Buku bagi guru merupakan salah satu sarana produksi dalam proses pembelajaran. Ibarat petani buku itu seperti modal kerja yang dikeluarkan untuk menanam padi hingga panen tiba. Seperti untuk pembelian sarana pertanian, benih, pupuk, obat hama, dan biaya tenaga kerja.

Modal kerja petani untuk sekali masa panen bisa mencapai 60 persen dari pendapatan penjualan padi. Bahkan tidak jarang malah mengalami kerugian, saat gagal panen. Bila petani saja mengeluarkan modal untuk proses produksinya, apakah kita selaku guru juga mengalokasikan belanja sarana pembelajaran yang berupa buku ?

Berapa persen bapak ibu setiap bulannya menganggarkan belanja buku secara rutin ? Atau bahkan sama sekali tidak pernah membuat alokasi dana belanja buku secara rutin ?

Mari kita mencoba instropeksi. Bila sudah melakukan belanja buku secara rutin alhamdulillah. Namun bila belum mari kita membuat alokasi secara rutin. Tidak perlu banyak-banyak. Saya sendiri setiap bulan mengalokasikan belanja buku sekitar 2-5 persen dari penghasilan. Bila dinominalkan disekitar angka 100 ribu-250 ribu.

Angka itu terbilang kecil. Saya percaya bapak ibu pasti mengalokasikan lebih dari itu. Buku merupakan alat produksi bagi seorang guru. Semakin banyak membaca buku pasti kualitas pembelajaran dan pengajaran semakin bermutu. Muaranya akan menghasilkan output lulusan yang berkualitas.

Mari kita syukuri. Profesi kita ini hampir tanpa resiko seperti halnya petani yang menghadapi gagal panen. Pemerintah pun telah menghargai profesi kita dengan tunjangan sertifikasi yang memadai. Tujuannya tidak lain agar guru bisa memiliki sarana pembelajaran yang memadai. Bukankah demikian ?

Silahkan berbagi pengalaman di kolom komentar di bawah ini terkait alokasi besaran belanja buku bapak ibu. Salam sukses (*)