Cecep Ahyani

Guru Bahasa Indonesia dan pegiat literasi sekolah di SMPN 3 Cirebon...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jurus Bakar Kapal dan Motivasi 3.0

Jurus Bakar Kapal dan Motivasi 3.0

Pernah mendengar jurus bakar kapal? Mungkin istilah ini belum begitu familiar di telinga kita. Yang agak akrab karena sempat trending di media pada kurun 2014—2019 adalah jurus tenggelamkan kapal. Ini aksi superberani Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Kerja, Susi Pudjiastuti, untuk memberantas illegal fishing di laut Nusantara. Selama menjabat, 490-an kapal pencuri ikan berbendera asing (Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Papua Nugini, dan Tiongkok) telah dikaramkan. Bangkai-bangkai kapal malang itu akan difungsikan sebagai “pesanggrahan” koloni ikan dan destinasi wisata laut dalam.

Sayang kontrak politik Presiden Jokowi dengan penerima anugerah Doktor Honoris Causa dari Undip dan ITS ini tidak dilanjutkan. Seandainya Srikandi dari Pangandaran ini dipertahankan Presiden dalam skuad Indonesia Maju, mungkin konflik Indonesia versus China di perairan Natuna akan berbeda alur cerita dan ending-nya.

Kembali ke jurus bakar kapal. Istilah ini kembali saya dengar saat menyimak khotbah Jumat di satu masjid desa di Kabupaten Cirebon bagian selatan. Menurut sang khatib, jurus maut ini pernah diperagakan panglima perang era dinasti Umayyah, Thariq bin Ziyad, dalam misi pembebasan Andalusia (Spanyol, Portugal, dan sekitarnya) pada 92 H (711 M).

Konon, setelah menyeberangi Selat Gibraltar, Thariq melihat gelagat kurang sedap, syaraf tempur pasukannya agak mengendur. Karena itu, ia mengeluarkan jurus sakti untuk membangkitkan kembali mental tempur dengan perintah bakar kapal dan orasi membara, “Lautan terbentang di belakang, musuh-musuh berada di hadapan, tidak ada jalan selamat bagi kalian kecuali dengan pedang!” Ya, tidak ada jalan lain bagi 12.000 pasukan Thariq selain bertempur habis-habisan melawan 100.000 serdadu Raja Roderick. Sejarah berkata, pasukan Thariq digdaya, sedangkan Roderick tewas dan balatentaranya porak-poranda.

Benar-tidaknya adegan bakar kapal dalam episode pembebasan Andalusia ini masih diperdebatkan kalangan sejarawan. Sebagian menyangsikan dengan beberapa alasan, di antaranya: kelangkaan riwayat sahih dari khasanah pustaka Islam; kapal yang mereka tumpangi pun sebagian merupakan pinjaman dari Raja Julian (rekanan Khalifah Walid bin Abdul Malik); dan yang menggelisahkan hati, legenda bakar kapal itu sedikit banyak mengecilkan dorongan intrinsik keimanan dan mental tempur prajurit muslim.

Dalam sejumlah hikayat perang, jarang diterima laporan tentang pasukan muslim yang mundur dari gelanggang tempur, meski jumlah personel dan “alutsista” tidak seimbang. (Sebetulnya secara hukum diperbolehkan mundur untuk siasat tempur atau bergabung dengan pasukan yang lebih besar). Bagi pejuang muslim, menang di medan perang atau gugur di padang tempur sama-sama beroleh keutamaan. Prinsip yang dipegang para mujahid dari zaman ke zaman adalah “Isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid).

Selaras dengan api heroisme yang takpernah padam ini, sastrawan besar Angkatan ’45, Chairil Anwar, mengungkapkan kekagumannya pada sosok mujahid tangguh, Pangeran Diponegoro: Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ pedang di kanan, keris di kiri/ berselempang semangat yang tak bisa mati.

Ternyata jurus bakar kapal ini dikisahkan sang khatib untuk melatari pesan dari mimbar tentang pentingnya motivasi diri untuk meraih prestasi tinggi (ahsanu amala). Motivasi, yang berasal dari bahasa Latin movere ‘menggerakkan’, memang hal penting dan krusial dalam tekad dan tindak perjuangan. Mengutip Uno, motivasi ini berupa dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang dengan indikasi adanya hasrat dan minat, dorongan dan kebutuhan, harapan dan cita-cita, serta penghargaan dan penghormatan. Sebelumnya, Imron memaknainya sebagai dorongan atau pengalasan untuk melakukan suatu aktivitas hingga mencapai tujuan.

