LITERASI, BUKAN MIMPI
Selang beberapa hari yang lalu, saya mengikuti kegiatan Sosialisasi Gerakan Literasi yang diikuti oleh ratusan guru. Mereka terlihat sangat bersemangat untuk mengikuti setiap sesi yang dipandu oleh setiap narasumber kegiatan. Dari riuhnya di ruang kegiatan, tergambar jelas bahwa mereka memiliki potensi besar untuk dapat mendorong keberhasilan program literasi yang digagas pertama kali oleh Kemendikbud dan direspons oleh setiap pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten. Melihat semangat yang diperlihatkan mereka, tergambar sekali akan berhasilnya penerapan program ini di sekolahnya masing-masing. Akankah semangat itu terus membesar atau justru hilang tak berbekas? Entahlah, karena pada level sekolah, keberhasilan program ini tidak dapat ditentukan oleh mereka sendiri tetapi ditentukan pula oleh para stakeholder sekolah lainnya.
Ilustrasi tersebut menggambarkan bagaimana semangat para guru yang rata-rata masih berusia muda untuk mendorong laju berkembangnya Gerakan Literasi Sekolah. Keinginan kuat agar program literasi dapat mewarnai suasana pembelajaran di sekolahnya masing-masing, terlihat dari antusias mereka dalam mengikuti setiap sesi kegiatan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, nuansa akademik yang mewarnai kehidupan di sekolah tidak didukung oleh riuh-rendahnya kegiatan literasi. Sekolah seakan menjadi lembaga penihilan literasi sebagai kekuatan besar yang dapat mendorong keberhasilan proses pembelajaran. Sekolah seakan sepi dengan nuansa literasi di dalamnya. Kenyataan demikian, tentunya tidak terjadi pada beberapa sekolah yang memang memiliki kesadaran akan besarnya manfaat literasi bagi perkembangan pendidikan setiap siswanya.
Indikator sepinya sekolah dari nuansa literasi bisa diihat dari kondisi perpustakaan yang dimilikinya. Tidak sedikit sekolah yang telah memiliki perpustakaan tetapi tidak pernah dibuka sebagai ajang eksplorasi ilmu oleh siswa dan gurunya. Alhasil, perpustakaan yang dimiliki ibarat gudang buku paket yang akan dibuka ketika awal tahun pelajaran, saat siswa dipinjami buku paket pembelajaran. Sedikit sekali sekolah yang mengoperasionalkan perpustakaan secara konsisten dengan petugas yang permanen. Kalaupun perpustakaan tersebut dioperasionalkan, petugasnya hanyalah guru rumpun bahasa yang tidak bisa terus-menerus melayani siswa untuk meminjam dan membaca buku perpustakaan. Kondisi lebih parah, saat ini masih ada sekolah yang belum memiliki perpustakaan sama sekali.
Cerita tentang perpustakaan di atas hanyalah cuplikan kecil dari kondisi yang sebenarnya terjadi. Masih banyak cerita kurang mengenakkan tentang pengelolaan perpustakaan sekolah yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberhasilan implementasi Gerakan Literasi Sekolah. Perpustakaan dalam kapasitas sebagai jantungnya pendidikan belum banyak dirasakan, oleh setiap siswanya.
Belum lagi tuntutan pembuatan pojok baca pada setiap sekolah yang dapat mendukung kegiatan siswa membaca selama 15 menit. Kegiatan ini belum optimal terlaksana pada setiap sekolah dengan dilatarbelakangi puluhan alasan, di antaranya ketiadaan buku yang dimiliki oleh pihak sekolah. Kegiatan yang menjadi kewajiban sekolah sebagai bagian dari fasilitasi siswa tersebut hanya dapat terlaksana pada sebagian kecil sekolah saja.
Dalam tataran pendidikan, ruh yang dihembuskan dan menjadi tugas utama sekolah adalah mendorong lahirnya life a long education, pendidikan sepanjang hayat. Pasca siswa belajar di sekolah, pada diri mereka harus terbangun pemahaman bahwa belajar dan belajar merupakan tuntutan yang wajib dipenuhi. Belajar bukanlah sebagai kewajiban yang harus mereka penuhi untuk dapat mengisi kehidupan ini, tetapi belajar harus menjadi kebutuhan mereka. Refleksi dari langgengnya belajar dalam diri seseorang adalah adanya proses literasi yang dilakukan selepas mereka mengenyam pendidikan formal. Dengan kata lain, pasca lulus dari pendidikan formal, mereka sudah menjadi seorang literat.
