GURU DAN HAK ASASI MANUSIA
Ditahannya tiga Guru Pembina Pramuka sebagai tersangka kegiatan susur Sungai Sempor SMPN 1 Turi Sleman Yogyakarta (detik.com 22/02/2020). Menyisakan kegalauan sebagai pendidik. Terlepas apakah mereka salah atau tidak. Hanya saja peristiwa ini membuat miris. Guru diperlakukan seperti kriminal, dengan kesalahan bak tak terampuni. Guru diperlakukan seperti tahanan karena pencuri dan pembunuh.
Walaupun tindakan terhadap guru mendapat reaksi keras dari Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Namun kejadian itu berpotensi menggiring opini masyarakat bahwa tersangka guru adalah pelaku kejahatan berat.
Dahulu ketika saya masih kecil tahun 1980-an. Guru masih diperlakukan terhormat dan mulia oleh orang tua, peserta didik, masyarakat atau siapa pun. Ketika guru memberi punisment bersifat mendidik tidak masalah, dianggap lumrah, dan dipersepsi bagian dari tindakan mendidik. Peserta didik tidak melawan karena mereka sadar diri telah melakukan suatu kesalahan. Orang tua juga justru datang ke sekolah untuk berterima kasih karena telah dibantu mendidik anaknya.
Kontras dengan kondisi sekarang. Berprofesi guru di era revolusi industri 4.0 ternyata tidak gampang. Digaji lumayan, beban agak berat, ditambah bayang-bayang kriminalisasi yang terus menghantui. Beberapa tahun belakangan, beberapa kasus kejadian pelaporan guru ke aparat oleh wali murid terus saja terjadi. Tak jarang berujung di hotel pordeo.
Lalu apa kaitannya dengan hak asasi manusia? Jelas ada. Sejak digemborkannya hak asasi manusia secara luas. Ditambah disahkannya Undang-undanh Perlindungan Anak (UUPA) tahun 2002. Guru terbatas memberlakukan tindakan tegas yang mendidik pada siswa yang kurang beradab. Bahkan ancaman hukuman penjara menanti jika ada kasus pelaporan dari orang tua yang tidak terima saat anaknya mendapat perlakuan "sayang" dari pendidik. Pasal yang dijadikan rujukan dalam laporan pengaduan adalah pasal 54 yang menyatakan bahwa "Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya”. Jenis-jenis kekerasan tercantum dalam pada pasal 69 yaitu kekerasan fisik, psikis dan seksual.
Alhasil guru lebih memilih jalur aman minim resiko. Guru cukup menjalankan fungsi sebagai pengajar yang mentransfer pengetahuan kepada siswa dan meninggalkan tugas mendidik. Pada akhirnya, siswa semakin berani berbuat seenaknya dan jauh dari kesopan santunan apalagi adab kepada guru. Guru kadang kehilangan kewibawaan di hadapan siswa.
Pada awalnya UUPA bertujuan untuk melindungi anak dari kekerasan, namun ternyata kontradiktif dengan tugas mendidik seorang guru. Kemudian hak asasi manusia seolah memasung peran utama guru sebagai pendidik. Bagaimana lagi, sebagai pendidik hanya pasrah tapi tak rela. Kita diatur dan diukur dan dinilai setiap saat atas nama akuntabilitas. Baik secara organisatoris maupun secara religious kepada Pencipta.
Teringat kadang dengan kisah Muhammad II (Lebih dikenal dengan Muhammad Al-Fatih). Putra Sultan Murad II. Sejak kecil Muhammad tak pernah merasakan kerasnya pendidikan. Guru-guru yang mengajar Muhammad tak pernah luput dari pelecehan sang putra Sultan, ditertawakan, dicemooh menjadi santapan sehari-hari guru-gurunya.
Akhirnya Sultan Murad II mencarikan guru yang paling cakap membentuk karakter, beliau memanggil Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsudin. Berkat pendidikan karakter dan pendidikan Islami, kelak Sang Anak itulah yang bergelar Sultan Muhammad Al-Fatih (Sang Penakluk). Sultan yang mampu menaklukkan sebuah benteng paling kuat dalam sejarah, 1000 tahun lebih tak tergoyahkan.
Sultan Murad II ketika bertemu dengan Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani menitip pesan agar mendidik anaknya dengan baik dan sekaligus memberikan kewenangan penuh untuk memukulnya jika si anak tak patuh. Hal tersebut disampaikan di depan si anak sambil menyerahkan sebuah cemeti kepada sang guru. Tentu saja, amanah orang tua yang sepenuh hati, tak tanggung-tanggung kepada sang guru merupakan modal penting bagi guru manapun untuk mendidik muridnya. Apalagi sang guru tahu dan mengerti cara mendidik yang baik, menegur hingga memukul murid yang bersalah dengan pukulan yang sesuai aturan dan terukur.
Tak ayal, Muhammad II mendapat pukulan pertama kalinya dari sang Guru, yang mana pukulan itu belum pernah dia rasakan dari guru-guru sebelumnya. Tentu saja si anak kaget dan terperanjat dengan kejadian yang baru dialaminya itu, namun dia tak bisa melawan, sang guru mendapat legitimasi penuh dari ayahnya untuk memukul jika bersalah. Saat itulah, momen titik balik dari si anak bandel menjadi murid yang patuh dan taat pada guru (Islampos, 2018).
Kesimpulannya, dibutuhkan pemahaman yang benar dalam meletakkan konsep perlindungan anak terhadap kekerasan. Islam memang menjamin hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan terbaik, tetapi bukan berarti Islam mengharamkan tindakan tegas guru dalam menanamkan karakter pada anak. Guru yang berkepribadian islam pasti mempunyai ukuran yang jelas dan terukur saat akan mendidik siswa.
Hukuman yang mendidik berbeda dengan hukuman yang menyakiti dan penuh kebencian. Pukulan tersebut dilakukan untuk memberikan ketegasan kepada anak agar patuh dan hormat pada guru sekaligus untuk menunjukkan keseriusan guru dalam mendidik.
Apa daya semua itu berubah bersama berlalunya waktu
Batusangkar, 14 Maret 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar