Darman D. Hoeri

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Di Rantau Ibuku Mati

Hanya satu kata, Bu. Namun kuat-kuat terasa mencekik napasku, melontar sukmaku, terbang menerabas siang yang mendadak gulita. Melayang ke segenap penjuru mencari ruhmu, tangisku mengapi, airmataku menjelma bara yang membakar segala. Terbanting dari ketinggian entah sebab apa, tiba-tiba kau tinggal nama dalam singkat berita: mati. Satu kata itu, Bu. Penanda usainya kerinduanku akanmu yang lama diceraikan kemiskinan. Ingatkah engkau, Bu. Gerhana mengelamkan hatiku kala cintamu menjelma pamit nan menyembilu. Apakah bebayang kematian ratusan pendahulumu yang hantui sadarku bermakna doa, sehingga hitungan berikutnya justru engkau yang menggenapkannya? Jika benar demikian, mestinya aku melepasmu dalam renyah tawa, bukan keresahan. Aku berdosa. Sangat berdosa!

Kau ditelan keranda, Bu. Keranda. Tak bisa aku meminta memuntahkannya kembali. Pasak-pasak baja yang kuat mematri meneriakkan wewanti agar tak sekali-kali aku berharap menyentuhmu kali terakhir, mengintip pun tidak. Kenapa, Bu? Ada apa dengan jelita parasmu? Kenapa hanya rekamannya di masa lalu saja yang boleh kuhadirkan dalam benakku? Kau tetap jelita, bukan? Serupa warisan gegaris yang menegaskan keberadaanmu pada wajahku. Apakah ketinggian gedung telah merampasnya tanpa sisa? Oh, Ibu. Kenapa kau tak menjelma burung agar dengan sayap-sayapnya yang mengepak kau bisa melandas dengan anggun? Banyak yang berkata kau tak sempat teriakkan kesakitan. Namun aku bisa merasakan, Bu. Sakit paling pedih tentu menghunjam jantungmu saat tubuhmu melayang tak menyeruak sayap-sayap pada lenganmu. Sakit, karena itulah detik-detik penghabisan yang mustahil dihentikan lajunya meski teriakanmu runtuhkan pencakar langit. Sakit karena impianmu hadirkanku selayaknya sebayaku lainnya mesti terpangkas takdir. “Akan kubahagiakan kau…” Ribuan kali Bu kauucapkan itu seraya berlinang-linang sebelum deru burung besi mencerabutmu dari hatiku.

Sepucuk amplop. Aku meraung, Bu. Bergetar tubuhku mengingatmu. Kau serupa tergadai. Wajah-wajah resmi yang lantunkan tembang belasungkawa memaksaku beringas. Aku tak butuh ini semua! Beterbangan lembar-lembar merah itu ke angkasa. Jauh. Sangat jauh. Mengejar ruhmu yang melangit. Lalu gelap menyita segalanya. Lelah. Mati!

Selesai

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post