Dadang A. Sapardan

Dadang A. Sapardan lahir di Bandung pada 15 Mei 1968 dari pasangan H.U. Djamaludin dengan Hj. Siti Syadiah. Menikah dengan Hj. Aah Masruah pada 14 Mei 1995.&nbs...

Selengkapnya
Navigasi Web
UJIAN NASIONAL DIHENTIKAN, ADAKAH PENGGANTINYA?

UJIAN NASIONAL DIHENTIKAN, ADAKAH PENGGANTINYA?

Dadang A. Sapardan

(Kabid Pend. SMP Disdik Kab. Bandung Barat)

Berkenaan dengan perubahan kebijakan baru Kemendikbud melalui penerbitan regulasi yang dikemas dalam konsep Merdeka Belajar, terdapat beberapa perubahan mendasar dalam implementasi teknis pendidikan, salah satunya terkait dengan pelaksanaan asesmen pada setiap sekolah. Regulasi yang dimaksud adalah Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan dan Ujian Nasional. Pada regulasi tersebut secara tersurat mengungkapkan bahwa Ujian Nasional (UN) yang selama ini menjadi muara keberlangsungan pembelajaran siswa kelas akhir setiap jenjang satuan pendidikan, akan dilaksanakan terakhir kalinya pada tahun 2020. Padahal, selama beberapa tahun belakangan ini UN merupakan siklus kebijakan pendidikan dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses akhir pembelajaran siswa pada setiap jenjang sekolah menengah.

Selama ini UN merupakan bentuk asesmen akhir yang menguras banyak energi berbagai pihak yang turut terlibat langsung dalam pendidikan. Bahkan bukan itu saja, UN menjadi moment yang cukup menegangkan karena sangat strategis dalam penentuan keberlangsungan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Hal itu terjadi karena Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dilaksanakan oleh sekolah bersandar pada hasil perolehan nilai siswa saat pelaksanaan UN. Kebijakan tersebut berdampak pada berlomba-lombanya seluruh sisw—tidak jarang pula dibantu oleh orang tuanya—untuk mendapatkan nilai UN setinggi mungkin sehingga dapat dijadikan tiket masuk pada sekolah yang diidamkannya. Namun, sejalan dengan perkembangan waktu UN bukan satu-satunya tiket untuk melanjutkan lagi, bahkan pada tahun 2020 ini UN sama sekali tidak dilaksanakan—berkenaan dengan merebaknya pandemi Covid-19 pada hampir sebagian besar belahan dunia, termasuk Indonesia—kecuali pada satuan pendidikan di beberapa daerah yang telah terlanjur telah melaksanakan.

Peniadaan UN dalam kebijakan pendidikan dilakukan karena berbagai alasan, di antaranya padatnya materi yang dijadikan soal pada pelaksanaan UN sehingga siswa dan guru memiliki kecendrungan untuk mengarah pada penguasaan konten dalam menghadapi UN bukan pada penguasaan kompetensi penalaran atau cara berpikir logis. UN telah mengarah pada pengurasan energi semua pihak—siswa, guru, orang tua, dan sekolah—karena menjadi indikator keberhasilan siswa yang ditandai dengan keberlanjutan siswa pada jenjang sekolah lebih tinggi yang jadi ekspektasinya. Padahal, beberapa tahun terakhir UN merupakan upaya mengarahkan pada tujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Selain itu, UN hanya sebagai sarana yang cenderung mengeksplorasi kemampuan siswa pada satu ranah semata yaitu ranah kognitif. Sejatinya, pembelajaran yang diikuti oleh siswa mengarah pada tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan demikian, hasil UN tidak merepresentasikan kompetensi siswa secara komprehensif atau pseudokompetensi karena di sana ada ketimpangan pada pelaksanaannya yang hanya terkonsentrasi pada satu ranah saja.

