Chustini Ama

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
catatan seorang ibu

catatan seorang ibu

Gadis Kecilku Beranjak Dewasa

Malang, 7 Maret 1997. Malam Sabtu Pahing di sebuah rumah sakit bersalin. Waktu itu pukul setengah delapan malam setelah sholat isya’, lahirlah anak perempuan dari rahimku. Lengking suara tangisnya memecahkan kesunyian malam. Alhamdulillah… bayi perempuan yang lama kunantikan dan kuharapkan

Senang dan bahagia menerima titipan Allah yang begitu cantik. Kedua kakak lelakinya juga sangat gembira. Ayahnya belum tahu karena sedang berada di luar pulau. Yah.. aku memang tidak pernah ditunngui ketika melahirkan ketiga anakku. Ayah mereka berjuang mencari nafkah untuk keluarga.

Menyesal? Tidak samasekali. Ketika berkeluarga kami mempunyai perjanjian yang tidak tertulis. Suami bekerja dan saya menjaga anak-anak. Sebagai seorang istri sayapun tidak tinggal diam. Saya juga bekerja meski di dalam rumah. Menerima pekerjaan yang tidak harus meninggalkan rumah sambil menjaga anak-anak.

Hari berganti hari anak-anak makin bertumbuh. Kebutuhan makin banyak dan pemasukan sudah tidak seimbang lagi dengan pengeluaran. Kami, aku dan suami merasakan beban makin berat. Kebutuhan anak-anak makin banyak. Memasuki sekolah butuh persiapan dana. Membeli seragam dan buku-buku penunjang untuk anak. Kebutuhan makan dan sandang juga harus terpenuhi.

Kami berpasrah pada yang Maha Kuasa. Yakin saja rezeki sudah ada yang mengatur, tugas kami adalah menjaga titipanNya. Anak-anak aku sekolahkan di sekolah faforit di kotaku. Sekolah Dasar yang bergengsi dan banyak diminati orangtua murid.

Pembelajarannya memang bagus dan tentu saja uangnya juga bagus. Heheheh…. Aku tidak peduli. Yang terpikir olehku anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang terbaik. Sore hari anak-anak juga mengaji di tempat yang menurut ukuranku wah.

Serba mahal, tapi apa boleh buat?

Aku harus melakukan semua demi memberikan yang terbaik untuk anak-anakku. Harapanku, kelak mereka mendapatkan ilmu yang berguna ketika dewasa. Anak-anak melakukan semua kegiatannya dengan senang dan gembira. Tanpa beban. Caraku mengasuh anak berbeda dengan ibu yang lainnya. Jika ibu yang lain selalu mengingatkan anaknya untuk belajar, aku justru kebalikannya. Tidak pernah menyuruh anakku untuk belajar. Anak-anak aku masukkan klub olahraga atau seni. Yang laki-laki ikut bela diri yang perempuan ikut menari.

Keadaan ini bermula sejak anak-anak memasuki sekolah TK. Jadi aku perkenalkan mereka pada pelajaran lain selain di sekolah. Belajar tidak harus di sekolah. Calistung memang diajari di sekolah, tetapi untuk kerjasama, empati dan komtetisi bisa belajar di luar sekolah.

Anak-anakku bukan anak yang pandai secara kognitif, tetapi mereka mampu bersaing dengan teman yang pintar tersebut. Anak-anakku menonjol dalam bersosial. Pandai bergaul dan bisa merasakan kesulitan temannya. Mau berbagi ketika membawa bekal dari rumah.

Itulah dinamika hidup. Dan aku bisa membawa anak-anak kesuasana yang nyaman ketika berada di rumah. Selalu berbagi cerita ketika pulang sekolah. Berceloteh tentang teman=temannya. Bercerita kegiatan apa yang diberikan gurunya.

Menyenangkan? Tentu saja. Secara tidak langsung aku mengetahui semua kegiatan yang dilakukan anakku di luar rumah. Situasi ini berlangsung sampai anakku dewasa. Selalu bercerita ketika pulang dari mana saja. Semua memang ada hikmahnya. Akan tetapi membiasakan anak bercerita itu tidak mudah. Kalau tidak dibiasakan sejak kecil anak pasti kesulitan bercerita. Mereka akan ragu dan tidak percaya diri.

Aku sudah terbiasa hidup bersama anak-anak saja. Maka hanya akulah tumpuan mereka. Namun bukan berarti anak-anak tidak dekat dengan ayahnya. Ketika ayahnya telpon, maka mereka bergiliran bercerita tentang kegiatannya juga teman-temannya.

Sekarang anakku sudah dewasa. Anak lelakiku sudah 28 tahun dan spesial anak perempuanku hari ini sudah berusia 20 tahun. Sudah punya dunia tersendiri meski tetap bercerita pada ibunya. Kegiatan perkuliahan, kegiatan UKM yang diikuti dan tingkah laku temannya yang lucu serta menyebalkan. Tidak ada yang berubah ketika bercerita. Tetap seperti dulu. Penuh semangat dan minta diperhatikan.

Anak perempuanku berjualan pulsa di kampusnya. Jiwa enterpreuneur sudah aku tanamkan sejak dini. Melatih mental supaya tidak kaget ketika menghadapi kerasnya dunia. Mulai nego harga ketika mendapat job tari. Mengikuti bisnis online yang aku ajarkan sejak masih usia 15 tahun dan sudah berkembang jaringannya.

Untuk apa semua itu? Bekal dia menuju cita-citanya. Meski dia anak perempuan tapi aku tidak mengajarinya untuk bermanja-manja. Harus bisa mencari uang jajan sendiri. Harus mampu membagi waktu antara kuliah dan berbisnis.

Happy milad anakku…. Semoga diberi usia yang berkah dan bermanfaat. Buatlah dunia dalam genggamanmu. Menyongsong asa menggapai cita-cita. Menggapai matahari dan berteduh diredupnya rembulan malam. Aku, ibumu akan setia menemanimu. Cerita terus berlanjut dan ibumu masih setia mendengarkanmu.

Catatan seorang ibu di hari perempuan dunia

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

SIP. MANTAP, Bu . Lanjutkan ...!

09 Mar
Balas

Tulisan pemula... Trimksh tmn2 atas atensix

11 Mar
Balas

Saluutt. Semangat Ibu.

11 Mar
Balas



search

New Post