Danang Hidayatullah

Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), 2021-2026 Academic Leader SMM, 2023) Guru Binus School Simprug Jakarta, 2005-2023 Direktur Program School To School T...

Selengkapnya
Navigasi Web
KROPOS!

KROPOS!

Alkisah, tokoh kita ini berangkat dari kampung menuju Jakarta untuk mencari sahabatnya. Naas, ia kehilangan dompet, ktp dan alamat yang dituju. Lebih parah lagi, ia mendadak lupa siapa nama sahabatnya itu. Dengan bekal seadanya, ia nekat melanjutkan pencarian. Dalam perjalanannya, ia dihadapkan pada hiruk pikuk kota, gaya hidup yang aneh serta perasaan keterasingan. Hidup di kota yang baru baginya, merupakan pengalaman batin tersendiri. Singkat cerita, sang tokoh kita ini kemudian tidak sengaja melihat wajah sahabatnya itu di koran. Ia yakin betul itu adalah sahabat yang dicarinya. Ia meminta polisi untuk mengantarkan ke kediaman sahabatnya yang ternyata bernama Marno. Setelah sekian lama menunggu, Marno pun tiba di rumahnya. Namun tatapan Marno terasa asing bagi sang tokoh, seperti ia sendiri tidak mengenalinya. Sang tokoh mengurungkan niat bertemu Marno dan memutuskan kembali ke kampung. Selama perjalanan, ia mengalami konflik batin tentang siapa sebenarnya yang dicarinya dan untuk apa dicari. Ia juga bertanya pada dirinya mengapa harus berjuang mencari sesuatu yang ia sendiri tidak mengenalinya. Di dalam bis, ia terus memecahkan pertanyaan itu sambil mengingat siapa yang dicarinya. Setelah menebak banyak nama, ia kemudian menemukan nama yang ia cari: Kropos. Ya, Kropos. Demi mencari nama itu ia nekat bergelut di kota asing yang tak dikenalnya. Tapi apalah gunanya nama itu kini, karena ia sudah hampir sampai ke kampungnya. “Kropos!”, tiba-tiba suara keras terdengar sesaat setelah ia turun dari bis. Sang Tokoh menoleh.

Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dengan ‘Byarpet’ nya Putu Wijaya di atas selain ending ceritanya. Mengapa demikian? Konsep ‘teror mental’ yang menjadi jargon di setiap karya dan pementasan Pak Putu berhasil membuat kita -paling tidak saya- untuk kembali ke halaman sebelumnya. Kelugasan isi yang diungkapkan pada bagian akhir cerita,membuat apa yang sebetulnya ingin disampaikan menjadi ‘terang benderang’. Dimana hebatnya? “Kropos” bukan saja mewakili isi cerita, tetapi lebih dari itu: Pergulatan Identitas. Kropos bukan lagi menjadi milik sang tokoh tapi ia telah menjadi bagian dari kita, Guru Indonesia.

Bagian Pertama

Sebagai seorang tenaga pendidik, setidaknya ada tiga hal yang menurut hemat saya perlu diselaraskan: Identitas Personal, Motivasi Personal dan Gaya Personal. Dalam “Byarpet”, ketiganya saya rasa sudah termaktub disana. Seperti halnya Sang Tokoh, kita juga mungkin pernah kehilangan identitas atau dalam bahasa remajanya, kehilangan jati diri. Bagi banyak perusahaan –apalagi asuransi dan kartu kredit- identitas ini barang langka. Saking langkanya, mereka sanggup membayar mahal untuk yang satu ini. Bagaimana dengan pelaku politik? Lebih mahal pastinya. Identitas bisa juga jadi ‘guyonan’ politik. Ya, begitulah identitas. Bagi seorang pendidik, mengenal identitasnya sendiri sangatlah penting. Ia tidak boleh kehilangan identitas, apapun alasannya. Sekali saja beridentitas palsu, ia tak akan digugu dan ditiru. Meskipun tanpa identitas seorang pendidik bisa saja bergerak (baca:mendidik), tapi ya itu. Pahamkan ya maksud saya?: Kropos!

Bagian Kedua

Kepergian Sang Tokoh ke Jakarta tentu penuh motivasi. Motivasi untuk menemukan seseorang yang pernah dikenalnya, yang selama ini dikenalnya. Ia begitu yakin, bahwa apa yang dicarinya akan ditemukan di kemudian hari. Walaupun belakangan diketahui bahwa yang ia cari adalah dirinya, selama proses pencariannya Sang Tokoh tetap keras dengan motivasinya. Diam-diam tokoh kita itu telah mengajari kita 2 kategori motivasi: motivation based on content dan motivation based on process; memusatkan pada sasaran tujuan dan bagaimana dia berperilaku dalam pencariannya. Luar biasa bukan?

Lantas apa bedanya dengan motivasi seorang pendidik?Tak ada beda. Motivasi kita juga terbentuk dari kedua motivasi di atas. Saya tidak akan membahas teori motivasinya Taylor, Maslow atau Herzberg. Karena saya yakin, sudah banyak yang membaca tentang ini. Sayangnya, seluruh teori motivasi hebat itu itu bisa mentah dengan apa yang disebut ‘Gaya’.

“Gaya memiliki besar/nilai dan arah. Maka harus tepat menempatkan Gaya, baik arah maupun besarnya” (HBF)

Singkatnya, motivasi tanpa ‘gaya’ yang tepat bisa saja sia-sia. Motivasi dari dalam diri, atau yang bisa disebut dengan motivasi instrinsik tidak perlu dirangsang karena memang telah ada dalam diri sendiri. Sebaliknya motivasi ekstrinsik bisa saja datang dan terbentuk dari organisasi. Mungkin motivasi ekstrinsik ini bisa difokuskan menjadi proses untuk menggerakkan pelaku organisasi pada usaha yang nyata untuk tujuan yang sama.Tapi tetap harus dengan ‘gaya’ yang tepat. Kalau tidak, ya itu. Pahamkan ya maksud saya?: Kropos!

Bagian Ketiga

Untuk bagian terakhir ini bagiannya Gusti Allah. Saya tidak berani beropini apalagi berteori. Karena itu tidak ada yang bisa saya tulis. Mohon maaf sekali.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

cool...

18 Nov
Balas

Sukses selalu dan barakallah

18 Nov
Balas

Amazing

18 Nov
Balas



search

New Post