Berkenaan dengan melencengnya arah pemanfaatan dari hasil pelaksanaan UN, Nadiem Makarim yang menakhodai Kemendikbud mengangkat jargon Merdeka Belajar dengan memberi sinyal bahwa UN tahun 2020 merupakan pelaksanaan terakhir kalinya. Ternyata, rencana Mendikbud tidak terealisasi dan harus dipercepat karena tahun 2020 sebagian besar sekolah harus menghentikan pelaksanaan UN sebagai efek domino dari kebijakan belajar dari rumah yang merupakan antisipasi pencegahan pandemi Covid-19.

Penghentian UN tidak serta-merta mengurangi beban psikologis seluruh warga sekolah karena penghentian UN dibarengi dengan rencana pelaksanaan Asesmes Kompetensi Minimun dan Survei Karakter. Sampai saat ini asesmen pengganti UN tersebut belum memiliki kejelasan karena belum disertai dengan penerbitan panduan atau petunjuk teknis dari Kemendikbud. Namun, terkait pelaksanaan asesmen ini terdapat sedikit informasi.

Asesmen Pengganti UN dalam Kerangka Kebijakan Awal

Programme for International Student Assessment (PISA) yang merupakan program Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) merupaka langkah untuk mengukur kemampuan siswa pada jenjang pendidikan menengah. Selama ini, capaian score PISA merupakan indikator yang merefleksikan keberhasilan pengelolaan pendidikan dan menjadi rujukan sebagian besar negara tentang penerapan konsep pendidikan yang diterapkannya masing-masing. Pengukuran PISA dilakukan sebagai evaluasi terhadap kinerja siswa pada jenjang pendidikan menengah, terutama terhadap tiga bidang utama, yaitu matematika, sains, dan literasi.

Akan halnya dengan hasil pengukuran PISA terhadap siswa Indonesia, kenyataan memperlihatkan bahwa trend capaian score/nilainya mengalami penurunan. Selama ini, posisi siswa Indonesia selalu berada pada level rendah dari sekian banyak negara yang dinilai. Pada penilaian paling akhir, tahun 2019 kemampuan matematika dan literasi siswa mengalami penurunan, sekalipun kemampuan sain mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Namun, secara umum disimpulkan bahwa kemampuan literasi siswa masih tergolong rendah demikian pula dengan kemampuan matematika dan sains, posisimya berada di bawah rata-rata.

Sehubungan dengan capaian PISA yang tidak menggembirakan tersebut, Kemendikbud sebagai pemegang otoritas kebijakan pendidikan di Indonesia mengubah drastis sistem asesmen yang selama beberapa tahun belakangan dilaksanakan. Melalui kebijakan yang diusung dalam gerbong Merdeka Belajar, UN dihentikan dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimun dan Survei Karakter. Lewat pelaksanaan asesmen tersebut, diharapkan dapat mendongkrak capaian score PISA dari siswa Indonesia.

Asesmes Kompetensi Minimun dan Survei Karakter merupakan langkah yang dianggap strategis untuk mendongkrak capaian score PISA dari siswa Indonesia. Pada pelaksanaannya, asesmen ini mengarah pada tiga bidang utama yang memiliki persinggungan dengan obyek penilaian PISA. Asesmen ini mengeksplor kompetensi literasi, numerasi, dan karakter. Asesmen atas kompetensi literasi diharapkan akan dapat mendorong kemampuan siswa dalam bernalar tentang bahasa sekaligus dengan penggunaannya. Asesmen kompetensi numerasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mendorong kemampuan bernalar dalam bidang matematika. Survei karakter merupakan langkah yang dilakukan untuk mendongkrak terbangunnya karakter positif pada siswa terutama lima karakter utama yang menjadi basis implementasi Penguatan Pendidikan Karakter, yaitu religiusitas, nasionalisme, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Sekalipun arah yang menjadi core kebijakan ini hanya berkenaan dengan tiga bidang utama, bukan berarti tanggung jawab dibebankan kepada para guru mata pelajaran tertentu yang merepresantikan bidang utama tersebut, yaitu bahasa, matematika, sains, dan karakter. Tanggung jawab untuk melahirkan performa siswa sehingga memiliki kemampuan dalam bidang tersebut menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran. Karena itu, dalam implementasinya, seluruh guru harus menyusun rumusan pembelajaran yang efektif dan efisien sehingga pembelajaran yang dilaksanakannya dapat mendorong capaian optimal atas core kebijakan asesmen tersebut.