Asal muasal hadirnya motivasi dalam diri seseorang juga beragam sumbernya. Mengikuti Daniel Pink, paling tidak ada tiga strata, yaitu motivasi 1.0, 2.0, dan 3.0. Motivasi 1.0 berbasis pada insting (hajat biologis) untuk survive. Muncul dorongan kuat untuk makan ketika perut keroncongan, ingin minum ketika kering tenggorokan, pengen menyentuh pasangan ketika hasrat memuncak.

Motivasi 2.0, sering juga disebut motivasi carrots and sticks (wortel dan pecut/pentungan). Dalam praktik kelola organisasi, motivasi level kedua ini berbentuk reward and punishment (imbalan dan hukuman). Berikutnya, Motivasi 3.0, yaitu motivasi intrinsik yang berangkat dari keinginan, kegemaran, dan kecintaan seseorang pada suatu aktivitas bermakna. Inilah motivasi yang diidealkan (mungkin) semua orang.

Terkait jurus bakar kapal ala Thariq bin Ziyad (kalau memang adegan ini historis), ini merupakan ijtihad politik untuk melahirkan dorongan intrinsik dalam diri melalui “tekanan” ekstrinsik. Sebentuk ikhtiar untuk membangkitkan Motivasi 3.0 melalui pengondisian praktik baik yang dipaksakan (semacam mau tidak mau, harus mau; siap tidak siap, harus siap).

Pada banyak kasus dan peristiwa, jurus ini telah memanen banyak hasil. Sekadar contoh, pada masa kontestasi Pilgub Jabar 2012, kandidat petahana, Ahmad Heryawan, membangkitkan motivasi intrinsik simpatisan dan pendukungnya dengan taglinesabisa-bisa, kudu bisa, pasti bisa” yang dipungut dari khasanah pemikiran dan budaya urang Sunda. Kita tahu, pada tahun itu Aher kembali diambil sumpah untuk jabatan kedua kalinya.

Ketika perang kemerdekaan berkecamuk di kota-kota besar di Jawa dan Sumatera pada kurun 1945—1949, jargon yang populer di kalangan tentara dan pejuang adalah “Merdeka atau Mati”. Frasa ini bergema di mana-mana. Menjadi kredo perjuangan yang dimuralkan di banyak tembok kota. Menjadi pekik pengobar semangat tempur yang diteriakkan orator ulung di corong-corong radio dan toa.

Perang Surabaya dan Serangan Umum ke Yogyakarta, yang pernah saya lihat film layar lebarnya, menggambarkan betapa kata-kata bertuah mampu mendongkrak semangat dan motivasi dalam dada. Akhirnya, perjuangan fisik yang melelahkan sejak proklamasi 1945 dituntaskan perjuangan diplomasi dalam bentuk Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949.

Dalam demo akbar di awal tahun 1966 yang mengusung Tritura (bubarkan PKI, rombak kabinet Dwikora, dan turunkan harga), sejumlah kesatuan aksi pemuda, pelajar, dan mahasiswa berhadapan dengan barikade dan moncong senjata tentara. Tujuh anak muda gugur bersimbah darah di beberapa kota, Arief Rachman Hakim, mahasiswa FK-UI salah satunya. Entah, terjangan peluru siapa yang menghentikan detak jantungnya.

Reportase sastra untuk melawan lupa sekaligus dukungan untuk saling menguatkan di masa gonjang-ganjing penuh prahara datang dari berbagai suara. Salah satunya dari penyair Taufiq Ismail. Lewat sajak “Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini”, mantan Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI ini berseru: Tidak ada pilihan lain. Kita harus/ Berjalan terus/ Karena berhenti atau mundur/ Berarti hancur. Akhirnya, takhta yang tidak untuk rakyat tumbang di tangan mahasiswa.

Setelah memaparkan kisah legendaris Thariq bin Ziyad dan ragam motivasi yang melatarinya, sang khatib menyampaikan konklusi berupa quotes dalam tiga bahasa: Lamun keyeng tangtu pareng; Where there’s a will there’s a way; Man jadda wajada.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dengan kekuatan sastra kita ubah Infonesia lebih maju

15 Feb
Balas



search

New Post