SASTRA YANG TERMARGINALISASI?
A. Pendahuluan
Sastra merupakan jenis kesenian yang berada pada sosisi kurang menguntungkan. Sastra benar-benar menjadi bagian yang lepas dari sebagian besar kehidupan masyarakat kita saat ini. Sastra tidak begitu banyak mendapat perhatian dari kalangan masyarakat itu sendiri, demikian pula perhatian dari kalangan generasi muda. Sastra seakan-akan telah termarginalisasi dari sisi kehidupan mereka. Kenyataan tersebut jauh berbeda dengan jenis kesenian lainnya. Jenis kesenian yang dimaksud seperti seni rupa, film, teater, musik, bahkan seni tari. Jenis kesenian di atas telah memperlihatkan perkembangan yang cukup berarti jika dibandingkan dengan perkembangan sastra.
Pada lembaga pendidikan formal, sejak sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas, struktur kurikulum yang diberlakukan menyajikan mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai bagian materi yang harus dipelajari oleh seluruh siswa. Pada mata pelajaran tersebut termuat materi apresiasi sastra. Pemuatan materi apresiasi sastra merupakan upaya untuk menumbuhkan dan menguatkan kemampuan siswa dalam bersastra, baik kemampuan mengapresiasi, maupun kemampuan berekspresi sastra. Melalui sajian pembalajaran sastra, siswa diharapkan akan memiliki kemampuan yang mumpuni, sehingga akan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan mereka pada masa kini dan masa datang.
Menelaah perkembangan yang ada, ternyata, hasil pembelajaran sastra tak begitu menggembirakan. Sastra masih tetap sebagai jenis kesenian yang tak banyak dilirik masyarakat, sehingga berimbas kepada para siswa. Mereka masih menganggap bahwa materi pelajaran sastra bukan materi yang dibutuhkan dan akan berkontribusi dalam kehidupannya.
Dalam kaitan dengan paparan di atas, tulisan ini mengarah pada upaya penyajian pembelajaran sastra oleh guru. Hal ini dipandang perlu dibahas karena guru merupakan salah satu sosok yang bisa menentukan hitam-putih para siswanya. Tentunya, dalam hal ini tidak pula menafikan faktor lain dalam pembelajaran, seperti kurikulum, sarana dan prasarana, serta faktor pendukung lainnya.
Pembelajaran sastra tentu harus diajarkan oleh guru yang linier, yaitu guru yang berangkat dari kepemilikan ijazah lulusan program studi bahasa dan sastra Indonesia. Namun, tidak cukup dengan itu, mereka pun harus menjadi sosok yang memahami sastra dengan cukup mendalam. Paparan tersebut mengesampingkan guru bahasa Indonesia di sekolah dasar karena kapasitas mereka merupakan guru kelas yang harus menguasai seluruh mata pelajaran sebagaimana yang tertuang dalam struktur kurikulum.
Bila melihat kenyataan di sekolah menengah pertama dan di sekolah menengah atas, pembelajaran sastra lebih banyak disajikan oleh guru-guru dengan kualifikasi khusus karena mereka merupakan guru yang memiliki spesialilasi untuk mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Guru pada kedua jenjang pendidikan tersebut sudah menggunakan sistem guru mata pelajaran, sehingga mereka akan berkonsentrasi pada mata pelajaran yang diampunya. Dengan demikian, mereka yang mengajarkan Bahasa Indonesia di sekolahnya merupakan orang-orang yang dianggap memiliki pemahaman dalam mata pelajaran tersebut. Secara akademik, guru-guru mata pelajaran pada jenjang ini pada umumnya memiliki kualifikasi sarjana, sehingga tentunya merupakan sosok yang pernah mengenyam materi bahasa dan sastra Indonesia di perguruan tingginya dengan lebih mendalam. Demikian pula, mereka merupakan sosok yang pernah mempelajari sastra secara khusus.
Namun, pada kenyataannya tidak begitu banyak hasil yang dapat dilihat. Pada umumnya siswa yang telah mengenyam pendidikan pada jenjang tertentu menganggap sastra sebagai materi pelajaran yang tak akan banyak berkontribusi serta membantu mereka dalam menghadapi fenomena kehidupan ini. Sastra adalah materi yang patut diperhatikan dan dipelajari mana kala mereka masih berstatus sebagai siswa, sehingga ketika mereka berubah status bukan sebagai siswa lagi, lupalah apa itu sastra.
Kenyataan di atas merupakan bentuk pemarginalisasian terhadap sastra. Pemarginalisasian yang merupkan efek dari lahirnya sikap dan pandangan siswa yang menganggap bahwa materi sastra bukan materi yang memiliki kebermanfaatan dalam kehidupannya. Sastra merupakan jenis kesenian yang tak memberi arti terhadap kehidupan mereka. Arti kehidupan dalam ranah sosial, maupun arti kehidupan dalam ranah ekonomi.
Pemarginalisasian tersebut memang bukanlah salah siswa. Hanya kadang sadar atau pun tidak sadar, guru Bahasa Indonesia terlalu suntuk untuk menggarap materi bahasa Indonesia, daripada materi sastra Indonesia. Fenomena ini bukan sesuatu yang terkondisikan begitu saja, tetapi sudah terlihat saat guru-guru tersebut masih dalam predikat calon guru, saat mereka masih menimba ilmu di perguran tinggi. Mereka terlalu banyak bergulat dalam kajian bahasa dan sedikit sekali dalam kajian sastra. Dari sini kita kadang bisa melihat begitu sedikit mahasiswa yang bergulat dalam kajian sastra. Mereka lebih senang bergulat dalam kajian bahasa.
B. Pembenahan Pembelajaran
Kenyataan tentang pemarginalisasian sastra merupakan tantangan nyata yang dihadapi oleh para guru Bahasa Indonesia. Mereka harus benar-benar memahami kondisi sastra yang berada di pinggir jurang keterpurukan. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya untuk melakukan pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, terutama untuk pembelajaran materi sastra.
Pembenahan pertama yang dilakukan di antaranya mengubah paradigma pembelajaran bahasa Indonesia dalam diri setiap guru. Guru harus menyadari bahwa mengajarkan sastra sama pentingnya dengan mengajarkan bahasa. Dengan demikian, akan lahir keseimbangan pemberian materi bahasa dan materi sastra.Keseimbangan pemberian materi seperti itu sebenarnya belum cukup pula ketika kesadaran guru dalam mengajarkan materi sastra tidak terarah pada tujuan pembelajarannya. Seperti yang tertuang dalam kurikulum, arah pembelajaran sastra adalah pada pelahiran kemampuan kemampuan siswa untuk mengapresiasi dan berekspresi sastra. Dengan demikian, langkah ini tentu akan meninggalkan bentuk pembelajaran yang mengarah pada kepemilikan pengetahuan tentang sastra. Dengan kata lain, pengajaran yang diberikan guru adalah pembelajaran sastra, bukan pembelajaran tentang sastra.
Pembenahan kedua adalah menjadikan guru sebagai penikmat sastra. Banyak disinyalir bahwa para guru mata pelajaran Bahasa Indonesia bukan kalangan yang tergolong penikmat sastra. Mereka mengajarkan materi sastra hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Fenomena ini harus dikikis dalam diri para guru Bahasa Indonesia. Mereka harus menjadikan dirinya sebagai penikmat sastra. Apalah jadinya jika guru yang mengajarkan sastra merupakan orang-orang yang tak mengenal dan tak pernah mengapresiasi sastra. Dengan kondisi guru sebagai penikmat sastra, mereka akan memiliki kemudahan dalam mengajarkan materi sastra. Lebih jauh lagi, guru sastra akan menjadi contoh nyata bagi para siswanya dalam hal menikmati karya sastra.