Pelaksanaan asesmen ini ternyata memiliki perbedaan dengan pelaksanaan UN. Selama ini, UN dilaksanakan pada muara dari jenjang pendidikan, sehingga UN menjadi simpul dari kebijakan pembelajaran yang dilakukan oleh para guru. Asesmen ini akan dilakukan saat kelas pertengahan pada setiap jenjangnya. Pada jenjang SD, asesmen dilaksanakan di kelas 4. Pada jenjang SMP, asesmen dilaksanakan di kelas 8. Pada jenjang SMA/SMK, asesmen dilaksanakan di kelas 11.

Pelaksanaan pada pertengahan jenjang pendidikan tersebut bukan tiada maksud, tetapi mengarah pada dua harapan. Sesuai dengan substansi pelaksanaannya, asesmen yang dilakukan dapat dijadikan data otentik oleh para pemangku kepentingan dalam upaya perbaikan mutu pembelajaran. Untuk sekolah, hasil asesmen ini dapat dijadikan dasar perbaikan mutu pembelajaran yang dilaksanakannya. Demikian pula untuk dinas pendidikan sebagai level di atasnya, hasil asesmen dapat digunakan guna penetapan kebijakan intervensi dalam mendongkrak mutu pembelajaran pada seluruh sekolah di bawah binaannya. Selain itu, pelaksanaan di pertengahan jenjang pendidikan ini dimaksudkan guna menghindarkan diri dari pemanfaatan hasil asesmen untuk dasar seleksi siswa melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi. Dengan demikian, hasil asesmen ini tidak diperlakukan sama dengan hasil UN yang selalu dipaksakan untuk menjadi dasar siswa melanjutkan pendidikan.

Harapan dari asesmen ini ketika benar-benar diterapkan adalah konsistensi dengan tujuannya, sehingga pelaksanaannya tetap berada pada jalur yang ditetapkan. Hasil asesmen ini diharapkan tidak melenceng, menjadi tiket masuk bagi siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, seperti halnya yang terjadi dengan hasil UN.

Simpulan

Mengacu pada kebijakan regulasi terakhir yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, tahun 2020 pelaksanaan UN dihentikan sama sekali, kecuali untuk beberapa sekolah yang terlanjur telah melaksanakannya. Selama beberapa tahun belakangan ini, pelaksanaan UN menjadi pola asesmen akhir jenjang sekolah yang banyak menguras energi. Bahkan bukan itu saja, hasil UN yang dominan mengeksplorasi satu ranah dari tiga ranah pembelajaran, menjadi paspor siswa untuk dapat merebut salah satu kursi pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Padahal, hasil UN merupakan asesmen yang tidak menggambarkan kompetensi siswa secara komprehensif karena merupakan representasi kemampuan siswa pada ranah kognitif semata, sehingga ranah afektif dan psikomotor tidak tergambarkan di dalamnya.

Sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar, Kemendikbud merancang pengganti UN dengan asesmen lain, yaitu Asesmes Kompetensi Minimun dan Survei Karakter. Asesmen ini digadang-gadang sebagai kebijakan yang merespon capaian siswa pada score PISA yang selama ini hasilnya tidak menggembirakan. Kemendikbud sebagai pemegang otoritas kebijakan pendidikan di Indonesia berupaya mengubah dengan merencanakan untuk mengimplementasikan asesmen tersebut. Bagaimana bentuk rill dari asesmen yang direncanakan Kemendikbud tersebut, sampai saat ini belum tergambar jelas. Karena itu, semua pihak masih menunggu kejelasannya, dengan harapan implementasi asesmen tersebut benar-benar dapat mendongkrak capaian score PISA yang menjadi salah satu indikator keberhasilan pengelolaan pendidikan.****Gurusiana-DasARSS.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post