
Bolehkah Menjadi Guru? (Tantangan gurusiana hari ke 94)
Bolehkah Menjadi Guru?
“Bun boleh gak teteh jadi guru?” itulah pertanyaan sederhana yang ditanyakan si sulung padaku pada suatu sore, ketika kami sedang mengobrol ringan sambil beres-beres di kamar barunya.
“Teteh mau jadi guru?” tanyaku balik padanya
“Iya bun” jawabnya sambil mengangguk dengan raut muka yang sedikit manja
“Tapi… teteh mu jadi hafidz quran dulu Bun, udah itu teteh mau jadi guru, biar bisa ngajarin Ziyan” timpalnya meyakinkanku atas pertanyaan yang diutarakannya.
Rasanya jiwa ini bergetar, mendengar pentanyaan dan pernyataan seorang gadis kecil yang bahkan usianya belum genap enam tahun, sebuah keinginan mulia yang mungkin bagi sebagian banyak orang bukanlah profesi yang menjanjikan.
Pernyataan sederhana yang begitu menggugah jiwa, menimbulkan tanya yang tak biasa dalam benakku, kenapa si sulung ingin jadi guru, ingin seperti siapa sebenarnya dan apa motivasinya. Ku coba tanggapi kembali pernyataannya.
“Teteh kok mau jadi guru, emang mau kaya siapa?” tanyaku balik padanya
“Mau kaya Bu Irma” jawab si sulung dengan polosnya
Kulihat bagaimana mulut mungilnya menyebut sebuah nama “Bu Irma” dengan lantangnya, membuatku semakin penasaran untuk melanjutkan percakapan sore itu
“Ooh … mau kaya Bu Irma, kenapa mau kaya Bu Irma Teh?”
“Tetetmah suka sama Bu Irma, nagajarnya tetehmah suka” jawabnya kembali sambil terus memperlihatkan mimik menggemaskan
“Ooh teteh suka, boleh sayang teteh boleh jadi guru, teteh boleh mau cita-cita apa aja, tapi teteh gak lupakan, cita-cita utamanya apa?” jawabku sambil kembali melempar pertanyaan padanya
“Jadi hafidz quran, kan biar masuk surge ya Bun?” jawabnya sedikit lantang sambil meloncat di atas kasurnya
“Betul …” jawabku sambil memeluknya.
Betapa sebuah keinginan yang mulia, di usianya yang masih dini ia sudah memiliki keinginan yang tak biasa, ingin menjadi hafizd quran dan menjadi seorang guru. Namun yang lebih luar biasa adalah betapa sosok seorang guru begitu berpengaruh bagi seorang anak didik, memberi cinta dan mengajari dengan sangat tulus itulah yang kulihat dari sosok Bu Irma, guru kelas si sulung yang masih duduk di kelas A di RA, si sulung tentu tau dan merasakan sebuah ketulusan yang diberikan sosok gurunya, sehingga iapun tertarik menjadi seperti sosok gurunya itu. Hal ini memberi rambu-rambu padaku yang juga seorang guru, denga segala keterbatasan diri yang dimiliki, mengabdikan diri pada negeri untuk mengajari putra putri didik di sekolah, tentunya saya bisa belajar dari sosok Bu Irma, mencintai tanpa mengharap kembali, mengajari dengan setulus hati tanpa meminta imbalan berarti, hanya satu yang dingini, melihat putra putri didiknya sukses dunia dan akhirat.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar