cahya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Menakar Marah

Ketika itu pelajaran masih berlangsung dalam kelas. Tiba-tiba datang si bungsu yang masih berusia 4 tahun ke dalam kelas. Dia membawa dua utas gelang karet yang saling dikaitkan hingga menjadi lebih panjang. Pelan-pelan dia mendekatiku dari belakang. Kemudian, “bret..”, dia menjepretkan karet itu ke bagian belakangku. Serentak anak-anak tertawa. Situasi masih terkendali, aku masih bisa bersikap tenang. Namun tidak berhenti di situ, dia terus menjepretku berulang-ulang. Suasana menjadi agak repot, kegiatan kelas agak terganggu. “Salman!, janggan ganggu ayah dulu ya! main di luar dulu sana!”

Si kecil itu pun melangkah keluar kelas, diiringi senyuman anak-anak sambil menahan ketawa. Aku sedikit lega, kurasa aku bisa melanjutkan pelajaran dengan tanpa gangguan lagi. Tapi, ternyata tidak. Tiba-tiba meluncur sepotong kayu sebesar genggaman tangan. Kayu itu melayang kearahku dari luar kelas dan jatuh ke lantai setelah mengenaiku. Aku masih tidak terganggu, pelajaran masih berlangsung dengan lancar. Jam pelajaran pun akan selesai, tinggal sesi penutup sedikit lagi.

Aku dikagetkan oleh teriakan beberapa siswa yang kelihatan kaget. “Buurrr”, dari luar kelas anakku menumpahkan seember air ke lantai. Suasana kelas menjadi agak kacau. Pelajaranpun tidak terselesaikan dengan sempurna. Segera ku tutup pelajaran, kuperintahkan beberapa anak untuk mengembalikan buku pelajaran yang tadi di pinjam dari perpustakaan untuk belajar. Sebagian lain kuperintahkan untuk mengepel lantai yang tergenang air.

Kulangkahkan kaki meninggalkan kelas, untuk menemui anakku yang telah lari menjauh. Di luar kelas aku sedikit kebingungan. Aku tidak menemukan sepatuku. Sekolah kami memang halamannya masih tanah, sehingga sepatu-sepatu kami kotor oleh tanah. Setiap masuk kelas sepatu dilepas dan disusun di rak di luar kelas. Setelah beberapa saat aku mencari. “Pak!, ini sepatu bapak”, terdengar suara salah seorang siswi sambil membawa sepatuku dari dekat wc di ujung bangunan. “Ini pasti perbuatan anakku”, aku menggumam dalam hati. “Aku yang sembunyiin,.. ha ha ha”, terdengar teriakan anakku sambil sedikit berlari. Seakan memaksa tensi darah ayahnya untuk memuncak. Sambil berjalan ke kantor guru, kupanggil dia seraya mengajaknya menuju ke kantor. Sambil tersenyum penuh keterpaksaan aku bertanya, “Sebenarnya Salman mau apa?”. Bibir tak berdosa itu menjawab, “Aku mau sate,”. Ternyata ada paman penjual sate sejak tadi sibuk membakar sate di depan sekolah. Aku sudah curiga ketika anakku bikin onar pasti ada sesuatu yang dikehendakinya.

Kukeluarkan dompet dari kantong belakang celanaku. Kuambil selembar uang dua puluh ribuan, lalu kuajak anakku mendekati paman tukang sate. “Salman tunggu di sini ya, kita beli dua bungkus, yang satu nanti dikasih kakak ya!”, kataku sambil menyodorkan uang ke paman sate dan bilang “ini pak uangnya”.

Aku merasa situasi telah teratasi. Hari ini ada agenda rapat guru, aku harus siap-siap. Aku pun bergegas menuju ruang perpustakaan, untuk membereskan laptopku yang tadi kutinggal begitu saja di sana. Tugasku selain mengajar juga menjadi pengelola perpustakaan. Sekembalinya di kantor guru, kulihat anakku tengah asyik menikmati sebungkus sate. Terlihat bibir dan mukanya celemotan oleh bumbu sate.

Tak lama kemudian muncul kakaknya baru pulang sekolah. “Hai anakku, udah pulang ya?, gimana sekolahnya tadi”, ucapku membuka percakapan. Kami pun asyik bercerita sambil membantu melepas baju sekolahnya, dan menggantinya dengan baju yang sudah disiapkan ibunya sejak pagi tadi. “Itu ada sate, makan sama dede ya! Nanti kalau sudah selesai, main disini aja ya!, ayah mau rapat, jangan ganggu ayah dulu”, pesanku sebelum pergi ke ruang laboratorium tempat rapat hari ini.

Rapat dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Di tengah rapat, proyektor yang digunakan kurang berfungsi dengan baik. Aku pun bergegas ke kantor TU untuk mengambil proyektor pengganti. Sebentar kupasang dan kuganti proyektornya lalu aku duduk kembali di bangku baris ke tiga. Dalam seriusnya rapat, nongol beberapa anak kecil, anak dari bapak ibu guru yang sedang rapat. Salah satunya, Salman anak bungsuku yang dari tadi pagi sungguh telah merepotkanku. Dia mendekatiku dan meminta kursi yang dipakai ibu guru yang duduk di sebelahku. Dengan ramah ibu guru itu mempersilakan anakku duduk di sampingku. Tak lama kemudian dia pergi lagi, entah main ke mana.

