kesepakatan para ulama kita. Mereka sudah mengkajinya dari sisi ilmu keagamaan dan juga dengan memperhatikan penjelasan dari pihak yang berkompeten. Jadi, ya kita ikuti saja!” Jawab Angku Kali

“Betul sekali!” Pak Mantari menguatkan argumennya Angku Kali.

“Jadi, Kita tidak boleh salat berjamaah lagi di masjid? Tidak boleh mengadakan pengajian? Tidak boleh salat jumat? Udin masih bingung nampaknya.

“Hmm... sederhananya begini, Udin. Kalau di suatu daerah sudah positif ditemukan kasus Corona ini, maka Majelis Ulama kita membolehkan untuk tidak salat jumat dan berjamaah di masjid. Shalatlah di rumah kita masing-masing. Agar penyebaran virus itu bisa diatasi dengan cepat. Dan tidak bertambah banyak yang tertular nantinya. Tetapi kalau di daerah kita yang masih belum terinfeksi ini, ya tetap harus salat berjamaah dan salat jumat sebagaimana biasanya. Nah, kalau di daerah yang sudah parah, justeru tidak boleh lagi mereka salat berjamah dan salat jumat. Agar tidak semakain banyak yang terserang virus itu.” Jawab Angku Kali.

“Benar. Itulah cara kita memutus mata rantai penyebaran virus itu. Dengan tidak mendatangi keramaian yang memungkinkan untuk semakin mudahnya tersebar virus tersebut. Apalagi kalau ada yang sakit, ya segera periksakan diri ke dokter, agar cepat diketahui apakah dia sakit biasa atau karena Corona. Apalagi bagi yang baru saja kembali dari berpegian ke berbagai daerah maupun ke luar negeri.” Pak Mantari menambahkan penjelasan Angku Kali.

“Ooo... Begitu, Pak” sahut Udin sambil manggut-manggut. Entah karena paham, atau semakin bingung. Yang jelas, dia tidak ingin kena bully Mak Ujang lagi.

“Baiklah, saya akan berangkat ke puskesmas juga hari ini. Nanti kalau ada info terbaru, akan saya sampaikan lagi.” Pak Mantari mohon pamit, karena jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.

“Bawalah sekalian Etek Biyai ini, Pak Mantari. Etek akan ke sekolah juga. Kan tidak jauh dari puskesmas itu. Bolehkan Mak Sutan?” Udin mulai berulah lagi.

“ha ha ha...” pecah lagi tawa orang-orang seisi warung kopi itu.

“Boleh, Udin. Dari pada Etek nanti terlambat pula.” Jawab Mak Sutan dengan santai. Karena sudah biasa Etek Biyai menumpang dengan orang lain untuk pergi mengajar ke sekolah. Kadang dengan naik ojek, kadang naik angkot, kadang menumpang dengan siapa yang lewat saja. Sedangkan Mak Sutan sibuk melayani tamu di warung kopinya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Joss

20 Mar
Balas

Thank's Omjay

20 Mar

Siip

14 May
Balas

ceritanya lucu sekali...mantap pak

20 Mar
Balas

Terima kasih, Buk

20 Mar

Keren dan lucu, Pak...

21 Mar
Balas

Terima kasih sudah mampir, Bg...

21 Mar



search

New Post