GURU DIGUGU DAN DITIRU
Oleh: Darimis
Guru dalam perspektif tradisi Jawa dikenal dengan "Guru digugu dan ditiru" (guru dipercaya dan diikuti). Figur guru yang mencintai profesi keguruannya. Memiliki kapasitas dan kapabilitas. Bukan hanya mengajar tetapi mendidik. Tidak puas sekadar transfer of knowledge tetapi transfer of value. Tidak hanya memindahkan konten pelajaran dari kepalanya ke kepala peserta didik, tetapi membentuk spritual, emosional, dan sosial peserta didik, sehingga peserta didik berkahlak mulia dan memiliki integritas kepribadian.
Figur guru yang digugu dan ditiru tidak mudah mempribadi pada diri setiap guru. Bukan berarti untuk menjadi guru yang digugu dan ditiru suatu kemustahilan. Setiap guru termasuk kita-kita berpeluang menjadi figur guru yang digugu dan ditiru. Asalkan kita tahu, mau, dan mampu untuk menjadikan profesi guru menjadi poros kehidupan dan kecintaan.
Profesi guru sebagai poros kehidupan, bermakna kita adalah guru, dan guru adalah kita. Antara diri dan profesi sebagai guru berkelindan secara integral. Kehidupan sehari-hari seorang guru tidak bisa dipisahkan dari profesi keguruannya. Meskipun tidak sedang di sekolah, atau tidak sedang mengajar seorang guru tetap dianggap sebagai guru oleh masyarakat dan peserta didik. Kebaikan sekecil apapun yang dilakukan guru pada diri, anak, dan keluarganya sendiri menjadi panutan bagi siapapun. Begitu juga kesalahan sepela seorang guru pada diri, anak, dan keluarganya akan disorot habis-habisan oleh masyarakat. Untuk itu, seorang guru mesti kudu hati-hati dalam berbicara, bersikap, dan berperilaku. Dengan kata lain, seorang guru yang digugu dan ditiru karena memiliki integritas kepribadian.
Profesi guru sebagai poros kecintaan, bermakna guru menjadikan profesi keguruan sebagai pusat cinta. Mendidik karena cinta, mengajar karena cinta, menjalankan semua kegiatan pendidikan selama 24 jam dengan segenap cinta. Termasuk mengurus naik pangkat juga karena cinta. Cinta benar-benar menjadi poros kegiatan pendidikan dan perjuangan mendidik generasi.
Menjalani profesi guru dengan cinta amat berbeda dengan menjalani profesi guru dengan terpaksa. Guru yang mendidik peserta didik dengan cinta akan fokus pada potensi, bakat, minat, kebaikan, dan kelebihan peserta didik. Kemudian dengan penuh kesabaran dan kelembutan berupaya mengoptimalkan semua kebaikan dan kelebihan peserta didik.
Berbeda dengan guru yang mendidik peserta didik dengan terpaksa, maka berkemungkinan lebih fokus pada keburukan dan kekurangan peserta didik, kemudian menjadikan kekurangan peserta didik sebagai alasan ketidakmampuannya dalam mendidik.
Dengan demikian, sebagai guru kita tetap berusaha memantaskan diri kita untuk digugu dan ditiru oleh orang lain, terutama oleh peserta didik kita sendiri. Itulah cara terbaik untuk memfasilitasi generasi menjadi berguna untuk diri, agama, Nusa dan bangsa. Sekaligus investasi kebaikan tatkala kita tidak lagi berada di bumi.
Batusangkar, 03 Maret 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar