Cucu Ratnaningsih

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
AKU PUNYA KAKAK?

AKU PUNYA KAKAK?

AKU PUNYA KAKAK?

Suasana rumah kembali sepi namun tak sesepi hati ini, tak ada seorang pun yang menemaniku. Ibu yang selalu menjadi tempat mencurahkan segala keluh kesah, kini tiada lagi karena telah berpulang tuk selama-lamanya. Betapa kehilangan ini terasa, bagaimana tidak sejak perceraiannya dengan ayah dialah yang berjibaku menafkahiku. Perasaanku hampa, pandanganku kosong. Bagaimana aku menjalani hidupku kedepannya, sekolahku baru kelas dua SMP. Haruskah aku berhenti sekolah? Haruskah aku mencari kerja untuk menafkahiku? Atau aku ikut ayahku yang sudah beberapa tahun menjadi beban adiknya dikarenakan sakit-sakitan dan tak mampu bekerja lagi.

“Rosa, carilah kakakmu!” sebuah suara membuyarkan lamunanku. Kupandangi sipemilik suara yang ternyata Ma Enik tetangga depan rumahnya dan bertanya: “kakak? Bukankah aku anak tunggal?”

“Sebetulnya kamu punya kakak seibu”, Ma Enik menjelaskan.

“Ibuku tak pernah menyebutkan aku punya kakak”, jawab Rosa masih tak mengerti.

“Ayahmu itu suami ibumu yang kedua, setelah bercerai dengan suaminya yang pertama dan punya satu anak laki-laki” Jawab Ma Enik sambil pergi meninggalkan Rosa yang masih tak percaya dengan kebar itu.

Rosa berpikir, tidak mungkin ibunya punya anak selain dia. Ibunya tak pernah bercerita kalau sebelum menikah dengan ayahnya pernah menikah dan punya anak. Tapi kata-kata Ma Enik mengganggu juga pikirannya. Karena penasaran maka malam harinya setelah tahlilan selesai dia menghampiri bibinya dan bertanya: “Bi apakah benar saya punya kakak laki-laki yang seibu tapi tidak sebapa?” Bibinya heran mendengar pertanyaan Rosa, dia pandangi Rosa dalam-dalam.

“Siapa yang bilang?” tanya Ika bibinya Rosa

“Ma Enik”, jawab Rosa sambil memandangi wajahnya bibinya. Ika diam, Rosa menunggu jawaban bibinya dengan tak sabar.

“Bi, benar engga apa yang dikatakan Ma Enik?” Rosa mendesak bibinya.

“Ya”, Ika menjawab pendek.

“Kenapa ibu tak pernah bercerita pada saya, yang lain juga ga ada yang memberi tahu?” Rosa bertanya dan seolah-olah menyalahkan semua orang. Bibinya kembali diam, lama sekali. Rosa bertambah penasaran. “Bi dimana kakak aku sekarang?” tanya nya lagi.

“Engga tahu”, jawab Bi Ika pendek.

“Kenapa engga tahu bi, itu kan keponakan bibi juga seperti aku”, Rosa bertambah tidak sabar.

“Kami sudah melupaknnya”, jawabnya lagi.

“Kenapa dia dilupakan?” tanya Rosa, dia tidak mengerti kenapa kakanya dilupakan oleh keluarganya.

“Karna dia cacat dan selalu merepotkan ibumu serta saudara-saudaranya, sudah kamu jangan tanya itu lagi” Jawab Bi Ika menutup percakapan.

Rosa semakin tak mengerti, ia punya kakak laki-laki tapi ibu dan keluarganya melupaknnya sampai aku pun tidak pernah diberi tahu. Semalaman dia berpikir, kalau kakaknya masih ada dimanakah dia berada? Kepada siapa dia harus bertanya? Karena semua bibi dan pamannya tidak ada yang mau memberitahu.

