Yulivia

Penulis adalah Sarjana Pertanian Jurusan Gizi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pendidikan S2 ditempuh di Universit...

Selengkapnya
Navigasi Web
AKHIR PENANTIAN

AKHIR PENANTIAN

By Columba Livia

Sebenarnya ia sedang malas bergerak, tak ada semangat untuk pergi kemana-mana. Tapi ia teringat, pelajaran SD-nya dulu. Memenuhi undangan itu hukumnya wajib bagi seorang muslim. Begitu kata gurunya. Selagi tak ada ada acara yang bertabrakan, ia akan selalu berusaha untuk memenuhi undangan.

Di meja riasnya masih tergeletak undangan baralek dari seorang kerabat jauh. Walau hari panas berdengkang, diputuskannya untuk pergi baralek. Ia berdandan sedikit, lalu berganti pakaian yang dirasa layak untuk menjadi tamu sebuah alek. Meski hari terasa semakin panas, ia tetap berangkat ke tempat baralek dengan menyewa sebuah bendi.

Petunjuk jalan ke tempat baralek sudah biasa ditempuhnya. Ada marawa terpasang di simpang jalan. Kusir bendi diarahkannya ke simpang yang bermarawa itu. Setelah masuk kira kira 50 meter, ada lagi marawa untuk penanda ke rumah tempat alek. Bendi berhenti di tepi jalan. Kusir bendi dimintanya menunggu sebentar. Berjalanlah ia sendiri ke rumah tempat alek digelar.

Di rumah tempat baralek, acaranya masih seperti biasa. Mengisi buku tamu, sapa kiri kanan, makan, minum, dan berkodak. Selesai semua. Ia pun pamit dan balik ke tempat bendi dan kusir menunggu.

Sebelum naik ke atas bendi, terpikir olehnya hendak mencari angin dan mencuci mata di area persawahan. Tujuannya terarah ke Pasobasuang, pinggir Kota Payakumbuh. Sebuah kawasan sawah hijau, tempat yang dulu sering dikunjunginya.

"Pak, ka Payobasuang wak lewat yo!"

"Baa kog jauah bana, batambah bayianyo beko?"

"Ndak baa do, Pak"

Ia, bersama bendi yang ditarik kuda yang dikendalikan seorang kusir berjalan menuju Payobasuang. Senanglah hatinya, melihat sawah-sawah dan bukit-bukit di kejauhan. Diabadikannya pemandangan itu sejenak. Alhamdulillah, ia bersyukur masih Allah anugrahi untuk melihat bentangan alam nan memesona dan menyejukkan mata.

"Pak, tunggu sabanta dih, ambo ka dangau itu sabanta." Dimintanya kusir bendi menunggu sebentar. Ia langkahkan kaki menuju pematang sawah ke arah dangau kecil. Di sana, dilayangkannyalah pandangan sejenak. Namun tiba-tiba ada rasa sesak menyeruak di dada. Ditariknya napas dalam-dalam. Ditahannya rasa sesak itu. Dadanya tampak bergerak naik turun. Kelihatan pula sabak di matanya. Ditahannya pula genangan air mata yang hendak jatuh berderai.

Bagaimana tidak? Sudah dua belas kali musim bertanam padi lamanya, Syamsul, Sang Kekasih Hati pergi merantau. Selama itu pula ia setia menanti. Namun yang dinanti tak kunjung datang. Dulu, sebelum pergi merantau, Syamsul berjanji akan datang meminang setelah empat kali musim tanam padi.

Namun kini, apa kenyataannya? Dari empat kali musim tanam padi yang ia janjikan, telah lewat pula delapan kali musim tanam. Tak ada kabar berita dari Syamsul. Sang kekasih serupa hilang ditelan masa.

"Oh angin dan awan putih yang berarak, tolong sampaikan rinduku padanya!" jerit hatinya. Di dangau kecil milik petani, ia duduk sendiri. Kakinya berjuntai ke bawah memainkan rumput liar yang menjalar. Di situ ia menata hati dan jiwa yang hampa. Namun ia bertekad, selagi petani masih menanam padi, berarti masih ada harapan akan kedatangan Syamsul untuk meminangnya. Ia tetap menanti. Bahkan hingga waktu yang tak pasti.

Seekor capung terbang dan hinggap di daun padi. Binatang kecil itu seolah mendengar jeritan hatinya yang dilanda sunyi. Angin bertiup perlahan, memainkan kerudungnya hingga bergelombang. Bukit-bukit hijau berbaris, dibelakangnya menyembul Gunung Bungsu yang tampak kebiru-biruan. Sebiru rindunya dalam penantian.

"Halimah, kaukah itu?"

Ia berpaling begitu namanya disebut. Serasa suara itu sangat dikenalnya. Syamsul datang tiba-tiba, dengan sebilah sabit di tangannya. Ia hendak menyabit rumput yang subur tumbuh di tepi jalan untuk makan siang kuda bendimya.

"Iya. Syamsul....bagaimana kau tau aku ada di sini?"

"Ahh...panjang ceritanya, Limah."

Suara Halimah terdengar bergetar. Wajahnya semringah. Ada bahagia di sana. Di rongga jiwanya. Dari awal naik bendi, ia tidak memperhatikan wajah kusir bendi dengan seksama. Rupanya sang kusir adalah Syamsul yang dinantinya selama ini, selama dua belas musim tanam padi di sawah.

Salam

19.02.2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang menarik

19 Feb
Balas

Alhamdulillah..terima kasih bunda

19 Feb

Keren

19 Feb
Balas

Terima kasih cikgu. Salam

19 Feb

Rupanya sang kusir adalah Syamsul yang dinantinya selama ini, ...ternyta syamsul punya cara mmbuat halimah memendam rindu, atau menguji kesetiaan?... keren

19 Feb
Balas

Hehe..alhamdulillah...terima kasoh Pak..salam

19 Feb

Keren Buk

28 Mar
Balas



search

New Post