Memetik Pelajaran pada Uban
Setiap kali becermin, selalu muncul perasaan aneh. Tanpa terasa, ternyata diri ini telah berangkat tua. Wajah tak seganteng zaman mahasiswa. Memang, masih ada jejak ketampanan masa silam, namun kian hari kian memudar pesonanya. Yang paling mengagetkan, tanpa izin ba-bi-bu, ternyata rambutku telah menipis dan bertukar warna. Gigi satu dua sudah kembali ke alam baka. Pertanyaan yang muncul ke muka, ada apa dengan rambut yang mulai beranjak meninggalkan dunia hitam? Bukankah itu sunnatullah yang tak bisa ditolak kehadirannnya?
Ternyata soal uban ini pernah menjadi topik diskusi yang ramai di kalangan para jelita (jelang lima puluh tahun). Ada sebagian jelita yang memilih mengecat rambutnya dengan semir hitam. Alasannya agar mereka kelihatan tetap muda teruna. Sebagian lain memilih mengecat dengan warna pirang. Kata mereka, menyemir rambut dengan warna hitam dilarang agama.
Ada pula yang membiarkan rambutnya tampil apa adanya, hitam putih seperti gambar di layar monitor televisi zaman baheula atau judul talkshow di stasiun televisi swasta. Alasannya, tentu saja bahwa uban tak selalu identik dengan bermutu (bermuka tua). Lihat saja tampilan politikus kawakan, Hatta Rajasa, atau Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, yang tetap tampak gagah perkasa meski dengan rambut white color semua.
Aku sendiri memilih untuk membiarkan warna rambutku apa adanya. Alamiah saja tanpa rekayasa. Kalau memang tumbuh uban itu memang sudah waktunya. Yang paling penting bagiku adalah apa yang masih bisa kulakukan dengan kondisi rambut yang sudah dwiwarna ini. Aku teringat salah satu sajak Sapardi Djoko Damono “Pada Suatu Hari Nanti”.
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
Uban, bagiku bukanlah sebuah tragedi. Ia datang memberi kabar bahwa setiap orang, siapa pun dia, akan sampai pada suatu hari nanti. Hari ketika jasad sudah tidak ada lagi. Hari ketika suara tidak terdengar lagi. Hari ketika impian tak dikenal lagi.
Namun jangan khawatir, ketika saat itu tiba, masih ada harapan bahwa kita masih bisa dikenang. "Hidup seribu tahun lagi" dalam kenangan.
Jadi, uban adalah cermin itu sendiri. Semakin banyak uban, mestinya semakin banyak amal yang bisa ditabung; semakin banyak portofolio kebaikan yang bisa disiapkan; semakin banyak karya yang bisa diwariskan. Wallahua'lam.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
mantapp! semangat pak
kembali ke uban berarti kembali ke dunia putih ya,Pak...keren,salam Literasi
mantap
Sangat inspiratif, Pak Cecep. Hidup uban...! Aiih, .... Hidup Pak Cecep...! Hehee, ....
Luar biasa, lanjutkan pak cecep mga jadi penulis handal
Semoga ubanku kelak nanti menjadi sebuah cermin diriku
Semoga ubanku kelak nanti menjadi sebuah cermin diriku
Semoga ubanku kelak nanti menjadi sebuah cermin diriku