Keesokan harinya Rosa teringat ibunya punya seorang sahabat yaitu Bu Komariah, maka ia memutuskan untuk kerumahnya, kebetulan masih satu kampung dengannya. Setelah siap pergilah ia ke rumah Bu Komariah yang biasa disapa dengan Bu Kokom. Bu Kokom senang melihat Rosa main kerumahnya. Dia berharap rasa duka di hati Rosa segera hilang dan tetap semangat untuk menjalani hidup sampai akhir hayatnya.

“Bu Kokom maaf saya mau tanya”, ucap Rosa setelah duduk berhadapan dengan Bu Kokom.

“Mau tanya apa?” Bu Kokom menyahut dengan nada agak heran.

“Betulkah saya punya kakak seibu?” kata Rosa sambil memandangi wajah Bu Kokom. Rosa yakin Bu Kokom akan memberikan informasi yang sebenarnya. Bu Kokom memandangi Rosa seolah ingin mendalami perasaan Rosa.

“Dari siapa kamu mendengar bahwa kamu punya kakak laki-laki seibu?” Bu Kokom balik bertanya.

“Kata Ma Enik dan Bi Ika”, jawab Rosa. Bu Kokom menarik nafas panjang, pandangannya menerawang jauh seolah sedang melakukan kilas balik tentang kehidupan 30 tahun yang lalu.

“Bu, betul engga?” Rosa kembali bertanya.

“Rosa, betul kamu punya laki-laki seibu”, Bu Kokom menjawab dengan lirih.

“Dimana dia sekarang, kenapa Bi Ika bilang keluarga sudah melupakannya?” air mata mulai menggenang di pelupuk mata Rosa.

“Dia ada, sehat, hidup aman dan nyaman”, Bu Kokom menenangkan Rosa.

“Di mana? Kenapa aku tak pernah diberitahu siapapun? Dan kenapa ibu melupakannya? Apa karena dia cacat?” Rosa memberondongkan pertanyaan pada Bu Kokom.

“Setelah ibumu bercerai dengan suaminya yang pertama, kakakmu dibawa oleh ayahnya dan diurus oleh nenek dari ayahnya” Bu Nur menjelaskan.

“Apa benar dia cacat?” Rosa bertanya lagi

“Ya, iya tak bisa jalan sejak lahir, segala sesuatunya bergantung kepada orang lain” Bu Kokom menjelaskan lagi.

“Terus sekarang dia ada dimana?” Rosa menyelidik.

“Untuk apa kamu menanyakan dia berada dimana?” tanya Bu Kokom agak heran.

“Saya ingin bertemu”, jawab Rosa

“Kalau begitu keinginanmu saya akan menelpon ayahnya”, Jawab Bu Kokom.

Bu Kokom segera mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Setelah selesai percakapannya dengan yang dihubunginya, Bu Kokom menjelaskan bahwa mereka boleh menemui “Yusuf” yaitu kakaknya Rosa pada hari Minggu pagi jam 8 agar istri dari ayahnya Yusuf atau ibu tirinya Yusuf ada di rumah. Dan Bu Kokom menjelaskan bahwa setelah delapan tahun ayahnya Yusuf bercerai dia menikah dengan seorang gadis priangan yang bekerja di suatu lembaga. Dan tiga hari setelah menikah, Yusuf langsung diurus oleh ayahnya dan ibu tirinya.

Rosa membayangkan, kakaknya diurus ibu tiri. Ia sering mendengar cerita dari sinetron atau orang-orang, ibu tiri itu sangat kejam. “Kasihan sekali Yusuf, pasti ia menderta” fikir Rosa.

Hari Minggu yang dijanjikan pergilah Rosa dan Bu Kokom ke rumah Pak Gani, ayahnya Yusuf. Tidak lama, 30 menit sudah sampai. Sebuah rumah yang belum selesai, jangankan dicat, diplester (tembok halus dari semen pun belum), atap bagian luarnya masih kelihatan genteng beserta usuk bambunya. Pagar dari bambu yang kelihan sudah mulai agak lapuk. Bagaimana Yusuf nyaman tinggal di rumah ini, luarnya saja begini apalagi dalamnya, gumam Rosa.