Rapat inti sudah terlewati, tinggal sedikit bagian akhir. Saat itulah anakku datang lagi bersama temannya dengan membawa masing-masing selembar janur (daun kelapa muda).

“Yah(anakku memanggilku dengan seburan Ayah), bikinkan mobil pakai ini”, dia berkata sambil menyerahkan janur itu padaku.

Sambil berbisik aku perkata “kalau mobil gak bisa, bisanya ketupat atau burung”.

“Ya udah burung aja”, sahutnya sambil agak teriak.

“Sssst, gak boleh ribut”, pesanku sambil tanganku mulai menganyam janur. Sambil aku membuat burung dari janur, anakku terus ngoceh ribut dengan temannya.

“Kamu mau gak burung”, kata anakku.

“Aku maunya mobil”, kata temannya.

“Kalau mobil gak bisa”, jawab anakku.

“Gimana kalau pesawat aja untukku?”, pinta temannya.

Sambil tanganku terus bekerja menganyam janur, aku mulai gelisah karena suara-suara mereka sudah terlalu ribut dan mengganggu. Burung dari janur pun sudah jadi dan kuserahkan ke anakku. Terlihat gembira dia menerima mainan baru itu. Giliran temannya menyerahkan janur padaku sambil berkata “aku juga mau dibikinkan pesawat”. Aku hanya diam sambil agak bingung. Melihat aku binggung anakku menyahut, “gimana kalau kamu bikin burung aja seperti aku?”, dia berkata pada temannya. Anakku sambil berlari-lari di sela-sela tempat duduk bapak ibu guru yang sedang mengikuti rapat dan memainkan burung janurnya. “Ya udah aku juga mau dibikinkan burung”, kata teman anakku sambil agak manyun, mungkin karena keinginannya bikin pesawat tidak bisa terpenuhi. Kulanjutkan tanganku menganyam janur, sementara perasaanku makin tidak karuan. Di saat rapat masih serius, anakku terus ribut dan berlari disela-sela peserta rapat. Tanpa menghiraukan perasaanku anakku terus ribut bermain burung janur mainan barunya. Kuserahkan burung janur yang ke dua pada teman anakku yang dari tadi diam menunggu mainan barunya. Kupanggil anakku dan sambil berbisik aku berpesan, “Kalian mainnya di luar aja, jangan ribut, ini baru rapat kalian jangan ganggu”. Mereka pun pergi meninggalkan ruangan dengan ceria bersama mainan barunya.

Rapat hampir selesai, kepala sekolah menyampaikan pesan-pesan kusus untuk para guru. Suasana hening, beberapa guru nampak tegang menyimak kata-kata kepala sekolah. Suara ribut terdengar lagi dari pintu ruangan. Terlihat anakku dan temannya sambil teriak-teriak kecil, membawa seikat janur dipelukannya menghampiri tempat dudukku. Sebelum meraka sampai di hadapanku perasaanku sudah mulai kacau dan marah oleh kelakuannya. Tanpa merasa bersalah mereka menyerahkan janur itu padaku dan minta dibikinkan burung janur lagi. Dengan sedikit marah aku berbisik agak keras, “Kamu jangan ke sini dulu, main di luar sana!”. Anakku tak bergeming, dia tetap memaksaku untuk membuat burung janur lagi. Ku pegang lengannya sedikit lebih kuat dan agak ku bentak, “ keluar sana, main di luar”, gertakku sambil mendorong badannya. Akhirnya dia pergi menjauh, tapi terhenti dan akan kembali lagi ketika melihat temannya mendekatiku. Spontan dengan nada yang sama sambil ku dorong lengan temannya tadi untuk menjauhiku. Mereka pun keluar meninggalkan ruangan rapat, tanpa kuhiraukan lagi apa yang terjadi.

Tanpa sepengetahuanku, teryata perlakuanku tadi sungguh membuat sakit hati anak-anak tanpa dosa tadi. Berbeda dengan anakku yang mungkin sudah terbiasa dengan bentakkanku. Temannya menangis berkepanjangan mungkin meluapkan kekesalannya, karena merasa tidak bersalah tapi kena marah. Dari situ aku mulai berfikir untuk belajar lebih bijak jika mau marah. Aku harus hati-hati urusan marah. Aku betul-betul harus menakar marah, seberapa ukuran marah, pada siapa aku harus marah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ada edukasi yang bisa dibangun di rumah agar anak tahu mana rumah mana tempat kerja. Sehingga ada batas yang boleh dihampiri dan tidak. Insyaa Allah bisa diterapkan sehingga tidak perlu terjadi seperti cerita pak Cahya. Teman-teman guru dan siswa akan lebih paham.

31 Jul
Balas

terima kasih advice nya pak. semoga saya bisa menjadi bapak sekaligus guru yang lebih baik.

31 Jul

cerita yang gereget. namun, saya fokus pada pemilihan diksi yang mengalir begitu saja. indah dan keren. lanjutkan cerpen2 lainnya pak.

31 Jul
Balas

Tahapan untuk menakar marah. Dari puncak geregetan, ditemukan sebuah titik untuk bersikap lebih bijak. Luar Biasa, Pak. salam

30 Jul
Balas



search

New Post