Pembenahan ketiga adalah menjadikan sastra sebagai bagian peningkatan status sosial para siswa. Sampai saat ini budaya menulis karya sastra belum menjadi bagian dari kehidupan siswa. Menulis karya sastra masih dianggap bagian eksklusif dari kehidupan, sehingga para siswa masih menganggap bahwa yang berhak menulis karya sastra hanyalah sastrawan. Pandangan seperti itu haruslah dikikis oleh guru. Guru harus memberi gambaran pada siswa bahwa karya sastra bukan milik para sastrawan, tetapi miliki semua orang, termasuk milik siswa. Langkah untuk membentuk kebiasaan ini adalah menyediakan sarana penampakan ekspresi siswa dalam bentuk karya sastra. Sarana sederhana yang bisa dilakukan adalah membuat majalah dinding yang mengakomodasi setiap karya siswa. Pengadaan majalah dinding ini akan menjadi stimulus bagi siswa untuk berekspresi. Mereka akan memiliki kebanggaan tersendiri ketika karyanya dapat dikomunikasikan melalui majalah dinding. Media lainnya yang dapat digunakan adalah berbagai penerbitan koran dan majalah sekolah maupun umum. Bahkan, bila melihat fenomena perkembangan saat ini, setiap karya siswa dapat dimuat pada media on line. Guru harus menjadi penyalur berbagai karya siswa pada berbagai moda penerbitan.
Pembenahan keempat adalah mengarahkan pembelajaran materi sastra sebagai sarana pemenuhan ekonomi siswa. Pelahiran karya oleh siswa bukan merupakan pekerjaan sia-sia yang tak memberi efek apa pun. Karya siswa yang baik akan memberi efek pada pemenuhan kebutuhan ekonomis siswa. Langkah ini bisa dilakukan dengan cara memberi honor atau imbalan seadanya untuk berbagai karya sastra siswa yang dimuat di majalah dinding. Siswa kadang tak melihat besar kecilnya honor atau imbalan, tetapi yang mereka lihat adalah penghargaan atas jerih payah yang mereka lakukan. Mereka sedang membutuhkan pengakuan eksistensinya. Lewat pemuatan karya mereka itulah, kebutuhan pengakuan eksistensinya terpenuhi.
Dengan mengarahkan pembelajaran sastra pada keempat hal di atas, minimal guru telah mendorong agar siswa berbalik arah dari sikap acuh tak acuh menjadi sosok yang mampu mengapresiasi dan berekspresi sastra. Dengan demikian, kehidupan utilitarian yang di antaranya mengarahkan kehidupan pada pementingan ekonomi dapat diantisipasi. Perlu disadari bahwa rendahnya kemampuan apresiasi sastra masyarakat, khususnya generasi muda berpangkal pada kurang adanya keyakinan akan manfaat karya sastra di tengah suasana kehidupan masyarakat yang utilitarian tersebut.
C. Penutup
Adalah tanggung jawab kita semua, setiap stakeholder pendidikan untuk melakukan pembenahan pada berbagai hal, terutama dalam hal ini pembenahan terkait dengan pembelajaran sastra. Kesadaran dan kemauan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk terus melakukan perbaikan dalam pembelajaran sastra yang dilakukannya merupakan pemicu perubahan pemahaman siswa akan materi sastra yang selama ini dipelajarinya.
Melalui keempat langkah tersebut, materi sastra yang selama ini terasa termarginalisasikan akan berada pada posisi lebih baik lagi. Dengan mengarahkan pembelajaran sastra pada keempat hal tersebut, minimal siswa diharapkan akan lebih menyenangi sastra karena ada kebermanfaatan dari pembelajarannya. –DasARSS.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap! Apresiasi dan ekspresi karya sastra butuh keteladanan. Bagaimana mungkin siswa senang terhadap pembelajaran sastra, gurunya sendiri kurang senang atau acuh tak acuh terhadap sastra.
Keteladanan dari guru sangat dibutuhkan.
Mari menyukai dan mendalami sastra.
Harus berangkat dari guru dahulu.
Dalam konteks sastra bahasa merupakan media penyampaian karya sastra, seperti gerak dalam seni tari serta warna dalam seni lukis.
Assalamualaikum wr.wb., Sastra dan Bahasa itu berbeda walau saling berkaitan satu sama lain? Mohon penjelasannya. Haturnuhuuuun...
Diperlukan goodwill dari pemerintah untuk memajukan kesusastraan,misalnya konon di negara Inggris seseorang yang dicalonkan menjadi pahlawan diharuskan mampu membuat surat cinta untuk kekasihnya, surat cinta dapat dipastikan indah atau setidaknya berusaha merangkai kata seindah mungkin, dan itu dapat dikatakan sebuah karya sastra pun seorang pejuang perang tidak hanya berkutat dengan bau mesiu dan bau amis darah.