Berkali-kali Bu Kokom mengucapkan salam tapi tidak ada yang menjawab. Terdengar suara dari Televisi dari ruangan rumah sebelah kiri. Bu Kokom dan Rosa pun menuju ke sumber suara. Terlihat pintunya terbuka sedikit. Dari pintu tersebut Rosa bisa melihat ada ruangan tidur dengan sebuah risbang ukuran 1,5m x 2m, kamar mandi dengan penataan khusus yaitu pada dindingnya dipasang besi berdiameter 2cm sepertinya sebagai pegangan, dan dua buah keran air. Di depan kamar ada sebuah ruangan dengan ukuran 2,5m x 3,5m. Diruangan tersebut terdapat sebuah meja yang diatasnya terletak sebuah televisi 17Inch. Ternyata dugaan Rosa meleset karena keadaan di dalam rumah sangat resik, apik, dan teduh.

Rosa terpana melihat sosok seorang laki-laki sedang duduk sila, kulitnya putih, tinggi badannya kira-kira 160cm sedang menonton televisi. Roman wajahnya begitu teduh dan tenang, senyumnya menghias bibir tipisnya menggambarkan betapa bahagianya dia. Bu Kokom memperhatikan tingkah laku Rosa. “Itulah Yusuf kakakmu”, bu Kokom menjelaskan. Rosa tersentak kaget.

“Betulkah itu Yusuf kakak ku?” Rosa tak percaya.

“Iya, itu Yusuf”, Bu Kokom menjelaskan.

“Bukannya Yusuf cacat?, dia tidak tampak cacat sedikitpun?” Rosa bertanya keheranan.

“Ya, Yusuf beruntung. Dia dilupakan oleh ibu dan saudara-saudaranya, tapi dia mendapat ibu tiri yang baik”, jawab Bu Kokom.

“Bukannya ibu tiri itu jahat?” Rosa menyanggah.

“Ibu juga awalnya mengira begitu, tapi Yusuf diperlakukan dengan baik oleh ibu tirinya, dia dilatih untuk bisa berdiri sendiri, mandi sendiri, makan sendiri, pakai baju sendiri bahkan dia dilatih berbicara”, Bu Kokom menjelaskan. Bu Kokom mengetahui hal itu semua karena sebenarnya selama 30 tahun ini dia selalu memantau perkembangan Yusuf.

“Kakakku engkau beruntung, berada di keluarga yang sangat menyayangimu”. Gumam Rosa. “Ah aku belum tentu bisa hidup nyaman sepertimu, karena aku harus bekerja keras untuk menghidupiku sendiri. Peninggalan ibu hanyalah sebuah rumah ukuran 9m x 3m yang entah bisa ku pertahankan atau ku jual untuk mencukupi kebutuhan ku sehari-hari sampai kelak ada yang menikahiku. Tak terasa air mata berlinang membasahi pipi Rosa, Bu Kokom membiarkan Rosa meluapkan perasaannya.

“Bu, mau ke Pak Gani?” terdengar suara seorang ibu menyapa kami.

“Iya bu”, jawab Bu Kokom, “tapi sepertinya tidak ada” lanjutnya lagi.

“Pak Gani beserta istri dan anaknya yang bungsu baru saja keluar, padahal biasanya mereka keluar pukul 8 pagi” tetangga Pak Gani ,enjelaskan.

“Iya gak apa-apa bu, memang salah kami, janji jam 8 pagi mau kesini” Bu Kokom mengaku bersalah, karena saat itu pukul 11 siang, jadi wajar kalau Pak gani tidak ada di Rumah.

“Kami permisi bu” kata Bu Kokom pamitan. Iya bu silahkan nanti saya sampaikan pada Pak Gani kalau ada tamu.

Bu Kokom dan Rosa pun beranjak dari Rumah Pak Gani. Bu Kokom menasehati Rosa agar tidak usah risau dengan keadaan Yusuf, karena Yusuf hidup tenang tidak kekurangan satu apapun. Dia begitu bahagia seperti yang dilihat mereka tadi. Rosa pun merasa lega karena telah menemukan kakaknya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post