Akan halnya dengan penerapan Gerakan Literasi Sekolah pada seluruh jenjang, jalur, dan jenis pendidikan, setiap stakeholder pendidikan sudah selayaknya memberi dukungan terhadap keberlangsungan gerakan tersebut. Gerakan ini menjadi bagian dari program yang akan menguatkan sekolah sebagai lembaga akademik guna mempersiapkan calon penerus bangsa. Untuk menghadapi fenomena kehidupan masa depan yang semakin kompleks, semua siswa harus dibekali dengan pemahaman bahwa bekal hidup bukanlah materi pelajaran yang mereka terima selama mengenyam pendidikan, tetapi bekal hidup dalam bentuk kesadaran akan pentingnya literasi harus tertanam kuat, sekalipun sudah tuntas mengenyam pendidikan formal.
Moment penerapan gerakan ini sudah sepantasnya direspons positif oleh sekolah, sehingga sekolah bukan semata lembaga yang men-drill pengetahuan kepada siswa dengan diakhiri oleh pemberian nilai pada ijazah. Sekolah harus dijadikan lembaga persiapan dan penguatan terhadap siswa agar mereka memiliki kesadaran bahwa belajar tidak akan berakhir sejalan dengan berakhirnya pendidikan formal.
Lewat gerakan literasi, sekolah harus memberi wawasan luas bahwa menimba ilmu merupakan upaya yang tidak terbatas ruang dan waktu. Salah satu upaya untuk melakukan pencarian ilmu itu dilakukan, di antaranya melalui proses literasi.
Beberapa kajian mengungkapkan bahwa istilah ‘literasi’ ini telah melewati batasan yang dipahami sebagian besar orang. Selama ini literasi hanyalah dipahami sebagai kemauan dan kemampuan membaca dan menulis. Namun, merujuk pada kajian yang dikeluarkan World Economic Forum pada tahun 2015, ternyata istilah ‘literasi’ telah berkembang lebih luas lagi. Literasi sudah terkategori menjadi literasi bahasa, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewarganegaraan.
Mengacu pada hasil kajian di atas, semakin kuatlah peran literasi dalam ikut mewarnai kehidupan ini. Dengan demikian, semakin besarlah pengaruh kemampuan literasi siswa terhadap keberhasilan kehidupannya kelak.
Berangkat dari uraian di atas, sudah sepantasnya sekolah di bawah kepemimpinan kepala sekolah dengan dukungan dari para guru, dapat mendorong potensi siswa untuk menjadikan seorang yang literat melalui proses literasi. Dengan demikian, literasi menjadi kebutuhan utama dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. –DasARSS.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Seru, informatif! Keren Pak! Ajang kreativitas! Literasi jadi jati diri bukan sekadar basa basi.
Dengan dukungan disdik (pemda) KBB in sya Allah kami siap menuju KBB literat.
Terima kasih atas komentar & perhatiannya. Bursa buku Gramedia, kegiatan pihak Gramedia, Bu.
Leres pisan mengembangkan literasi perlu dukungan dari semua pihak, salam literasi
Nilai hakiki dari literasi adalah kesungguhan membangun diri menjasi pribadi yang EKSIS, edukatif, kreatif, selektif, inovatif dan simpatik....Sukses selalu pak :)
Nilai hakiki dari literasi adalah kesungguhan membangun diri menjasi pribadi yang EKSIS, edukatif, kreatif, selektif, inovatif dan simpatik....Sukses selalu pak :)
Nilai hakiki dari literasi adalah kesungguhan membangun diri menjasi pribadi yang EKSIS, edukatif, kreatif, selektif, inovatif dan simpatik....Sukses selalu pak :)
Pa Kasi usul lagi ke Gramedia, supaya ada lagi bazar buku murah, untuk menambah koleksi buku perpustakaan.
Pa Kasi usul lagi ke Gramedia, supaya ada lagi bazar buku murah, untuk menambah koleksi buku perpustakaan.